Pagi itu, matahari baru saja menembus sela-sela pepohonan dan awan tipis masih menyelimuti langit. Suasana perumahan masih sepi. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah yang baru saja disiram embun. Ayu, seperti biasanya, sudah berdiri di halaman rumah dengan selang air di tangan. Ia mengenakan daster kuning pucat bermotif bunga-bunga kecil, rambutnya diikat sederhana ke belakang, dan wajahnya masih bersih tanpa riasan. Tapi justru kesederhanaan itulah yang membuat Ayu tampak segar dan alami.
Ia membungkuk, menyiram pot bunga mawar yang sedang mekar. Sambil menyemprot air ke tanaman, sesekali Ayu menatap ke seberang rumah. Tak lama, pagar rumah Hendro terbuka. Suara gesekan besi membuat Ayu mendongak pelan. Dan seperti yang ia duga, pria itu muncul—lagi-lagi dengan tubuh kekarnya yang mencolok. Hari ini ia mengenakan celana training abu-abu ketat yang memperlihatkan betapa kencangnya otot kakinya. Tubuh bagian atasnya terbuka, hanya ada handuk kecil melingkar di lehernya. d**a bidang, perut berotot, dan kulitnya yang mengilap terkena keringat membuat Ayu refleks menelan ludah.
Hendro mulai jogging kecil-kecilan di halaman rumahnya. Ia berhenti sejenak, menengok ke arah Ayu dan tersenyum menggoda. Satu sisi bibirnya terangkat, lalu tangan kanannya mengusap dahi, menyeka keringat yang mengalir dari pelipis. Ayu berusaha mengalihkan pandangan, tapi tak bisa. Matanya justru semakin fokus, bahkan tanpa sadar menyiram bunga yang sama dua kali.
Hendro berjalan pelan ke arah pagar, lalu bersandar santai di sana. Ia menatap Ayu dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus d**a.
“Pagi, Dek Ayu...” suaranya berat dan serak, khas suara pria yang baru bangun tidur namun sangat... maskulin.
Ayu bergidik, jantungnya berdebar cepat. Ia menjawab lirih, “P-pagi, Mas...”
Hendro mengedipkan mata dengan gaya menggoda, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah jalan, suaranya diturunkan menjadi setengah bisikan, namun cukup jelas terdengar oleh Ayu.
“Kalau kamu capek nyiram tanaman, Mas bisa bantuin, lho... Tapi gantinya...” Hendro berhenti sejenak, lalu senyumnya melebar nakal, “...boleh dong, kamu yang mandiin Mas nanti.”
Air dalam selang memancar liar tak terkendali. Ayu terkejut, wajahnya langsung memerah seketika. Ia memegang selang dengan gemetar, lalu menatap Hendro dengan mata membulat lebar.
“Masum! A-apa?! m***m!!!” serunya spontan.
Hendro malah tertawa keras sambil menegakkan tubuhnya. “Hahaha, bercanda, Dek Ayu. Tapi kalau kamu serius, Mas juga nggak keberatan,” katanya sambil mengedipkan satu mata.
Ayu buru-buru mematikan keran air dan lari masuk ke dalam rumah, wajahnya masih membara seperti cabai merah. Ia menutup pintu dengan keras, menyandarkan punggungnya ke sana, dan mencoba menenangkan napasnya yang memburu. Tapi di dalam hatinya, justru bergemuruh lebih kencang. Jantungnya berdegup keras, perasaannya campur aduk. Malu, marah, tapi ada sensasi geli dan... entah apa namanya.
Dari balik jendela kamarnya, Ayu kembali mengintip. Hendro masih di sana, kini duduk di bangku taman depan rumahnya sambil mengelap tubuhnya dengan handuk. Ia tampak puas berhasil menggoda Ayu pagi itu. Matanya sempat melirik ke arah jendela Ayu dan ia melambai singkat—seolah tahu Ayu pasti mengintip lagi.
“Gila... pria itu... kenapa bisa se-m***m itu tapi tetap tampan banget...” bisik Ayu pada dirinya sendiri, lalu menutupi wajahnya dengan bantal. Kali ini bukan karena marah. Tapi karena senyum yang terus muncul di wajahnya meski ia berusaha keras menyembunyikannya.
Hari-hari setelah itu, interaksi Ayu dan Hendro makin sering. Hendro selalu punya cara untuk membuat Ayu salah tingkah. Kadang hanya dengan menyapa dari pagar, atau pura-pura menanyakan soal pupuk tanaman, bahkan sempat suatu pagi menawarkan mangga dari kebun belakang rumahnya—dengan catatan Ayu yang harus memetik sendiri, karena “pohon mangganya tinggi, dan Mas takut kalau Ayu nggak bisa manjat, Mas jadi kepikiran terus,” katanya waktu itu.
Ayu sendiri mulai merasa aneh dengan dirinya. Ia tidak bisa tidur nyenyak kalau seharian tidak melihat Hendro. Bahkan suara langkah kaki dari seberang rumah pun bisa membuat Ayu langsung berdiri dari tempat duduk dan mengintip lewat celah tirai.
Ia mulai menghafal jam-jam olahraga Hendro. Kadang saat Ayu menyiram tanaman, ia dengan sengaja memilih waktu yang sama saat Hendro ada di luar rumah. Meski Hendro selalu menggoda dengan kata-kata yang tak pantas diucapkan di tempat umum, Ayu mulai bisa merespons—kadang hanya dengan cemberut, kadang dengan senyuman tipis yang malu-malu.
Suatu sore, saat hujan turun pelan-pelan dan langit mulai gelap, Hendro mengetuk pintu rumah Ayu sambil membawa payung dan sebuah kantong plastik besar. Ayu membuka pintu dengan hati-hati, mengenakan kaos longgar dan celana pendek selutut.
“Mas bawain pisang goreng. Biar anget pas hujan-hujan gini,” katanya dengan senyum lebar.
Ayu sempat tertegun, menatap pisang goreng dalam plastik itu. “Buat... saya?”
“Ya masa buat kucing? Tapi boleh kok, kalo kamu mau nyuapin Mas juga,” kata Hendro cepat-cepat sambil mengedip lagi.
Ayu ingin menutup pintu, tapi tangan Hendro menahan. “Eh, jangan... jangan marah. Ini beneran buat kamu, Mas serius. Maaf tadi bercanda.”
Ayu akhirnya mengambil kantong plastik itu. “Makasih... Tapi jangan aneh-aneh lagi ya, Mas. Saya bukan cewek murahan...”
Hendro menatap Ayu serius untuk pertama kalinya. Matanya berubah, tak lagi menggoda.
“Ayu... Mas tahu kamu bukan cewek murahan. Justru itu yang bikin Mas nggak bisa berhenti mikirin kamu.”
Hujan turun semakin deras. Hendro melangkah mundur, membiarkan Ayu menutup pintu. Tapi kata-kata itu tertinggal di kepala Ayu lama setelah Hendro pergi.
Dan sejak hari itu... Ayu tahu. Perasaan yang selama ini ia sembunyikan sudah tumbuh subur. Seperti bunga-bunga yang ia siram setiap pagi. Dan meskipun Hendro selalu datang dengan candaan nakal, Ayu tahu, di balik godaannya... ada tatapan yang lebih dalam. Tatapan yang tak bisa ia tolak.