12. Makan Bareng

1230 Kata
Langit mulai menghangat ketika Ayu, dengan kantong belanjaan di satu tangan dan langkah mantap, berjalan ke arah sebuah warteg di sudut jalan dekat pasar. Hendro mengikutinya dari belakang, masih menggenggam kantong sayur yang ia bawa tadi. Kemejanya lecek, wajahnya berminyak karena keringat, dan sepatunya — oh, sepatu kulit branded itu — sudah terciprat lumpur. Namun di antara semua kekacauan itu, langkah Hendro tetap setia mengikuti gadis itu. "Mas, kita mampir dulu, ya? Sarapan," kata Ayu sambil menunjuk ke arah warteg kecil yang catnya mengelupas dan jendelanya berdebu. Hendro menelan ludah. Perlahan. "Eh… iya, boleh… boleh banget," jawabnya pelan. Ayu tersenyum dan membuka pintu warteg yang mengeluarkan suara decit khas kayu tua. Aroma sambal goreng ati, tempe orek, dan ikan asin langsung menyeruak, menusuk hidung Hendro yang terbiasa mencium aroma minyak truffle dan steak wagyu medium rare. Ia berdiri kaku di ambang pintu, seperti turis asing yang baru mendarat di dunia yang sama sekali berbeda dari yang ia kenal. Ayu berjalan santai ke depan etalase kaca tempat makanan tersaji. Seorang ibu gemuk dengan celemek batik menyambut dengan senyum ramah. "Mau makan apa, Neng?" tanya ibu itu. "Sayur lodeh sama tempe goreng aja, Bu. Sama teh manis panas," jawab Ayu dengan cepat, lalu menoleh ke belakang. "Mas Hendro, mau makan apa?" Hendro maju perlahan. Matanya menyisir etalase kaca yang penuh lauk-pauk. Tapi dia sama sekali tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada menu di dinding. Tidak ada pelayan yang datang mencatat. Tidak ada daftar harga atau foto makanan yang bisa dia tunjuk. "Hmm… saya… saya… ini…" Hendro menunjuk ke satu wadah, "Ini apa ya, Bu?" "Itu tumis kikil, Pak," jawab si ibu. "O-oh… kikil ya…" Lalu Hendro menunjuk satu lagi. "Kalau ini?" "Itu paru goreng." "Ah ya ya… paru…" Ia melirik Ayu yang sudah duduk manis di pojok meja dengan senyum geli yang ditahan. Ayu tahu. Hendro benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Pria itu terbiasa duduk manis dan menunggu makanan datang, bukan memilih lauk sendiri dari etalase panas dan bau amis seperti ini. "Mas Hendro suka ayam goreng?" tanya Ayu dari kursinya. "Iya… iya, suka. Ayam, ayam saja deh, Bu." "Pakainya nasi putih?" tanya si ibu. "Iya… putih. Jangan yang hitam," jawab Hendro dengan polos, membuat ibu warteg tertawa kecil. "Eh maksud saya… nasi biasa." "Minumnya?" tanya ibu itu lagi. "Air putih… eh, teh aja deh. Teh panas. Manis. Eh jangan terlalu manis. Atau manis aja gapapa. Aduh," Hendro kebingungan sendiri. Ayu sudah tidak tahan, ia menutupi mulutnya agar tidak tertawa terang-terangan. Hendro akhirnya duduk di kursi plastik yang agak goyang di samping Ayu. Piring nasi dan ayam goreng sederhana diletakkan di depannya. Teh manis panas menyusul tak lama kemudian. Ia menatap makanannya seperti hendak meneliti. "Tidak ada sendok garpu?" tanya Hendro sambil celingukan. Ayu menyodorkan sendok dari rak kecil di sudut meja. "Ambil sendiri, Mas. Ini bukan kafe." "O-oh… iya, iya. Iya benar. Bukan kafe. Bukan restoran." Dengan ragu, Hendro mulai menyendok nasi dan ayam ke mulutnya. Rasanya… gurih. Pedas sedikit. Panas. Tapi anehnya, tidak buruk. Bahkan… enak. Lidahnya tidak terbiasa, tapi itu justru membuatnya merasa hidup. "Enak ya?" tanya Ayu sambil menyeruput teh panasnya. "Banget…" jawab Hendro setelah mengunyah. "Aku kira aku bakal muntah… tapi ternyata… warteg ini… menyimpan keajaiban." Ayu tertawa lepas kali ini. Tawanya membuat wajahnya cerah, dan Hendro merasa dadanya menghangat. Dia menatap gadis itu dalam-dalam, menyadari sesuatu. Kalau hanya untuk bisa duduk berdua di warteg seperti ini dengan Ayu, menembus pasar becek dan bau ikan pun dia rela. Bahkan kalau besok harus sarapan lagi di tempat seperti ini, Hendro tak akan menolak. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih, suara dari belakang membuat mereka menoleh. "Ayu?! Kamu sarapan sama siapa itu?!" Suara itu datang dari Pak Hardi, ayah Ayu, yang baru saja lewat di depan warteg dan melihat mereka duduk berdua. Ayu terkejut. Hendro lebih terkejut. “Yah… ini… Mas Hendro bantu Ayu belanja tadi…” Pak Hardi menatap tajam ke arah Hendro, lalu tanpa berkata sepatah pun langsung berjalan pergi dengan raut wajah seperti hendak meledak. Hendro menatap Ayu. Ayu hanya bisa menghela napas. “Mas… Mas Hendro siap dimarahi Ayah?” Hendro tersenyum pasrah, lalu menyuap lagi ayam gorengnya. “Kalau habis makan ini bisa bikin aku resmi jadi pacarmu, Ayu… aku siap dimarahi siapa pun.” Ayu memutar bola matanya dan tersenyum samar. Dalam hatinya, ia belum tahu pasti perasaannya sendiri. Tapi satu hal yang jelas, hari ini — duduk di warteg sederhana dengan seorang duda tampan berkemeja lecek dan wajah polos kebingungan — terasa… menyenangkan. *** Panas matahari mulai bergeser, tapi hawa hangat masih menyelimuti gang kecil itu ketika Ayu dan Hendro berjalan berdampingan pulang dari warteg. Langkah keduanya lambat, seakan enggan mengakhiri waktu yang baru saja terlewati—waktu yang penuh kekakuan, tawa, dan rasa canggung yang entah kenapa malah membuat keduanya semakin dekat. Kantong belanja di tangan Ayu mulai terasa berat, tapi pikirannya lebih berat lagi. Terutama saat Hendro mulai melirik ke arah rumahnya. "Eh, Adek Ayu…" suara Hendro pelan, lembut, dan sedikit ragu. “Kalau aku mampir sebentar ke rumah, boleh nggak?” Langkah Ayu langsung terhenti. Dia menoleh. Menatap Hendro lekat-lekat. Sejenak ada jeda di sana. Wajah Ayu berubah, tidak lagi seceria saat mereka makan tadi. Kini ada bayangan khawatir yang menggantung di matanya. "Jangan, Mas," jawab Ayu cepat. Hendro memiringkan kepalanya. “Kenapa?” "Ayah sama Ibu pasti nggak suka. Mereka udah... ya, Mas tahu sendiri kan… mereka lebih setuju sama Mas Yudha," jelas Ayu lirih, menunduk sedikit, suaranya seperti menyimpan beban. "Kalau Mas datang sekarang... mungkin malah tambah bikin masalah. Lebih baik Mas pulang aja dulu, ya?” Jawaban itu seperti cambuk kecil yang tak terlalu sakit, tapi meninggalkan perih. Hendro terdiam sejenak, memandangi wajah Ayu yang menunduk, lalu ke arah rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah Ayu. Dekat, tapi terasa sejauh benua yang berbeda. Dua dunia yang tak pernah disatukan. Wajah Hendro menegang sebentar, tapi ia buru-buru tersenyum—senyum yang sudah dia latih sejak lama untuk menutupi luka-luka kecil yang tak bisa dilihat siapa pun. “Baiklah,” katanya pelan. “Kalau begitu… aku pulang dulu.” Ayu masih diam. Dia tahu Hendro kecewa, tapi tak ada pilihan lain. Dia tidak ingin Hendro kembali disambut pandangan sinis Ayah. Atau lebih parah lagi— Ibu Yang bisa saja menyindir dari balik jendela sambil menyapu halaman. Tidak, Ayu tidak siap untuk itu. Dan Hendro tak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Hendro mengambil langkah ke samping. “Kantong belanjaanmu berat, Adek Ayu… mau Mas antar sampai depan pagar?” Ayu tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Bisa sendiri, Mas.” “Baiklah…” Hendro mundur dua langkah, lalu berdiri tegak di tengah jalan kecil yang memisahkan rumah mereka. Ia mengangkat satu tangannya dan melambaikan perlahan. Senyum itu… tetap manis, tetap lembut, tetap hangat. Tapi Ayu bisa melihat jelas ada sedih di balik senyum itu. Senyum seorang pria yang ingin dekat, tapi dijauhkan. Yang ingin masuk, tapi ditahan di gerbang. "Selamat siang, Adek Ayu..." "Selamat siang juga, Mas Hendro..." jawab Ayu dengan suara pelan, hampir seperti gumaman. Langkah Hendro perlahan menjauh, menyusuri pinggir jalan dengan pelan. Sepatu kulitnya yang kini penuh debu pasar berjalan perlahan menapak tanah. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Ayu masih berdiri di sana. Dan Ayu masih berdiri. Di depan rumahnya. Memegang kantong belanjaan. Menatap punggung Hendro yang menjauh. Dalam diamnya, ia bergumul dengan rasa bersalah dan keraguan. Perasaan yang semakin hari makin sulit ia bendung. Apa Ayu beneran udah cinta ya sama Mas Hendro?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN