Zia memicing tajam ke arah Faruq. “Apa hubungannya dengan Fariz?” “Ada, lah. Dia korbannya, jadi dia berhak tahu siapa yang berniat mencelakakannya.” Zia tertawa sumbang. “Pak, anak saya masih bayi. Dikasih tahu pun, dia nggak akan paham. Jadi, jangan sangkutpautkan dia dengan masalah ini demi alasan konyol apa pun.” Faruq membuang napas panjang. “Padahal syarat saya sangat simpel. Saya hanya ingin melihatnya, tidak membawanya atau sampai menculiknya. Tapi kayaknya membawa Fariz ke sini saja lebih berat ketimbang mengetahui siapa pelakunya. Ya sudah. Nggak saya kasih tahu." Dengan santai, Faruq mengeluarkan ponsel dari saku dan menggulirnya asal. Ia mengabaikan tatapan maut Zia di hadapannya. “Kenapa, sih, Bapak sampai segitunya sama anak saya? Apa ada alasan tertentu?” Zia yang sudah