Sudah seharian Maura hanya duduk d sofa dan menonton televisi. ia tak punya kegiatan apa -apa kecuali memasak untuk Panji, kalau saj lelaki itu datang tiba -tiba dan membersihkan kamar apartemen yang tidak luas itu.
Tok ... Tok ... Tok ...
Maura terkesiap memasang telinganya kembi mendengar bahwa memang ada yang mengetuk pintu kamarnya. Jantungnya berdegup keas dan terasa gugup sekali. Antara panik dan bahagia, rasa itu kembali bercampur menjadi satu.
Maura merindukan sosok Panji yang sudah hampir dua malam tak kembali ke apartemen. Seperti ada yang hilang saja. Walaupun keduanya belum saling mengenal dengan baik.
Langkah kaki Maura dengan cepat menuju pintu depan dan mengintip dari lubang siapakah gerangan yang datang.
"Tuan Panji?" ucap maura saat membuka pintu kamar itu.
Lelaki yang ada di hadapannya malah terkejut menatap Maura. Maura pun juga terkejut menatap lelaki itu.
"Panji mabuk. Saya harus bawa kemana?" tanya Rey pelan kepada Maura.
"Ke kamar saja Pak," ucap Maura pelan sambil menutup kembali pintu depan apartemenya dan menunjukkan kamar yang di tempati oleh Panji.
Setelah merebahkan tubuh Panji. Maura dengan cepat melepaskan alas kaki dan dasi yang masih di pakai oleh Panji dan membuka satu kancing paling atas di kemejanya. Lalu menyelimuti panji dengan selimut tebal. Kedua mata Panji terpejam dan saat maura membalikkan tubuhnya untuk keluar kamar Panji pun membuka sedikit matanya dan mengediapkan pada Rey yang sejak tadi menatap Maura.
Rey hanya menggelengkan kepalanya pelan dan pergi begitu saja dari kamar mengikuti Maura dan sengaja menutup kamar Panji agar tak mendengar apa yang di bicarakan Maura dengan Rey.
"Kamu Maura kan?" tanya Rey pelan.
"Iya. Silahkan duduk mdulu? Mau kopi atau teh atau mau minuman lain?" tanya Maura lembut.
"Kopi boleh," jawab Rey pelan dan duduk di sofa yang sangat nyaman sekali.
"Hitam atau capucino?" tanya Maura kembali.
"Capucinno saja," jawab Rey pelan.
Rey masih takjub memandang Maura yng sudah berbalik badan. Menatap punggung gadis yang luar biasa cantik.
Ponselnya berdering, Rey menatap nama di layar ponsel itu dan menggerutu kesal. Panji sedang meneleponnya. Ia cemburu karena Rey sengaja menutup pintu kamar agar Panji tak mengetahui apa yang di lakukannya.
"Apa?" tanya Rey yang pura -pura kesal.
"Buka pintunya? Aku harus memastikan Mauraku baik -baik saja, tidak kau goda," tegas Panji dengan kesal.
"Kau cemburu dneganku?" tanya Rey kesal.
"Jelas. aku tak percaya pada siapa pun termasuk kamu jika urusannya dengan perempuan. Buka pintunya," teriak Panji di sambungan teleponnya.
Rey mematikan sambungan telepon itu saat Maura telah kembali dengan satu cangkir capucino.
"Ini kopinya. Silahkan di minum dan silahkan di ciicpi, makanan ringannya. Atau mau makan? Kebetulan Maura masak makanan banyak sekali. Mungkin mau cicipi masakan Maura, soalnya tuan Panji selau bilang masakan Maura tak enak. Tapi kalau tak di haiskan mubazir," ucap Maura lirih.
"Aku mau coba. Boleh aku cicipi? Kebetulan aku belum maan dan mungkin kita bisa ngobrol -ngobrol," pinta Rey dnegan semangat. Kebetulan perutnya memang lapar dan ia penasaran dengan masakan Maur yang telah membuat candu Panji.
"Serius mau mencoba. Kita makan di meja makan saja. Semua sudah siap. Ayo tuan?" ajak Maura dengan sopan.
"Panggil aku, Rey, Maura," ucap Rey dengan lantang sambil mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Rey? Nama ini tidak asing bagi Maura," ucap Maura pelan. Maura menerima uluran tangan itu. Saat kedua tangan itu bersentuhan, seperti ada aliran listrik yang menggetarkan keduanya. Maura langsung melepaskan tangan Rey.
"Kenapa Maura?" tanya Rey pelan.
"Tidak apa -apa. Ayok makan," jawab Maura pelan sambil mengibaskan tangannya yang masih terasa sengatan listrik itu.
Maura sudah memberikan piring kosong pada Rey dan membiarkan Rey mengambil apa yang dia suka. Wajah Rey begitu terlihat senang. Kebetulan perutnya lapar, di tawari makan, dan ternyta semua makanan itu adalah makanan kesukaannya dan terlihat enak.
"Hemm ... Wangi sekali. Ini pasti enak sekali. Boleh aku makan sekarang?" tanya Rey kepada Maura.
"Silahkan. Habiskan saja," jawab Maura dengan suara pelan.
Rey langsung melahap makanan itu. Saat mengunyah ia seperti teringat sesuatu.
"Ibu ...." ucap Rey lirih.
"Ibu?" tanya Maura yang sedikit kaget dengan ucapan Rey.
"Maaf Maura. Masakanmu ini sangat enak sekali, hingga aku teringat pada ibuku," ucap Rey jujur.
"Sudah lama tidak ketemu Ibu?" tanya maura pelan sambil menyuapkan nasi dan lauk pauk ke dalam mulutnya.
"Aku tidak tahu dimana Ibu dan adik perempuanku. kejasian itu sudah lama sekali, saat itu aku tertinggal di terminal," ucap Rey pelan.
Maura menatap lekat Rey. Tatapannya tajam menatap kedua mata Rey. Mata yang sama seperti mata Ibu.
"Kenapa ceritanya sama seperti cerita Ibu? Aku punya saudara laki -laki yang hilang, dan Ibu sellau menangis bila melihat anak laki -laki yang usianya sama dengan kakak kandungku. Namanya Reynand, hanya itu yang aku ingat," ucap Maura pelan.
Uhuk ... Rey pun langsung terbatuk.
"Kenapa? Ini minumlah biar tennag. Kalu makan pelan - pelan," ucap Maura lembut.
"Siapa nama Ibumu Maura?" tanya Rey yang penasaran.
"Ibu? Diana, dia Ibuku," ucap Maura pelan. wajahnya langsung terlihat sedih.
"Diana? Itu juga nama Ibuku? Dimana dia sekarang. Aku ingin bertemu dengannya," ucap Rey memohon.
"Kak Rey? Benarkah itu kamu? Apa kamu tak mengenal namaku?" tanya maura pelan.
"Aku hanya Ibu selalu memanggilmu dengan sebutan Rara, jadi itu yang aku tahu," ucap Rey meletakkan sendok garpunya di piring.
"Ya. Ibu memang memanggilku dengan sebutan Rara. Ibu sudah meninggal Kak. Beliau sakit, memikirka putra sulungnya yang hilang. Saat itu Ibu sudah menikah lagi dengan Tyo, hanya dia kami mengandalkan hidup sampai Ibu meninggal. Pada akhirnya, aku di jual kepada seorang laki -laki kaya seharga satu milyar untu menemani seorang lelaki," ucapan Maura terhenti. Air matanya menetes kembali mengingat kejadian malam itu.
"Menemani Panji? Kau tidur dengannya?" tanya Rey pelan.
Maura mengangguk pelan. Ia menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
"Ya. Setelah itu Maura pergi dan tak pernah menemui Ayah. Maura takut jika Maura harus di jual lagi. Lebih baik maura mencari pekerjaan yang bisa Maura lakukan untuk menyambung hidup Maura," ucap Maura pelan menjelaskan.
"Lalu? Sekarang kamu kerja dengan Panji? kamu tidak takut pdanya?" tanya Rey mengingatkan.
"Maura tidak punya pilihan. Kemarin tuan Panji yang menolong Maura dari maut. Dan sekarang Maura rela menjadi pelayannya, bekerja untuk tuan Panji," jawab Maura pelan.
Rey pun bangkit berdiri dan memeluk Maura dengan erat. Ia rindu dnegan Ibunya dan adik perempuannya. tapi kini semua rindu itu terbalaskan. Ia bisa bertemu dengan adik perempuannya.
BUGH ...
Suara pkulan telak di punggung membuat lawan terjatuh begitu saja.