Sepeninggal Lukman, Zia kembali merasakan sakit luar biasa. Kondisinya makin memburuk. Ia terus mengigau memanggil nama sang putra. Wanita itu sendirian di sana. Ada ikatan batin antara bocah tampan dan ibunya itu. Fariz seolah-olah tahu ibunya sedang tidak baik-baik saja. Di rumah Rahma, bocah itu menangis sangat kencang dan sulit ditenangkan. Rahma sampai kewalahan. Hidung Zia mengeluarkan darah segar. Namun, di ruang kelas tiga tidak ada CCTV. Pun tidak mungkin Zia berteriak minta tolong atau menekan bel sebab tubuhnya sudah tidak kuasa apa-apa lagi. Belum lagi, di kamar yang ada tiga ranjang pasien tersebut, hanya dirinyalah penghuninya. “Allah.” Zia berucap lirih. Tubuhnya benar-benar sudah tidak kuat. Namun, suara tangis dan tawa Fariz dalam angan seolah-olah terus memanggil, membe