04. Belah Duren

716 Kata
Siang itu, mentari terasa lebih terik dari biasanya, tapi bagi Ayu, panasnya cuaca kalah jauh dibanding panasnya tatapan Mas Hendro dari seberang jalan. Ayu duduk santai di kursi rotan depan rumah, mengenakan kaos putih longgar dan celana pendek rumah, menggigit keripik kentang sambil melamun ringan. Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya yang ia jepit asal di belakang kepala. Namun lamunannya buyar saat mendengar suara langkah berat mendekat, disusul suara dehaman lembut namun dalam. “Ehem.” Ayu menoleh dan— Deg! Hendro berdiri di sana. Mengenakan kemeja abu-abu gelap yang membalut sempurna tubuh bidangnya, dengan kancing atas terbuka memperlihatkan sedikit kulit dadanya yang kecokelatan. Lengan kemeja digulung rapi sampai siku, memperlihatkan otot lengan yang membentuk garis-garis gagah. Matanya menatap Ayu tanpa tedeng aling-aling, seperti tak ada hal lain di dunia yang lebih menarik daripada wajah gadis yang sedang makan keripik kentang itu. “Hai, Ayu...” sapa Hendro, suaranya berat dan lembut. “Lagi santai, ya?” Ayu tersenyum, cepat-cepat menaruh bungkus keripik di pangkuan. “Iya, Mas. Lagi males keluar. Panas.” “Panasnya kalah sama kamu sih.” Ayu menoleh cepat. “Hah?” Hendro tidak menjawab malah menyeringai menyeringai, mengangkat sebuah durian besar yang dibungkus rapi di tangannya. “Kata Kiano... Mbak Ayu suka durian ya? Kebetulan aku nemu yang bagus di pasar tadi. Biar adem... ini buat kamu.” Mata Ayu langsung berbinar. “Ya ampun... Mas Hendro, serius? Aku suka banget durian! Ini Montong ya?” “Tau aja kamu...” Hendro tertawa kecil. “Iya, Montong. Manis, tebal, baunya nyegrak. Sama kayak... aku kalau udah naksir orang.” Ayu tertawa sambil meraih durian dari tangan Hendro. “Mas... bisa aja. Makasih banget ya! Aku seneng banget.” “Nah, daripada repot, sini tak bukain aja sekalian. Tanganku udah terlatih belah durian.” Ayu mengangguk cepat. “Yaudah, sini, kita duduk aja di teras. Mas Hendro duduk sini.” Hendro pun duduk di kursi sebelah Ayu, dan dengan santai meletakkan durian di meja kecil. Ia mengambil pisau kecil dari saku belakangnya— entah kenapa bisa dia bawa ke mana-mana— dan mulai mengupas durian dengan cekatan. Bau khas langsung menyeruak ke udara. Tapi tiba-tiba, sambil mengiris bagian atas durian, Hendro bicara pelan namun penuh makna. “Sebenernya ya, Ayu... belah duren itu paling enak tuh... malam pertama.” Ayu mendongak cepat, nyaris tersedak udara. “Apa, Mas?” Hendro menoleh, menatap Ayu dalam-dalam dengan senyuman nakal yang hampir membuat gadis itu melempar durian ke mukanya. “Kalau malam pertama... belah duren bareng istri tuh, romantis banget katanya. Tapi ya... aku nggak punya istri lagi. Jadi kupikir... Dek Ayu mau nggak nemenin aku? Jadi istri, jadi partner belah duren... selamanya.” JLEB. Wajah Ayu langsung memerah seperti tomat direbus. Matanya membelalak, dan ia cepat-cepat menjauhkan diri sedikit dari Hendro sambil meletakkan durian ke atas meja. “Mas... astaga! Mas Hendro! Aduh... saya... saya nggak mau nikah muda!” katanya dengan suara panik, namun jelas hatinya berdetak dua kali lipat dari biasanya. Hendro tak mundur. Ia tertawa kecil sambil menyapu rambutnya ke belakang. “Lho, siapa bilang nikah sekarang? Aku kan ngajak kalau kamu siap. Tapi... aku memang serius, Ayu.” Ayu menunduk, tidak berani menatap. Hatinya menghangat. Jantungnya masih berdetak cepat. Ia menggigit bibir, lalu mengangkat wajah. “Mas Hendro... saya itu masih pengen kerja, bantu orang tua, belum mikirin nikah dulu.” “Lalu kamu mikirin aku nggak?” Hendro menatapnya lagi, senyumannya kini lembut, tidak hanya menggoda tapi... tulus. Ayu menelan ludah. Ia tak sanggup menjawab. --- Malam harinya, Ayu duduk di kamar, memandangi potongan durian yang tersisa. Ia mengambil satu, menggigit perlahan, dan... tersenyum sendiri. Ayu membuka ponsel, menulis pesan untuk Hendro. Tapi seperti biasa, ia hapus lagi. Sementara itu, di seberang rumah, Hendro masih terjaga. Ia duduk di ruang tamu sambil memperhatikan jendela rumah Ayu. Di sampingnya, Kiano duduk memakan es krim. “Papa...” Kiano berkata pelan. “Hm?” “Papa suka banget ya sama Mbak Ayu?” Hendro tersenyum kecil, mengusap kepala anaknya. “Iya... Papa suka. Tapi... Papa juga takut.” “Takut kenapa?” “Takut kalau Ayu anggap Papa ini cuma duda penggoda yang iseng.” Kiano memandang ayahnya lama. “Tapi Mbak Ayu senyum terus kalau lihat Papa.” Hendro menatap jendela. “Iya... semoga senyum itu... lama-lama berubah jadi cinta.” ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN