03. Balasan Ciuman

738 Kata
Sore menjelang magrib. Langit berwarna jingga keemasan, dan semilir angin mulai membawa hawa sejuk khas pergantian hari. Ayu baru saja selesai menyiram tanaman, kali ini dengan rambut tergerai dan wajah yang tampak lebih cerah dari biasanya. Mungkin karena tadi siang Hendro menyapanya dengan senyuman yang terlalu dalam untuk dilupakan. Tiba-tiba terdengar suara langkah kecil di depan pagar rumah. Ayu menoleh, lalu mendapati sosok mungil berdiri di sana—Kiano. Anak laki-laki berusia sekitar enam tahun, dengan rambut ikal dan mata bulat besar seperti Hendro. Ia mengenakan kaos biru dan celana pendek putih, membawa kotak pizza berukuran besar yang tampaknya terlalu besar untuk digenggam oleh dua tangan kecilnya. Ayu berjalan pelan ke arah pagar. Senyumnya merekah saat melihat Kiano berdiri manis dengan wajah polos dan sedikit malu-malu. “Kiano?” Ayu membuka pagar sedikit. “Mau ke mana, sayang?” Kiano mengangkat kotak pizza tinggi-tinggi. “Mbak Ayu... ini pizza. Kata Papa, tadi Papa beli kebanyakan... jadi buat Mbak Ayu aja,” katanya sambil cengar-cengir kecil. Ayu menatap pizza itu, lalu menatap wajah Kiano yang seperti tak bisa menyembunyikan kepolosannya. Ia mengambil kotaknya dan mengusap kepala Kiano penuh sayang. “Wah, makasih ya, Kiano. Tapi ini beneran kebanyakan beli atau... Papa kamu pura-pura ya?” Ayu tersenyum geli. Kiano langsung menunduk, menggigit bibirnya. “E... nggak tau... tapi Papa tadi bilang... kasih ke Mbak Ayu. Katanya biar Mbak Ayu senyum.” Ayu tertawa kecil. “Duh, papa kamu itu ya... Ada-ada aja. Tapi aku senang kok, Kiano bawain. Makasih ya.” Ayu hendak berbalik, membawa pizza itu masuk ke rumah, ketika tiba-tiba Kiano memanggilnya lagi dengan suara pelan. “Mbak Ayu... tunduk dulu...” Ayu memiringkan kepala, bingung. “Hah? Tunduk?” “Iya... tunduk dulu...” Kiano menatap serius. Karena mengira mungkin Kiano mau membisikkan sesuatu, Ayu pun menunduk sedikit sambil tersenyum. “Mau bisikin apa, sayang?” Tiba-tiba... Cup! Kiano mencondongkan tubuh mungilnya dan mencium pipi Ayu cepat-cepat. Sebuah ciuman kecil dan cepat, seperti seekor burung kecil mencuri benih di ladang. Ayu kaget bukan main. Matanya melebar, tangan masih memegang kotak pizza, dan wajahnya langsung merona semerah cabai keriting. Kiano berdiri tegak lagi, tersenyum lebar dengan pipi menggemaskan yang tampak bangga. “Kata Papa... kalau kasih pizza ke Mbak Ayu, imbalannya harus cium pipi. Biar Papa nggak malu duluan...” Ayu masih terdiam, jantungnya berdetak cepat. Ia menatap anak kecil di hadapannya itu, lalu tiba-tiba tertawa kecil sambil menutup wajahnya. “Ya ampun, Kiano... Astaga... Kamu ini diajarin Papa kamu ya? Aduh...” Ayu tak bisa menyembunyikan senyumnya yang semakin melebar. Pipinya masih merah, hatinya berdetak tak menentu. Bukan karena ciuman kecil itu, tapi karena dia tahu siapa yang merancang semuanya. Dari seberang jalan, di balik tirai jendela rumah, Hendro berdiri bersandar santai. Tangannya menggenggam gelas kopi, dan senyum lebar muncul di wajahnya saat melihat dari jauh reaksi Ayu. Ia mengangguk kecil pada putranya, memberi isyarat bahwa “misi berhasil”. --- Malamnya, Ayu duduk di ruang tamu sambil memandangi kotak pizza yang sudah setengah habis. Ia mengelus pipinya sendiri, seolah ciuman kecil itu masih menempel di sana. Di kepalanya, ada bayangan wajah Kiano yang lucu... dan tentu saja, bayangan Hendro—pria yang perlahan, dengan segala kenakalan dan kehangatannya, mulai merobohkan tembok pertahanan di hatinya. Ayu mengangkat ponsel, membuka aplikasi pesan. Ia ingin menulis sesuatu pada Hendro, tapi ragu. Jarinya berkali-kali menulis dan menghapus, sampai akhirnya hanya mengirim satu kata: “Terima kasih.” Tak lama kemudian, balasan masuk. Hendro: “Sama-sama. Tapi jangan cuma makasih ya. Besok gantian Ayu yang traktir... atau... kasih cium balasan buat Kiano atau sama Papa Kiano juga boleh. Hehe.” Ayu menggeleng-geleng kepala, tertawa pelan. “Ayah dan anak... dua-duanya bisa bikin jantungku copot,” gumamnya. --- Keesokan harinya, hubungan mereka tak lagi seperti tetangga biasa. Hendro lebih berani menyapa, bahkan sesekali mengajak Ayu dan Kiano sarapan bersama di teras depan. Ayu mulai menerima kehadiran dua pria di hidupnya itu—yang satu kecil dan polos, yang satu dewasa dan penuh trik menggoda. Kiano semakin akrab dengan Ayu, bahkan suka menyelinap masuk rumahnya sambil membawa gambar-gambar yang ia warnai di sekolah. Ayu tak lagi hanya melihat Hendro sebagai duda tetangga yang m***m, melainkan pria yang ternyata... sangat manis bila sudah menyangkut keluarga. Namun diam-diam, Ayu mulai bertanya dalam hati... Apakah ini akan tetap jadi permainan ringan... atau hatinya benar-benar mulai berpihak pada sang duda tetangga? Dan Ayu belum tahu... masa lalu Hendro menyimpan cerita yang belum ia ketahui. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN