05. Gosip Tetangga

630 Kata
Pagi itu suasana kompleks sudah mulai ramai. Suara ibu-ibu menyapu halaman, anak-anak bermain sepeda, dan beberapa bapak keluar rumah untuk membeli sarapan. Tapi suasana yang biasanya biasa saja, pagi itu berubah jadi heboh hanya karena satu kalimat polos dari seorang bocah kecil. "Aku punya calon ibu baru. Namanya Mbak Ayu. Nanti kalau Papa nikah, Mbak Ayu jadi ibu aku!" seru Kiano lantang sambil menggenggam sekotak s**u cokelat dan berdiri di depan tukang sayur. Beberapa ibu yang sedang antre langsung menoleh. Salah satu dari mereka, Bu Rini, berdeham lalu mendekat sambil menepuk pundak Kiano pelan. "Lho, Kiano... siapa itu Mbak Ayu? Maksudnya calon ibu? Serius, Nak?" tanya Bu Rini penasaran tapi dengan senyum yang penuh arti. Kiano mengangguk cepat. "Iya, kata Papa, Mbak Ayu itu manis banget, suka durian, dan cocok jadi istri Papa! Tadi malam Papa bilang, 'kalau Ayu mau, kita nikah minggu depan juga nggak apa-apa.' Gitu kata Papa!" Ibu-ibu tertawa kecil, tapi jelas ada bisik-bisik mulai menyebar. Tak butuh waktu lama, kabar itu sampai ke telinga Ayu yang saat itu sedang menjemur baju di halaman rumah. Ayu mengangkat alis begitu salah satu tetangganya, Bu Santi, menghampiri sambil menahan tawa. "Ayu... kamu serius dekat sama Mas Hendro? Katanya udah dilamar? Udah jadi calon ibu Kiano?" Mata Ayu langsung membulat, dan dia hampir menjatuhkan ember jemurannya. "Hah?! Lah... siapa yang bilang?! Saya— saya nggak tahu apa-apa, Bu!" "Ya itu anaknya Mas Hendro sendiri, loh, yang ngomong gitu. Tadi pagi di depan tukang sayur. Wah, Ayu, kamu hebat juga, ya... satu kompleks bisa tahu dalam waktu setengah jam!" ucap Bu Santi sambil terkikik. Ayu panik bukan main. Wajahnya memerah, entah karena malu, bingung, atau sedikit kesal. Tapi belum sempat dia membela diri, suara berat nan familiar terdengar dari balik pagar depan. "Eh, Dek Ayu... pagi-pagi udah heboh, ya? Maaf ya, Kiano kadang suka ngomong jujur terlalu cepat," ucap Hendro sambil menyeringai. Hari itu ia memakai kaus abu-abu ketat yang memperlihatkan jelas bentuk tubuh kekarnya, celana jogger gelap, dan aroma parfumnya yang maskulin tercium sampai tempat Ayu berdiri. Ayu mencibir, tangannya masih memegang jemuran. "Mas Hendro, ini gara-gara Mas, saya ditanyain satu kompleks. Saya nggak ada omong-omong mau nikah. Anak Mas aja yang asal ngomong!" Hendro hanya tertawa kecil. "Tapi salahnya di mana, Dek? Kiano cuma bilang yang dia dengar. Lagian saya juga nggak pernah bilang kamu jelek, kan?" "Mas Hendro!" Ayu memekik, wajahnya makin merah. Tapi kali ini bukan karena marah... melainkan karena gerakan Hendro berikutnya. Ia benar-benar kehilangan keseimbangan karena menginjak selang air, dan dengan sigap... menyenggol Ayu hingga hampir terjatuh. Namun, sebelum tubuh Ayu benar-benar jatuh, tangan Hendro menahan pinggang Ayu, menahannya erat-erat. "Aduh! Mas...!" Ayu kaget, napasnya tercekat. Tapi suara tawa dari beberapa tetangga yang melihat kejadian itu membuat suasana jadi tak tertahankan. Bu Rini yang lewat langsung berkata dengan nyaring, "Duh, duh, duh... kayak sinetron! Ditangkap di pelukan, duh Dek Ayu... jangan deg-degan ya!" Ayu makin bingung, makin malu. Dia buru-buru berdiri tegak dan menjauhkan diri dari Hendro. Namun pria itu tetap santai. Bahkan masih sempat melirik Ayu dari atas sampai bawah sambil berkata pelan, "Kalau kamu jatuh beneran, saya siap tangkap, kok. Tapi lebih enak lagi kalau kamu jatuh hati." "Mas Hendro!" Ayu mencubit lengan pria itu pelan, tapi Hendro hanya tergelak. Sejak hari itu, gosip semakin ramai. Tetangga-tetangga makin sering menatap Ayu dengan senyum menggoda. Bahkan ibu-ibu yang sebelumnya jarang menyapa, sekarang jadi ramah luar biasa. Semua karena anggapan bahwa Ayu akan jadi istri duda tampan di seberang rumah. Hendro semakin menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada saja alasan untuk datang ke rumah Ayu. Kadang membawa makanan sisa masakannya, kadang membawa buah, dan kadang... hanya pura-pura lewat sambil bertelanjang d**a sehabis olahraga. Dan Ayu? Meskipun ia sering menegur Hendro karena suka menggoda, tapi wajahnya yang memerah dan senyumnya yang tak bisa disembunyikan... sudah menjawab segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN