Maura meloncat dari mobil Daniel saat mobil itu melaju dengan kencang. Ia terjatuh dan masuk ke dalam jurang yang tak dalam hingga tak sadarkan diri.
Daniel yang kaget dengan kenekatan Maura pun ikut panik. Daniel takut sesuatu terjadi pada Maura dan ia yang akan di salahkan. Bisa jadi, ia malah di jadikan tersangka akibat percobaan pembunuhan.
Tadinya Daniel memberhentikan mobilnya dan ingin mencari Maura. Namun, semua itu ia urungkan dan tetap melajukan mobilnya dan tak memikirkan sama sekali kondisi dan keadaan Maura.
Hari sudah sangat gelap. Maura masih tak sadarkan diri di dekat pohon ke arah jurang. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat di daerah itu. Jalan raya itu benar -benar sangat sepi sekali.
Beberapa jam kemudian saat tengah malam tiba. Panji yang ingin menyendiri di villa milik keluarganya pun melewati jalan raya sepi itu. Sialnya, mobil Panji mogok di tengah jalan. Niatnya Panji ingin melepas penat sebelum hari H acara pernikahannya dengan Anetha.
Dalam hatinya ingin sekali menolak perjodohan yang menurutnya tidak berguna itu. Keluarga Anetha memang selama ini menjadi pemilik saham terbesar di perusahaannya. Tapi, Sikap Aneha yang sewenang -wenang terhadap Panji membuat muak lelaki itu.
"Sial ... Kenapa harus mogok sih!!" teriak Panji smbil memukul setir mobilnya dengan keras menggunakan telapak tangannya. Panji pun keluar dari mobilnya dan membuka kap mobil untuk memeriksa mesin mobilnya menggunakan senter. Semuanya terlihat baik -baik saja dan tidk ada yang terlihat aneh atau konslet. Bahan bakar pun masih aman. Oli juga baru saja di ganti minggu lalu di bengkel biasa.
Panji menyalakan sebatang rokok yang ada di kantong kemejanya. Ia menyesap rokok itu dalam dan mengeluarkan asapnya dengan pelan. Ia butuh ketenangan saat ini. Masalah yang datang begitu banyak dan terus saja melewati kehidupannya.
Malam yang tenang dengan angin malama yang semakin dingin membuat suasana terasa mencekam. Dari kejauhan terdengar suara rintihan gadis yang sedang meminta tolong.
Awalnya Panji diam dan mencoba mengabaikan suara itu. Ia pikir itu hanya perasaannya saja. Sudah jelas di jalan itu ia hanya sendiri dan tempat itu begitu sunyi dan senyap. Jadi, tidak mungkin kan ada seseorang selain dirinya di sana.
Beberapa menit kemudian, Suara itu makin jelas dan semakin sering terdengar. Teling aPanji makin di pasang untuk mendengarkan dengan jelas suara itu benar -benar ada atau hanya perasaannya saja.
"Tooo loongg ...." rintihan Maura begitu meyayat. Suaranya begitu lirih. Ia kerahkan semua sisa tenaganya. Tubuhnya terasa sakit semua hingga tak bisa ia gerakkan sama sekali. Satu kakinya sepertinya terjepit akar pohon. Satu -satunya jalan ia hanya bisa berteriak meminta tolong agar ada orang yang mendengar suaranya dan menolongnya. Walaupun ia tahu, tempat itu benar -benar sunyi dan sepi.
Panji membuat batang rokoknya yang masih panjang dan mematikannya dnegan sepatu pantopelnya. Ia berjalan menuju arah suara gadis yang sejak tadi merintih kesakitan.
"Suaranya dari arah bawah. Tapi, sepertinya gelap sekali. Apa mungkin ada orang di bawah sana?" tanya Panji dengan dirinya sendiri.
Ia menyalakan senter dan menyorot ke beberapa bagian yang gelap dan mencari -cari keberadaan suara yang sejak tadi merintih kesakitan.
Panji memberanikan diri turun ke bawah sambil menyorotkan lampu senternya dan berteriak keras.
"Siapa di sana? Siapa yang mmeinta tolong?" teriak Panji dengan suara lantang dan keras. Ia berteriak berkali -kali dan memasangkan telingnaya kembali agar menyimak jawaban orang yang ingin di tolongnya.
Antara sadar dan tidak sadar, Maura mendengar suara seseoarng sedang mencari dirinya. Ia berteriak sekuat tenaga agar keberadaannya di ketahui.
"A -aku di si -ni ...." teriak Maura keras.
Mendengar teriakan lagi. Panji pun langsung berlari ke arah asal suara. Lampu senternya di sorotkan ke bwah untuk mencari jalan. Tak lupa ia mencari ranting pohon yang kekar untuk melancarkan jalan setapak yang ia lalui.
Lampu senternya terus menyorot dan ia melihat sosok perempuan di bawah pohon besar yang sedang memegang kakinya.
"Hei ... Kamu? Kamu ynag berteriak tadi?" tanya Panji sambil berlari ke arah perempuan itu.
Panji kaget seklai, ternyata perempuan itu adalah Maura. Sebenarnya ia sudah tidak mau lagi bersinggungan dengan Maura. Ia mengnggap Maura aalah perempuan malam yang sengaja menjebak dirinya agar reputasinya turun dan menganggu rencana pernikahannya dnegan Anetha. Panji sedang berusaha meyakinkan dirinya kembali untuk bisa mencintai Anetha seperti awal pertemuan dirinya dengna Anetha dulu.
Jujur, Anetha adalah gadis cantik dan elegan. Lelaki mana yang tidak mau dengan perempuan berkelas semacam Anetha. Tapi semakin lama mereka dekat, Anetha semakin banyak mengatur PAnji. Ada beberapa sikap yang tidak di sukai Panji dari diri Anetha.
Maura menatap ke arah Panji dnegan wajah sendu. Beberapa luka goresan dan lecet terlihat hampir di sekujur tubuhnya terlebih di bagian kaki dan tangannya.
"Hah ... Kenapa aku harus di pertemukan denganmu lagi? Aku muak denganmu. Aku ingin melupakan kejadian malam itu,' ungkap Panji dengan kesal.
"Lupakan kejadian itu. Aku mohon. Tolong aku. Aku pun di jebak oleh Ayah tiriku," ucap Maura lirih.
Panji terlalu lemah di hadapan wanita. Apalagi wanita tersebut lembut dan sopan. Tidak ada kata tidak menolongnya jika sudah begini. Lagi pula, saat itu juga sangat jelas, Maura masih perawan. Jadi, gadis ini bukan perempuan malam biasa.
"Oke. Aku akan menolongmu. Tapi, setelah ini, kamu harus bantu aku untuk mencari orang yang menyuruhmu tidur denganku," ucap Panji dengan tegas bernegosiasi.
"Baiklah. Aku janji. Aku akan menolongmu sampai kamu mendapatkan orang yang telah menipumu," ucap Maura lirih.
Panji mengalah. Nuraninya tetap masih di pakai untuk berbuat baik. Ia membantu Maura dan melepaskan kakinya yang terjepit.
Perlahan Panji mengangkat tubuh Maura dan Maura bertugas memegang lampu senter untuk menyorot jalan sambil memegang ranting kayu untuk mencari jalan.
Sesampai di mobil Panji. Maura pun di rebahkan di jok belakang. Dengan rasa bertanggung jawab, Panji pun memberikan selimut tipis yang selalu ada di bagasi belakang mobilnya. Panji mencoba menyalakan mobilnya.
"Tadi mobilku mogok. Aku tidak tahu kenapa. Kamu masih bisa bertahan kan? Di Villa ada obat yang bisa memnbantu meredakan nyeri di sekujur tubuhmy, dan lukamu bisa di obati," ucap Panji pelan. Hatinya terus berdoa agar mobilnya bisa menyala dan bisa di jalankan kembali.
Maura sudah ta mendengar apa- apa. Suara Panji hanya lewat begitu saja di telinganya. Kepalanya sakit luar biasa karena benturan di pohon besar tadi.
"Ahay ... Nyala juga mobilnya." teriak Panji dengan senang.