Kaluna tidak tahu mengapa dia tidak mendorong Dhika menjauh. Tubuhnya justru menyerah pada derasnya arus gairah yang dibawanya. Bibirnya terus ditaklukkan, lidah mereka beradu, saling menuntut dan saling merenggut, membuat suara desah kecil lolos tanpa bisa ia bendung. “Nghh…. Shh… Dhika… anghhhh…” Tatapan Dhika yang membara saat ciuman itu terlepas sejenak membuat jantung Kaluna bergetar hebat. “Lo cantik, lo hebat…..,” ucapnya dengan suara yang begitu parau, dengan tangannya yang bergetar menyentuh pipi Kaluna perlahan. “Lo harus tahu itu, Luna. Lo…. Hebat….” Pujian yang meluncur dari bibir lelaki itu membuat pikirannya blank, seolah dirinya adalah pusat dunia. Tanpa daya, ia membiarkan Dhika kembali menelannya dalam ciuman yang kian intens, membuat tubuhnya tergelincir pasrah di atas