Perjalanan menuju villa keluarga milik Panji memang masih jauh. Perjalanan dari tempat di temukannya Maura tadi masih sekitar satu setengah jam lagi menuju atas perbukitan.
Maura sendiri memejamkan kedua matanya agar bisa terlelap dan melupakan rasa sakit dan nyeri di kaki dan sekujur tubuhnya.
"Kenapa kamu bisa ada di tempat ini? Dan terjerumus masuk ke jurang? Apakah mobilmu masuk jurang?" tanya Panji pelan sambil fokus menyetir mobilnya.
Maura yang belum tertidur pun masih jelas mendengar pertanyaan Panji. Ia malas menjawab karena masih merasakan sakit luar biasa. Menahan sakit di kakinya saja butuh tenaga dan berulang kali Maura harus menggigit bibirnya. Apalagi ia menjawab pertanyaan Panji? Tentu akan membutuhkan tenaga lebih banyak lagi.
Panji menoleh sekilas ke arah Maura. Ia ingin memastikan Maura masih hidup. Tapi desah nafasnya masih jelas terdengar di telinganya, tandanya Maura masih hidup.
"Hei ... Kamu masih mendengarku?" teriak Panji dengan sengaja agar Maura mau mengeluarkan suaranya.
"Eungh ...." Maura hanya berdesis pelan. Ia hanya ingin Panji tahu bahwa masih hidup tanpa mau menjawab pertanyaan Panji. Maura masih tertegun dengan kejadian tadi. Ia sendiri tak percaya jika Daniel bisa berpikir sependek itu.
"Gak usah berdesis begitu. Aku butuh jawabanmu. Tidak usah merayuku," ucap Panji tegas.
Maura hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ucapan Panji seperti tak bisa di rem. Lolos begitu saja tanpa dosa.
"Maura sedang menahan sakit. Bicaranya nanti saja," pinta Maura dengan suara lirih menahan rasa sakitnya.
Panji yang mendengar jawaban Maura seketika terdiam. Ia membiarkan Maura beristirahat sejenak dan tak mengganggunya sama sekali.
Tak lama berselang. Keduanya saling diam. Panji fokus menyetir dan Maura tertidur pulas. Satu jam kemudian mobil sport Panji pun sudah memasuki halaman villa keluarganya. Villa yang sangat sering di datangi oleh Panji di saat sedang galau dan butuh waktu serta tempat untuk menenangkan pikiran dan hatinya.
Mobilnya langsung di parkir di garasi Villa. Dari arah garasi bisa langsung masuk ke dalam villa.
Panji keluar dari mobilnya dan membuka pintu belakang untuk membangunkan Maura.
"Den Panji?" sapa Mbok Surti kepada anak majikannya itu.
"Mbok? Belum tidur?" jawab Panji pelan saat mendengar sapaan Mbok Surti.
"Belum Den. Itu siapa? Pacar den Panji?" tanya Mbok Surti pelan.
Selama ini Panji tak pernah membawa perempuan ke villa milik keluarganya ini. Tapi, desas desus tentang rencana perkawinan Panji memang sudah terdengar di seluruh jagad rya kota ini.
"Oh Bukan Mbok. Saya menemukan gadis ini di jalan, ia terluka parah di dekat jurang," jawab Panji menjelaskan.
"Kasihan sekali. Biar Mbok siapkan kamar tamu dan obat merah serta kompres untuk membersihkan lukanya," ucap Mbok Surti sedikit panik melihat keadaan Mara yang penuh luka dan darah.
"Ya Mbok. Tolong bantu gadis ini," titah Panji kepada Mbok Surti.
Mbok Surti pun langsung masuk ke dalam kembali untuk menyiapkan kamar tamu.
"Maura ... Bangun Ra ... Kita bersihkan dulu semua luka kamu? Apa aku gendong?" ucap Panji pelan menepuk pipi Maura pelan.
Maura masih pulas. Ia tak bergerak sedikit pun. Tubuhnya pun dingin dan kaku mmebuat Panji panik.
"Ra ... Maura ..." panggil Panji terus sambil menepuk nepuk pipi Maura. Kini tepukan itu sedikit keras agar Maura terbangun. Namun semua yang di lakukan Panji hanyalah sia -sia. Maura tetap saja terpejam dan tak membuka kedua matanya.
Dengan cepat panji pun mengangkat tubuh mungil Maura ke dalam villa menuju kamar tamu yang sudah seesai di rapikan oleh Mbok Surti. Tubuh Maura sudah di rebahkan di atas kasur. Pelan Mbok Surti membersihkan luka Maura, mengelap darah kering yang menempel pada kulit tubuh mulus itu.
Panji menatap tubuh mungil Maura yang tak berdaya tergolek lemah di atas kasur. Ia sendiri masih bertanya -tanya kenapa Maura bisa berada di tempat tadi dan terluka seperti ini. Apa mungkin ada yang ingin mencelakai gadis cantik ini? Atau mungkin ada yang ingin memperkosanya? Atau memang terjadi kecelakaan? Argh ... Tapi apa peduli ku dengan kondisi gadis ini. Kenal tidak, saudara bukan, lalu untuk apa aku memikirkannya. Ia seperti ini juga bukan urusan aku. Aku bahkan sudah baik, mau menolongnya, dan membantunya mengobati luka yang ada di tubuhnya dan aku juga sudah baik memberikan tempat tinggal sementara sampai Maura pulih kembali.
"Den Panji tidak telepon dokter untuk memeriksa gadis ini? Sepertinya gadis ini tak sadarkan diri. Tubuhnya sangat dingin sekali," ucap Mbok Surti pelan sambil mengobati luka -luka Maura sebisa Mbok Surti.
"Tidak Mbok. Jangan sampai orang lain tahu akan hal ini. Aku hanya menemukan gadis ini secara tidak sengaja. Jangan sampai aku menolong gadis ini tapi aku yang mendapat masalah besar," ucap Panji dnegan penuh keraguan.
Jujur saja Panji masih trauma dengan kasus penjebakkannya kemarin. Bahkan sampai saat ini ia masih belum tahu siapa dalang dari penjebakkan kejadian malam itu hingga reputasinya terancam memburuk.
"Tapi Den ...." ucap Mbok Surti pelan.
"Sudahlah Mbok. Tidak pakai tapi. Lalukan saja yang bisa Mbok Surti lakukan." jawab panji ketus dan berlalu dari kamr tidur itu.
Panji masuk ke dalam kamar pribadinya. Ia langsung naik ke atas ranjangnya tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Pernikahannya sebnetar lagi akan berlangsung, tapi Panji semakin tak yakin untuk menikah dengan Anetha.
Tubuhnya bersandar pada sandaran ranjang besi dengan kasur empuk. Kancing kemejanya sudah di buka dua kancing dari atas hingga memperlihatkan kaos dalam dengan bulu d**a halus yang tersembul di balik kaos dalamnya.
Kedua telapak tangannya mengusap wajahnya dengan cepat. Ia benar -benar sedang galau dan pusing tingkat dewa.
Ponsel Panji terus saja berdering keras. Mamanya terus menelepon sejak tadi untuk mengetahui keberadan Panji. Mama Panji terlalu khawatir dengan anak semata wayangnya itu.
Lagi -lagi Panji mendiamkan panggilan Mamanya. Ia sedang tidak ingin di ganggu. tadi pun Panji sudah memberitahukan Mbok Surti untuk tidak memberitahukan keberadaannya kepada keluarganya.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Den Panji ... Gadis itu sudah siuman. Gadis itu menanyakan Den Panji," ucap Mbok Surti pelan.
Kedua mata Panji menatap ke arah pintu kamarnya. Malam ini ingin rasanya berdiam diri di kamarnya sendiri tanpa ada gangguan apapun. Kenapatadi aku hrus repot -repot menolong gadis malam itu, benar -benar bikin repot saja. Panji terus saja menggerutu pelan. Ia pun bergegas turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar tamu yang di tempati oleh Maura.
Pakaiannya di biarkna berantakan seperti itu. Ia ingin menunjukkan kepada Maura bahwa kedatangannya itu malah menyulitkan hidupnya.