Siang yang semula tenang mendadak menjadi tegang begitu Ayu melihat raut wajah Ayah dan Ibunya saat ia masuk ke ruang tamu. Sang Ayah, Pak Hardi, duduk tegak dengan tangan menyilang di d**a, tatapan matanya tajam menusuk, sementara Ibu—Bu Rani—memainkan jari-jarinya dengan gelisah tapi penuh amarah yang ditahan. Aura mereka menyatu dalam ketegangan yang sulit ditolak.
Ayu langsung tahu, ini bukan hanya sekadar panggilan pagi biasa.
“Duduk, Ayu,” ucap Ayah pelan namun tegas. Suaranya datar, tapi menggema seperti dentuman palu godam di d**a Ayu.
Ayu menurut, menunduk perlahan, duduk di hadapan keduanya. Dadanya berdebar-debar. Ia tahu pasti ini tentang Hendro. Ayah dan Ibu mereka melihatnya di pasar. Dan dia pun tahu, tidak akan ada kata “memaklumi” dalam kamus orang tuanya jika menyangkut soal pria itu.
“Kamu pikir Ayah dan Ibu tidak tahu, ya?” Ayah membuka suara, tatapannya menusuk. “Kami lihat kamu tadi di pasar. Sama Hendro.”
Ayu mengangkat kepala sedikit. “Ayu nggak ngajak, kok, Yah. Mas Hendro cuma… ikut. Ayu juga udah bilang jangan—”
“Jangan sebut-sebut namanya lagi di rumah ini!” potong Ibu dengan nada tinggi. “Ibu sudah bilang berkali-kali. Jauhi laki-laki itu, Ayu! Tapi kamu apa? Masih saja jalan sama dia?! Kamu kira ini semua lelucon, hah?!”
Ayu terdiam. Matanya mulai memerah.
“Ayu cuma kasihan, Bu… Mas Hendro baik.”
“BAIK?” Ayah mengulang dengan suara meninggi. “Kamu pikir Ayah bodoh?! Lelaki seperti itu mendekatimu bukan karena niat baik. Dia duda, Ayu. Duda! Apa kamu nggak mikir panjang?! Mau orang-orang kampung bilang apa tentang kamu, hah?”
Ayu menggigit bibir, mencoba mengendalikan air mata yang menggenang.
“Dia bukan kayak yang Ayah pikir. Dia nggak pernah ganggu Ayu. Dia cuma—”
“Ayu, dengarkan Ayah baik-baik,” suara Ayah mengeras. “Selama kamu masih tinggal di bawah atap ini, kamu nurut. Titik. Dan Ayah bilang sekarang: kamu jauhi Hendro. Jangan ngobrol. Jangan tersenyum. Jangan kasih sinyal sedikit pun! Kalau kamu bandel… Ayah sendiri yang akan datangi dia dan beri pelajaran.”
“Ayah…” bisik Ayu, shock dan takut sekaligus.
Ibu menggeleng dengan tajam. “Kami udah cukup sabar, Ayu. Kamu itu perempuan, bukan anak kecil lagi. Mau sampai kapan kamu digoda duda sebelah rumah? Kami lihat sendiri tadi pagi, dia tatap kamu seperti—astaga, Ayu! Ibu nggak sanggup mikir kalau kamu terus begini!”
Ayu tak bisa berkata-kata. Ia hanya menunduk, menahan perih di d**a. Hendro tak pernah melakukan apa-apa yang membuatnya takut. Justru lelaki itu selalu memperlakukannya dengan lembut, sopan, dan penuh perhatian. Tapi dunia luar... tidak akan pernah bisa melihat itu.
“Kamu harusnya sudah mulai dekat dengan Yudha, kan?” tanya Ayah tiba-tiba, dengan suara yang jauh lebih terukur, tapi tetap menusuk.
Ayu mendongak perlahan. “Yudha?”
“Iya,” jawab Ibu. “Seharusnya kamy sudah mulai dekat dengan Yudha.”
“Ayah dan Ibu senang sama dia,” sambung Ayah. “Dia juga kerja di tempat yang jelas. Mapan. Umurnya pas. Bukan duda yang bisa nyakitin kamu, Yu..”
“Ayah!” Ayu memprotes lirih.
“Jangan ‘ayah’ ke Ayah kalau kamu masih bela lelaki itu!” bentak Hardi tajam.
Ayu tertegun. Air matanya jatuh diam-diam. Tapi ia sadar ini bukan waktunya membantah. Semua yang ia ucapkan hanya akan dianggap perlawanan. Di mata Ayah dan Ibu, Hendro tetaplah kesalahan. Dosa. Aib.
“Mulai besok, kamu dekat dengan Yudha,” ucap Ibu, suaranya penuh keputusan. “Kami mau kamu mulai buka hati untuk laki-laki yang pantas. Yang bukan masa lalu orang lain. Yang bisa bangun masa depan kamu.”
Ayu menelan ludah. Pahit. Ia hanya menjawab dengan anggukan lemah, padahal hatinya terasa seperti runtuh satu persatu.
Sementara itu, di rumah seberang, Hendro berdiri di jendela kamarnya. Tirai sedikit terbuka. Matanya mengarah lurus ke rumah Ayu.
Malamnya, Hendro duduk termenung di balkon. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari taman kecil di halaman. Tapi hatinya terlalu gaduh untuk menikmati semua itu.
“Kalau Adek Ayu beneran dijodohin sama Yudha… terus aku apa? Aku siapa?” bisiknya lirih.
Ia mendesah keras. Satu tangannya menutup wajahnya sendiri.
“Haruskah aku nyulik Ayu dan kita kabur kawin lari? Hah. Astaga, Hendro… kamu gila…” katanya pada dirinya sendiri, lalu menggeleng cepat. “Itu pikiran paling buruk.”
Tapi perasaan di dadanya kian menyesak. Setiap kali memejamkan mata, wajah Ayu muncul. Senyumnya. Tawa ringannya. Wajah polosnya yang kadang bersungut pelan jika sedang kesal padanya.
Semua itu terlalu berharga.
Dan sekarang… mungkin akan jadi milik orang lain.
“Tidak…” Hendro menggertakkan rahang. “Belum tentu. Selama Ayu belum bilang sendiri kalau dia nggak mau lihat aku lagi… aku belum menyerah.”
***
Pagi itu, udara masih lembap oleh embun, dan langit baru menampakkan semburat oranye ketika Hendro menatap kosong ke halaman rumahnya. Ia sedang berdiri di garasi, baru saja membuka pintu mobil SUV hitamnya yang mengilap. Tangannya memegang gagang pintu, tapi tak juga masuk ke dalam.
Matanya terpaku pada sosok gadis di halaman rumah seberang. Ayu. Gadis itu sedang menyiram bunga-bunga di pot, rambutnya digelung seadanya, dengan daster sederhana berwarna biru muda. Namun bahkan dalam kesederhanaannya, Ayu terlihat bersinar di mata Hendro. Cahaya pagi menyentuh pipinya, menciptakan siluet yang membuat d**a Hendro bergetar pelan.
Namun hanya dalam hitungan detik, pemandangan indah itu direnggut kasar dari hadapannya. Bu Rani muncul dari balik pintu rumah, melangkah cepat dan menarik lengan Ayu dengan gerakan penuh kemarahan. Ayu tersentak dan menoleh, namun tak sempat berkata apa-apa. Ia hanya sempat melirik sekilas ke arah Hendro sebelum tubuhnya lenyap di balik pintu yang ditutup keras.
“Ya Tuhan… segitunya?” desah Hendro pelan. Bahunya turun perlahan.
Ia masuk ke mobil dengan lemas, menyalakan mesin tanpa semangat. Matanya masih memandangi rumah Ayu yang sudah tertutup rapat. Seolah gadis itu tidak pernah berdiri di sana.
Setengah jam kemudian, Hendro sudah berada di gedung perusahaannya—sebuah bangunan modern berlantai lima, dengan kaca berlapis di setiap sisi. Ia memiliki perusahaan di bidang ekspor furnitur kayu ke beberapa negara Asia dan Eropa. Nama perusahaannya, Hendro Jaya Abadi, cukup dikenal di lingkup bisnis ekspor kecil-menengah.
Namun pagi ini, tidak ada semangat sama sekali.
Langkahnya lesu. Biasanya, para staf menyapa dengan ceria dan Hendro membalas dengan anggukan santai dan senyum menawan. Tapi pagi ini, dia hanya menggumam pelan, pandangannya kosong. Bahkan saat sekretarisnya, Karin, menyodorkan laporan penjualan minggu lalu yang meningkat drastis, Hendro hanya menatap angka-angka itu tanpa minat.
“Pak Hendro? Apa Bapak sedang sakit?” tanya Karin pelan, sedikit heran.
“Enggak. Cuma... agak ngelamun aja.”
Karin diam. Ia tahu, sejak istri Hendro meninggal tiga tahun lalu, pria itu memang berubah. Tapi dua tahun belakangan, Hendro sudah kembali seperti semula—kembali bekerja dengan semangat, membesarkan putranya, Kiano, dan bahkan mulai tertawa lagi.
Namun beberapa minggu terakhir… ada perubahan. Hendro lebih pendiam. Lebih sering melamun. Dan pagi ini, aura kosong di wajah tampannya membuat Karin benar-benar bingung.
Hendro memandang ke luar jendela. Langit mulai terang sepenuhnya. Tapi hatinya masih kelabu.
“Bu Rani menarik Ayu seperti gadis itu maling jemuran…” gumam Hendro. Ia menghela napas panjang. “Apa aku sebegitu buruknya di mata mereka?”
Hendro memang tahu keluarga Ayu tak pernah menyukainya. Duda. Punya anak. Usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua dari Ayu. Di kampung mereka, semua itu sudah seperti palu godam yang memukul reputasi. Padahal... dia tidak pernah berbuat macam-macam. Dia hanya suka pada Ayu. Menaruh hati. Itu saja.
Dia bukan lelaki sembarangan. Penampilannya pun… ya, kata banyak orang, dia mirip Maluma. Penyanyi asal Kolombia itu—brewok tipis, rahang tegas, senyum setengah yang memikat, dan tubuh yang masih terawat meski umur sudah kepala tiga. Tapi semua itu tampaknya tak berarti di mata orang tua Ayu.
Siangnya, Hendro keluar dari ruangannya dan duduk di ruang kecil dekat pantry. Ia menyesap kopi yang entah kenapa hari ini terasa pahit sekali.
Pikirannya berkelana ke putranya, Kiano. Pagi tadi ia menitipkan bocah itu ke babysitter karena tidak ingin membawa ke kantor. Biasanya Kiano akan duduk manis di ruangannya, menggambar atau bermain tablet. Tapi hari ini, Hendro ingin sendiri. Ia takut jika Kiano melihat ayahnya melamun terus, anak itu akan bertanya dengan polos: “Ayah kenapa sih? Kangen Bunda ya?”
Padahal bukan. Hendro sedang kangen Ayu.
Ia mengambil ponsel. Mengetik sesuatu. Lalu menghapusnya. Mengetik lagi. Hapus lagi.
Ia ingin kirim pesan ke Ayu. Tapi... bagaimana kalau gadis itu sedang diawasi Bu Rani? Bagaimana kalau pesannya dibaca dan Ayu dimarahi habis-habisan?
Hendro menunduk, memijat pelipisnya.
“Aku harus cari cara lain…”
Ia mendongak tiba-tiba.
“Farel.”
Nama itu muncul di benaknya seperti petir di siang bolong.
Farel adalah bocah tetangga yang sering bermain dengan Kiano. Usianya delapan tahun. Lincah. Pintar. Dan sangat suka diberi jajan.
Hendro tersenyum. “Aku akan titipkan surat lewat Farel.”
---
Malam itu, setelah menidurkan Kiano di dalam kamar dan memastikan bocah itu tidur nyenyak, Hendro duduk di meja kayu kecil di ruang tamu. Ia mengambil selembar kertas putih bersih. Tangannya gemetar pelan saat mulai menulis.
> Ayu…
>
> Maaf kalau hari ini kamu dimarahi gara-gara aku. Aku juga lihat kamu ditarik masuk sama Ibu kamu. Rasanya seperti ditampar pakai piring pecah.
>
> Aku cuma mau bilang satu hal:
> Aku nggak niat ganggu kamu. Nggak niat ngerebut kamu dari hidup kamu. Aku cuma… suka kamu.
> Dan itu bukan kesalahan, kan?
>
> Aku tahu kamu dijaga ketat. Tapi kalau kamu masih mau ngobrol... sekedar menyapa... aku akan tunggu kamu di taman belakang masjid jam lima sore besok.
>
> Kalau kamu datang, itu artinya kamu belum benar-benar meninggalkan aku.
> Kalau kamu nggak datang, aku akan ngerti. Tapi aku akan tetap suka kamu.
>
> Dari… tetanggamu yang sering melamun:
> Hendro.
Ia melipat surat itu, memasukkannya ke dalam amplop kecil, lalu memanggil Farel ke rumahnya. Bocah itu datang dengan kaki penuh lumpur dan pipi belepotan coklat.
“Farel, besok pagi kamu pasti main ke rumah Ayu kan?” tanya Hendro sambil berjongkok.
“Main sih, Om. Kalau nggak dimarahin sama Bu Rani,” jawab Farel polos.
“Nah, bagus. Nih, titip surat ini ya. Kamu selipin di tas belanjanya Ayu. Tapi jangan sampai ketahuan siapa-siapa. Bisa?”
Farel mengangguk dengan mata berbinar. “Bisa, Om! Tapi Om Hendro harus kasih aku ciki dua bungkus sama es lilin lima!”
Hendro terkekeh. “Deal.”
Farel menggenggam surat itu seperti harta karun. Hendro berdiri dan menatap ke arah rumah seberang.
“Mudah-mudahan… kamu datang, Ayu,” bisiknya malam itu.