15

1137 Kata
Panji sudah selesai sarapan pagi. Nasi goreng satu piring besar pun habis tak bersisa, padahal menurut Panji nasi goreng buatan MAura sangatlah tidak enak. tapi berhubung Panji laapar maka ia mau menghabiskannya. Pagi ini, Panji melanjutkan menulis list tentang dirinya. MAura mengganti pakaian yang sudah di cuci dan di keringkan. PAnji meminta Maura bersiap setelah ini mereka akan pergi meninggalkan villa milik keluarga Panji. Sebelum pergi, Panji meminta Maura membuatkan dessert pagi yang enak. Maura hanya bisa menurut saja. Mulai hari ini, ia adalah milik Panji karena ia harus bekerja full time untuk Panji. Jadi, apapun keinginan Panji, Maura harus menuruti. Maura membuka isi lemari pendingin dan rak makanan. Ada bahan apa saja yang bisa di pakai untuk membuat dessert pagi yang enak. "Emmm ... Sepertinya kue puding rasa mangga akan jadi pilihan baik," ucap Maura pada dirinya sendiri. ia mulai sibuk membuat dan menakar bahan lalu mencampurkan menjadi satu dan merebus di atas api kecil. Kira -kira hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam saja. "Tuan ... Ini dessert nya semoga suka," ucap Maura dengan senyum bahagia. Sejak pagi hati Maura merasakan bahagia saja. Panji menatap Mura dan meletakkan alat tulisnya.Ia seahkan beberapa lembar kertas bertuliskan tentang dirinya kepada Maura. Maura menerima kertas itu dan mulai membaca, sedangkan Panji mulai sibuk menikmati makanan yang lezat ini. Seperti biasa, Maura menatap Panji dan bertanya apakah makanan buatannya enak. "Enak tuan?" tanya Maura pelan. Panji yang terlihat tersenyum pun mulai merubah mimik wajahnya dn kini terlihat berpikir. "Tidak enak," jawabnya singkat. Maura semakin merasa aneh. Semua makanan di bilang tidak enak, tapi cara menikmatinya seperti nikmat dan puas. Lagi pula kalau benar tidak enak tentu tidak akan di makan atau tidak akan di habiskan. "Beneran gak enak?" tanya Maura pelan. "Kau pikir aku bohong? Kau tidak lihat wajahku yang sngat terpaksa mengunyah dan menelan makanan ini?" ucap PAnji menjelaskan. Maura hanya menghembuskan napas nya dengan kasar. Ia kembali membaca semua kertas -kertas yang ada di tangannya. Baru sekejap saja. Panji pun mengajak Maura segera pergi dari sini setelah membuka ponselnya. "Kita pergi sekarang. Ayo," tritah Panji tegas. Maura hanya menurut saja. Panji lebih dlu masuk ke dalam dan mengambil jaket serta kunci mobil sambil berteriak keras kepada Mbok Surti untuk tidak mengatakan apa -apa kepada keluarganya dan kepada Anetha. "Den Panji mau pergi sekarang?" tanya Mbok Surti sopan. "Iya Mbok. Tolong jangan bilang pada mereka kalau Panji ke sini, apalagi bilang Panji membawa seorang perempuan. Panji kan membantu, bukan untuk hal lai," ucap Panji pelan. Panji langsung menarik tangan Mauara menggandeng perempuan itu agar cepat keluar dari villa dan masuk ke dalam mobil. Mobil sport mewah itu sudah melaju dengan cepat. Maura duduk di kursi depan di samping Panji. Kertas tadi masih ada di genggamannya. Semua isi tas termasuk tasnya hilang. Maura saat ini tak memiliki apapun. "Kita mau kemana? Maura mau cari kerja untuk menyambung hidup," ucap Maura pelan. "Kamu kan sudah kerja padaku. Aku akan membayarmu. Kamu tenang saja," ucap Panji lantang. Ia masih fokus dengan setir mobilnya. "Tapi kan? Kerja dengan tuan Panji untuk membayar hutang maura yang satu milyar? Lalu, Maura makan, tinggal, mmeang tidak perlu biaya?" tanya Maura pelan. Panji diam tak menjawab. Ia malah mencari kaca mata hitamnya dan memakai kaca mata hitam itu dan fokus kembali menyetir. Merasa di abaikan Maura pun ikut diam dan membaca kembali semua kertas -kertas itu sampai selesai. Bukan hanya di baca tapi juga di pahami dan di mnegerti dnegan baik. Dua jam kemudian Panji masuk ke halaman gedung besar. Gedung mewah yang bertingkat menjulang tinggi. "Ayo kita turun," titah Panji pelan. Maura hanya mengangguk pasrah dan ikut turun. Ia membaca jelas gedung tersebut adalah sebuah apartemen. Panji berjalan sambil menggandeng Maura. Maura hanya menatap tangannya yang gandeng oleh Panji. "Tuan? Ini gak salah kita bergandengan tangan?" tanya Maura pelan. Panji tidak menjawab pertanyaan Maura. Ia jelas mendengar pertanyaan Maura. Ia tetap menggandeng tangan Maura, dan mereka lebih terlihat sebagai pasangan kekasih. Saat memasuki gedung, Panji membawa Maura menuju lobby dan berjalan emnuju bagian customer service. Panji berbincang sebentar lalu mengeluarkan kartu sebagai alat p********n dan mnerim kembali kartu itu sambil meneria sebuah kunci. Maura hanya melihat dan menyimak tanpa bertanya kembali. Sudah beberapa kali Maura bertanya namun tak sekali pun Panji menjawab pertanyaan itu. Panji masuk ke dalam lift. Tangan itu masih menggenggam lau keluar saat sudah berada di lantai delapan. Panji mencari kamar yang sesuai dengan nomor yang tertera di kunci tersebut. ceklek ... Pintu kamar itu terbuka lebar. Kamar yang sudah lengkap fasilitas dan sarananya. "Masuk. Ini kamarmu, aku pesan apartemen ini atas nama kamu, Maura," ucap Panji pelan. Ia menutup dan mengunci kamar itu. Maura masuk ke dalam. Kamar apartemen itu memang tidak besar tapi semuanya ada. Kamar tidurnya ada dua, yang satu dnegna kamar mandi di dalam dan yang satu hanya kamar tidur biasa dnegan kamar mandi di luar. Ada dapur bersih lengkap dengan lemari makan dan lemari pendingin dan meja makan. Ada TV besar dengan sofa panjang untuk menonton. "Ini kamar untukku? Berapa lama Maura tinggal di sini?" tanya Maura pelan. "Selama kamu masih menjadi pelayan ku, kamu akan tinggal di sini. Semua kebutuhan kamu, aku yang menanggungnya," ucap Panji dengan tegas. Maura menatap ke arah Panji. Panji sudah duduk di sofa dan memuka kaca matanya. Ia memijat pelan keningnya yang sedikit terasa pening. "Kamu kenapa tuan? Tuan sakit?" tanya Maura pelan. "Iya. Aku pusing," ucap Panji pelan. "Ekhemm ... Tiduran di kamar. Biar Maura pijat. Maura tak punya balsem atau minyak angin. Di sini juga tidak air atau makanan yang bisa Maura masak," ucap Maura pelan. "Kamu bisa pijat aku?" tanya Panji pelan. "Bisa. Mau Maura pijat sekarang?" tanya Maura lembut. Panji mengangguk pelan. Ia pun berdiri menuju kamar tidur utama. Kamar yang cukup luas dengan kamar mandi di dalam. Maura mulai memijat Panji dengan pelan hingga agak keras agar lebih terasa. "Kamu ingin belanja? Membeli kebutuhan sehari -hari, baju, bahan makanan?" tanya Panji lembut saat Maura masih memijat punggungnya. "Emang boleh?" tanya Maura ragu. "Boleh lah. Kenapa gak? Gimana kamu akan melayani ku? Kalau tak punya air minum, bahan makanan? Memang aku hanya butuh pelayanan di ranjang saja?' goda Panji sambil tertawa. Maura memberhentikan tangannya untuk memijat dan memukul punggung Panji dengan keras. "Bicara apa kamu, tuan?" tanya Maura keras dan kesal. Ha ha ha ... Tawa Panji semakin lepas dan keras. "Kamu pikir, Maura w************n?" tanya Maura kesal. "Aku tidak bilang begitu," ucap Panji membalikkan tubuhnya dan kini keduanya saling berhadapan. Maura yang dudu di kasur menatap Panji yang tubuhnya berada di kasur. "Tadi tuan bilang. Memangnya tuan hanya butuh pelayanan di ranjang saja," ucap Maura mengulang kembali ucapan Panji. "Aku bercanda Maura. Jangan kamu ambil hati," ucap Panji lembut. Tangan Panji menggapai wajah Maura dan mengusap lembut pipi Maura. "Maafkan aku. Kamu mau memaafkanku?" tanya Panji pelan sambil menatap sendu wajah Maura. Maura hanya mengangguk pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN