Yanti mempersilakan Samira masuk dan mencari di kamar mandi. Sementara Santoso sudah mengurai pelukannya dari Zia. Mereka sampai tidak sadar ada Samira yang kembali datang. “Cah bagus ini siapa, Na?” tanya Santoso sambil membelai rambut Fariz. Fariz masih memeluk leher sang ibu. Bocah itu menangkis tangan Santoso yang ada di kepalanya. Ia menatap Santoso tajam. “Bubu anis.” Fariz berujar sambil menyentuh mata Zia dengan tangan kecilnya. Biasanya, Zia paling pintar menyembunyikan kesedihan. Namun, kali ini tidak bisa. Ia terpaksa menangis tersedu-sedu di hadapan sang anak. Zia mengangguk dan menciumi tangan Fariz, seolah-olah menjelaskan kepada putranya ia baik-baik saja. “Dia anak Zia, Pak. Cucu Bapak.” Faruq bangkit, lalu menggandeng Fariz agar ikut duduk dengannya. Namun, bocah itu