“I-ingin bicara sama saya, Bu?” tanya Zia tergagap. Ia sedikit mendengar ucapan Farah tentang lamaran. Wanita itu tidak mau terlalu percaya diri terlebih dulu. Lagi pula, tidak mungkin Faruq melakukan itu. “Iya. Tenang, kalau kamu takut dosa, saya ada di sini buat jadi yang ketiga.” Farah tersenyum. “Ta-tapi.” Belum sempat melakukan protes, ponsel Farah diletakkan di tangan Zia. Terpaksa wanita berkhimar abu-abu itu menempelkan ponsel di telinga. “Ha-halo.” “Assalamualaikum, Ibunya Fariz.” Di seberang, Faruq memulai obrolan. Ia tadi mendengar Farah memanggil nama Zia, sekalian saja ingin bicara dengan wanita itu. Sesekali. “Wa-waalaikumussalam.” Zia menjawab dengan terbata-bata. Entah mengapa, jika menyangkut pria itu ia merasa grogi. “Nggak usah takut, saya nggak bakal nerkam kamu,