Sore itu Panji pergi dari apartemen. Maura membersihkan seluruh ruangan apartemen mulai dari menyapu, mengepele, mengganti sprei, merapikan kamar dan menata beberapa pakaian miliknya. Tidak lupa Maura menata semua perlengkapan mandi di kamar mandi baik di kamar mandi Panji maupun di kamar mandi umum. Ia merapikan semuanya agar ruangan apartemen yang mungil ini terasa nyama di huni.
Kamar Panji ia tutup, ia biarkan pendingin ruangan itu tetap menyala dengan suhu standar dan di beri aromaterapi yang sangat enak.
Maura sudah menyiapkan makan malam. Semuanya sudah berjajar rapi di meja makan. Ia juga sudah mandi dan tinggal menunggu Panji yang berjanji akan datang untuk makan malam.
Malam itu, Panji beradadi satu tempat bersama keluarganya. Saat ia pulang, kedua orang tuanya langsung mengajak Panji untuk mengurus persiapan pernikahan yang akan di lakukan besok pagi. Jadi, mulai malam ini Panji tidak di perbolehkan untuk pergi.
"Bisa gak sih di batalkan saja?" tanya Panji kesal.
"Di batalkan? Kamu kenapa mendadak aneh begini?" tanya Mama Rika pelan.
Panji mengusap wajahnya dengan kasar.
"Gak tahu, Ma. Panji hanya merasa Anetha itu berubah, gak kayak dulu," ucap Panji dengan jujur.
"Kalian ada masalah? Kalian memang di jodohkan, tapi kalian juga saling mencintai kan?" tanya mama Rika.
Panji diam. Dulu memang ia sangat mencintai Anetha, bahkan saat itu tidak hanya memuji kecantikan dan kepintaran Anetha, Panji bahkan dengan cepat ingin memperistri Anetha. Tapi, satu bulan menjelang pernikahannya. Sikap Anetha berubah, tak sama seperti dulu.
"Panji? Skandal apa lagi yang kau but hingga perusahaan merugu miliyaran begini," teriak Firman, Sang Papa yang baru saja datang dan melempar sebuah map ke arah Panji.
Panji berdiri, emosinya tersulut saat Sang Papah memarahinya dan menuduhnya memiliki skandal.
Map itu di buka oleh Panji, dan benar saja ada banyak foto yang di ambil dari beberapa sisi. Ya, gadis itu Maura. Memang tidak jelas wajahnya hanya memperlihatkan wajah Panji saja yang terlihat bernafsu.
Panji tidak terkejut tapi juga tidak berdiam diri. Ia menatap lekat ke arah Papahnya.
"Oh ini. Panji di jebak saat itu," jawab Panji santai.
"Di jebak? Mudah sekali kamu ngomong?" teriak Papa Firman yang sudah marah besar.
"Kenapa Papah tidak percaya? Memang itu kenyataanya? Panji hanya bicara apa yang sesungguhnya terjadi. Kalau Papah malu, batalkan saja pernikahan Panji dengan Anetha," teriak Panji dengan kesal.
"Tidak. Anetha tidak mau pernikahan ini di batalkan," teriak Anetha dari sudut ruangan. Ia baru saja masuk ke dalam ruangan privat itu.
Panji menatap Anetha. Gadis itu masih sama, masih cantik dan masih mempesona. Tapi, rasa itru semakin lama tak berasa dan memudar begitu saja.
"Tidak akan Anetha. Panji tidak akan mungkin membatalkan pernikahan ini," ucap Mama Rika berusaha menenangkan Anetha yang nampak sedikit histeris.
"Kenapa? Dulu kamu tidak mau menikah denganku? Dengan alasan aku baru lulus dan tak punya apa -apa. Kamu tahu, aku sudah tidur dengan perempuan lain. Apa kamu yakin masih mau menerimaku?" tanya Panji dengan ketus.
"Maaf Panji. Kamu janji tidak membahas masa lalu. Dulu, memang kamu baru lulus kan? Aku hanya ingin mensupport kamu agar kamu sukses. Sekarang terbukti kan? Lalu soal kamu tidur dengan perempuan lain? Boleh aku lihat fotonya?" tanya Anetha dengan wajah yang biasa saja.
Panji memberikan foto -foto itu kepada Anetha. Anetha mulai menatap semua gambar foto yang menampilkan Panji dengan wanita malam.
"Dia siapa?" tanya Anetha dengan suara pelan.
Mama Rika mendekati Anetha dan berusaha menghibur gadis itu.
"Aku tak tahu dia siapa? Aku juga tak ingat malam itu," ucap panji jujur.
"Lalu, kau tidur dengan wanita ini?" tanay Anetha pelan.
"Kau tidak bisa lihat? Foto itu di ambil dari mana? Itu posisi kami di tempat tidur, itu tandanya ada yang sengaja berbuat demikian kepadaku. AKu akan cari orangnya. Tidak kan aku maafkan seumur hidupku. Makanya aku tanya padamu, Anetha. Apa kamu masih mau menerima aku?" tanya Panji dengan suara lantang.
Deg ...
Detak jantung Anetha pun berdegup dengan sangat cepat. Sikap Panji benar -benar serius dan tidak main -main.
"Aku menerima kamu. Apa adanya," ucap Anetha pelan. Pikirannya mulai kalut dan bercabang. Anetha juga was -was jika rahasia ini sampai terbongkar.
"Yakin?" tanya Panji memastikan.
"Oke. Besok pagi kita menikah. tanpa ada resepsi mewah, hanya ijab kabul," pinta Panji dengan suara lantang.
Anetha mengernyitkan dahinya tak percaya dengan ucapan Panji.
"Tanpa resepsi emwah? Maksud kamu apa? Ini adalah salah satu cara aku bisa mengenalkan smeua orang, bahwa aku menikah dneganmu, Panji," teriak Anetha murka.
"Kau kamu masih mau menikah denganku silahkan? Kalau tidak jug atidak apa. Bukankah kamu juga tidak pernah aku rugikan dalam hal ini? Aku tak pernah menyentuhmu selama kita berhubungan. Jadi apa ynag kau risaukan?" tanya Panji pelan.
"Kolega Papa itu banyak? Lalu kita hanya menikah sederhana? Apa kata orang nanti?" tanya anetha yang tak mau kalah berdebat.
"Ya menikahlah dengan orang yang sepadan. Aku tk punya apa -apa. Aku saja masih bekerja dnegan orang tuaku," tegas Panji jelas.
"Panji? Apa -apaan kamu ini? Papa sudah sewa gedung dan smeua untuk pernikahanmu besok," ucap Papa Firman lantang.
"Untuk apa? Lihat? Kalau Anetha benar cinta Panji, dia mau menikah dengan cara sederhana juga. Bukan malah menuntut apa yang dia inginkan," tegas Panji.
"Cukup Panji. Mama tidak mau tahu. Pokoknyabesok kalian menikah, dan smeua sudah Mama persiapkan. Malam ini kamu tidak boleh pergi, paham?" tegas Mama Rika.
Panji hanya mengangguk pasrah. Ia paling tidak bisa menolak keinginna Mamanya. Panji bangkit berdiri masuk ke dalam kamar hotel yang telah di persiapkan. Ia lupa kalau hari ini telah janji dnegan Maura untuk mendatangi dan menginap di apartemen.
Masakan Maura sudah menjadi candu bagi Panji dan tak hanya itu saja. Perlakuan MAura yang baik dan peduli membuat Panji diam -diam jatuh hati kepada gadis yang telah di tidurinya karena suatu keadaan.
"Kenapa aku bisa lupa untuk meminta nomor ponsel Maura. Oh ya ... Dia kan kehilangan tasnya tentu ponselnya pun hilang," lirih Panji berucap menggerutu.
Ia merasa bersalah karena ia tahu, Maura pasti akan menunggunya.
Benar sekali, Maura masih terjaga di sofa sambil menonton televisi. Ia menatap makanan di atas meja yang mungkin sudah mulai dingin.
"Apa ku tinggal tidur saja? Aku lelah sekali," lirih Maura sambil menutup smeua makanan itu dengan tudung saji. Ia sudah tidak nafsu makan karena menunggu terlalu lama.
Maura menyerah, malam semakin larut dan Panji tidak ada tanda -tanda untuk kembali.
Keduanya saling memikirkan di tempat yang berbeda. Maura yang tak bisa tidur karena memikirkan dan mengkhawatirkan Panji. Ia takut sesuatu terjadi pada Panji karena sudah berjanji untuk kembali.
Panji sendiri juga gelisah memikirkan Maura. Ia tidak bisa memberi kabar kepada Maura.