Ayu menunduk malu sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Aku cuma... lagi pengen banget makan asam padeh patin, Ma…” katanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. Matanya mengintip ke arah Laisa yang masih tersenyum, namun penuh harap. Laisa, sang mama mertua yang terkenal galak di mata Ayu selama ini, malah tertawa kecil, lembut, hangat — sesuatu yang belum pernah Ayu lihat sebelumnya. “Astagfirullah, Ayu. Kalau cuma mau asam padeh patin, kenapa kayak mau ngaku dosa besar?” katanya sambil tertawa lagi, lalu bangkit dari kursi rotan di teras rumah. “Ayo masuk, Mama buatkan sekarang.” Ayu mengikuti dari belakang, langkahnya ragu, tapi dalam hatinya mulai muncul kelegaan. Dapur itu dulunya adalah zona terlarang baginya. Setiap kali ia ke sana, ia merasa seperti tamu tak diu