Pagi yang cerah menyelimuti kompleks perumahan itu. Sinar matahari menari pelan di dedaunan, dan suara kicau burung terdengar samar di antara gemericik air dari selokan kecil. Hendro sudah berdiri di balik pagar rumahnya, secangkir kopi masih mengepul di tangan, namun bukan aroma kopi yang menyedot perhatiannya pagi itu. Melainkan sosok gadis yang baru keluar dari pagar rumah seberang.
Ayu. Dengan dress selutut berwarna pastel dan rambut yang dikepang sederhana ke samping, tampak cantik tanpa usaha. Tangan kanannya menenteng tas belanja kain, dan langkahnya ringan menyusuri trotoar gang. Hendro menahan napas. Astaga, kalau secantik ini bukan jadi istrinya… rugi dunia-akhirat, pikirnya getir. Dalam hati, ia mengumpulkan keberanian. Ah, ini waktunya bergerak lagi. Tak peduli ditolak atau tidak, Hendro merasa tidak bisa hanya diam jadi penonton.
Ia berjalan cepat keluar gerbang dan memanggil pelan, “Adek Ayu… pagi…”
Ayu yang sedang menuruni sedikit jalanan kecil menuju arah pasar menoleh. Wajahnya tampak kaget, tapi cepat-cepat kembali netral.
“Pagi, Mas Hendro,” jawabnya, sopan, tapi datar.
Langkah Hendro makin cepat. Ia menyusul ke sisi Ayu dan berjalan seiring.
“Mau ke pasar, ya?” tanyanya, mencoba santai, meski jantungnya berdentum kencang.
“Iya, Mas. Biasa, beli bahan dapur,” jawab Ayu tanpa menatapnya.
“Kalau gitu, biar aku antar aja. Pakai mobilku. Nggak usah capek jalan. Biar sekalian aku bawain kantong belanjaannya nanti,” tawar Hendro tulus, tapi jelas dalam suaranya ada harapan yang dalam.
Ayu menghentikan langkahnya. Ia menoleh sebentar ke arah rumah. Entah kenapa Hendro menangkap tatapan ragu di wajah itu. Ayu tampak berpikir, matanya sedikit menyipit, bibirnya mengerucut pelan seolah menimbang sesuatu.
Namun setelah beberapa detik yang terasa seperti menit bagi Hendro, Ayu tersenyum tipis dan menggeleng pelan.
“Terima kasih, Mas. Tapi aku jalan kaki aja, sekalian olahraga. Nggak enak juga kalau bawa-bawa mobil ke pasar kecil. Nanti malah repot parkirnya.”
Penolakan itu disampaikan lembut, tapi cukup membuat Hendro merasa seperti sebatang lidi dipatahkan. Ia memaksakan senyum, meski hatinya terasa diremas. Tangannya yang tadi hendak meraih tas belanja Ayu terhenti di udara, lalu perlahan turun kembali ke samping tubuhnya.
“Oh… ya udah. Hati-hati, ya, dek,” ucapnya lirih.
Ayu mengangguk cepat dan kembali melanjutkan langkahnya. Hendro berdiri mematung di tempat, menatap punggung Ayu yang semakin menjauh. Dress selutut itu melambai kecil terkena hembusan angin. Kakinya melangkah ringan, seolah tak membawa beban. Hendro, sebaliknya, merasa seperti baru saja ditolak untuk kesekian kali oleh takdir.
Ia menarik napas panjang, lalu berjalan pelan kembali ke rumah. Langkahnya berat. Tak seperti biasanya. Bahkan secangkir kopi yang ia tinggal di pagar rumah pun kini terasa hambar begitu sampai di bibirnya.
Duduk di teras, Hendro menyandarkan tubuhnya dan menatap langit. Hari yang cerah, tapi hatinya mendung. Ia memutar-mutar gelas kopi di tangan, lalu tersenyum miris.
“Kalau begini terus, bisa-bisa aku mati sebelum Ayu menikah,” gumamnya sambil tertawa pahit.
Tapi kemudian, ia menatap lurus ke depan. Matanya menyipit, menyala kembali dengan tekad yang perlahan muncul.
“Belum tentu dia nikah sama Yudha. Aku belum menyerah. Selama Ayu belum duduk di pelaminan, aku masih punya kesempatan.”
Hendro berdiri. Ditatapnya rumah Ayu dari jauh. Kali ini bukan dengan merana, tapi dengan tekad baru. Dia akan menyusun rencana baru — rencana untuk menyentuh hati Ayu, bukan hanya menggoda dan menghibur.
***
Hendro masih duduk di teras rumahnya, menyesap kopi yang sudah mulai dingin, tatapannya kosong menatap jalanan tempat Ayu tadi berjalan menuju pasar. Rasa kecewa karena ditolak untuk mengantar masih tersisa, tapi ada sesuatu dalam diri Hendro yang tak bisa diam. Ia menoleh ke arah cangkirnya yang tinggal separuh, lalu menghela napas panjang.
“Ah, sudahlah! Masa cuma karena ditolak terus nyerah?” gumamnya sambil berdiri.
Detik berikutnya, pria itu sudah masuk ke dalam rumah, mengganti kaus olahraganya dengan kemeja santai dan celana jeans, menyemprotkan sedikit parfum di leher, lalu menatap cermin di ruang tamu.
“Kalau nggak bisa antar, ya susul,” katanya, menyemangati diri sendiri.
Tak butuh waktu lama, Hendro sudah berada di balik kemudi mobilnya, melaju ke arah pasar tradisional yang sering disebut Ayu. Sepanjang jalan, Hendro berusaha membayangkan suasana pasar. Di benaknya, pasar mungkin seperti minimarket besar tanpa AC, dengan sayuran segar dan suasana agak ramai. Tapi tetap nyaman. Ia belum pernah ke pasar tradisional selama puluhan tahun terakhir, bahkan sejak istrinya meninggal, semua kebutuhan rumah tangga sudah diurus pembantunya.
Namun begitu mobilnya mendekati kawasan pasar, aroma yang menyeruak langsung menghantam wajahnya — campuran bau tanah basah, ikan asin, daging mentah, dan keringat manusia. Parkiran sempit, kendaraan berserakan tak beraturan, dan suara teriakan pedagang bersahut-sahutan membuat Hendro nyaris memutar balik mobilnya.
Tapi… demi Ayu. Demi gadis bergaun selutut itu.
Ia memarkir mobil dengan susah payah di sisi jalan, berjalan masuk ke dalam pasar dengan langkah pelan dan penuh waspada, seperti orang yang sedang menjelajahi hutan asing.
“Ya Tuhan…” gumamnya saat kaki sepatunya menginjak genangan air bercampur tanah dan sisa daun sayur. “Kenapa pasar begini sih…?”
Seseorang menabraknya dari belakang, membawa karung berisi kentang. Hendro hampir tersungkur.
“Maaf, Pak! Hati-hati dong jalannya!” seru si pengangkut.
Hendro hanya bisa melongo, berjalan cepat mencari sosok Ayu di tengah hiruk-pikuk manusia. Tapi mencari Ayu di pasar seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Semua orang terlihat mirip, memakai masker, membawa tas belanja, dan sibuk tawar-menawar.
Hendro melangkah menyusuri lorong sayuran, matanya liar menatap kiri-kanan.
“Pak, beli cabe, Pak? Murah nih, Pak!”
“Sayurnya baru panen, Pak! Dua ribu aja, Pak!”
“Pak, lengkuasnya bagus, Pak! Mau masak rendang, Pak?”
Teriakan para pedagang membuat Hendro nyaris menutup telinganya. Tubuhnya sudah mulai berkeringat meski waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi. Aroma keringat bercampur amis ikan dan daun basi makin membuatnya pening.
“Ayu... Ayu di mana sih…” desahnya lemah.
Ia sempat berhenti di dekat penjual daging, dan langsung menyesal. Lalat beterbangan, aroma amis yang begitu menyengat membuatnya nyaris muntah. Cepat-cepat ia berbelok ke arah lain, masuk ke gang pasar yang lebih sempit dan lebih ramai.
Hendro mulai merasa sesak napas. Dadanya naik turun, bukan karena capek, tapi karena stres.
“Kenapa Ayu nggak belanja di minimarket aja? Di supermarket kek? Ada AC, musik, lantai bersih, bahkan bisa pesan online! Ini… apa-apaan?!”
Tapi meski kesal, langkah Hendro tak berhenti. Ia menepis tangan para pedagang yang menyodorkan daun kemangi, wortel, bahkan teri kering. Matanya terus mencari gadis itu. Sampai akhirnya — sekelebat — ia melihat seseorang yang ia kenal.
Ayu. Di dekat kios bumbu dapur. Sedang menunduk memilih bawang merah, kedua tangannya terampil memilah-milah bawang, dan wajahnya tampak serius.
Jantung Hendro berdetak keras.
Dia ada di sini.
Tapi sebelum Hendro bisa melangkah mendekat, seseorang—seorang ibu-ibu gemuk dengan daster lusuh—mendorong keranjangnya ke arah Hendro, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terpaksa mundur. Saat ia kembali fokus ke kios bumbu dapur itu… Ayu sudah menghilang dari pandangannya.
“Haah?! Ke mana lagi?”
Hendro nyaris menjerit. Dengan kemeja yang sudah lepek dan rambut mulai lepek pula, ia menyusuri gang-gang pasar itu seperti seorang pria putus asa. Tidak sedikit orang yang memandanginya heran — siapa pria necis ini, berkeliaran di pasar tradisional dengan tampang linglung?
Setelah lima belas menit tanpa hasil, Hendro menyerah. Ia bersandar di tiang kayu dekat penjual tahu bulat dan menatap langit pasar yang terhalang terpal biru dekil.
“Ya Allah… tolong hamba-Mu ini… cuma mau ketemu Ayu. Kenapa seperti menembus neraka?”
Dan pada saat itulah, ia mendengar suara yang familiar dari kejauhan.
“Mas Hendro? Mas Hendro ngapain di sini?”
Hendro menoleh cepat. Di ujung gang, Ayu berdiri sambil membawa dua kantong belanja penuh sayuran. Wajahnya tampak terkejut, tapi ada senyum geli di sana.
“A… Adek Ayu… Aku… aku cuma… iseng jalan-jalan,” Hendro berbohong, mencoba terlihat santai meski kemejanya sudah basah oleh keringat.
Ayu menahan tawa.
“Iseng jalan-jalan ke pasar? Mas Hendro pasti nyasar, ya?”
Hendro tersipu. “Enggak… aku cuma… mau lihat aja kamu belanja di mana. Biar lain kali bisa bantuin…”
Ayu tersenyum lebar, lalu menatap kantong belanja di tangannya.
“Kalau gitu, ayo bantuin sekarang aja,” katanya, menyodorkan satu kantong besar ke Hendro.
Hendro dengan cepat mengambilnya, dan kali ini… meski lengannya pegal dan aromanya amis, ia merasa senang. Karena akhirnya bisa berjalan berdampingan dengan Ayu, menyusuri gang pasar yang padat, seperti pasangan suami-istri baru menikah.
Setidaknya, dalam imajinasi Hendro.
Dan hari itu, meski bajunya kotor dan sepatunya basah oleh air genangan pasar, Hendro tersenyum paling lebar sepanjang minggu ini.