Gerald menatap ketiga anaknya yang saling duduk berjauhan. Saat ini mereka tengah sarapan lesehan di taman belakang. Mumpung weekend mereka Qitime. Tak biasanya ketiga anaknya itu duduk berjauhan. Biasanya mereka juga bertiga dan saling menjahili satu sama lain.
Rex duduk dengan anteng sambil menatap kagum kearah makanan yang dipesan Papanya. Karena Mamanya kurang enak badan, Papanya melarang Mama masak. Kalau besar, Rex ingin jadi kayak Papanya yang sayang Mama. Kecuali, Rex tidak mau jadi pemakan bibir manusia.
Adegan Gerald yang mencium bibir Keyara sangat terekam jelas di ingatan Rex.
Beda dengan Rex yang anteng dan tenang, Ray dan Rey tampak gelisah dan saling bisik-bisik. Mereka masih terngiang-ngiang dengan ucapan Rex yang tidak lagi membelanya. Mereka takut sendiri. Karena selama ini Rex yang membelanya dari anak tetangga yang suka membully mereka.
"Mas, itu kenapa sih mereka? Lagi bertengkar ya?" tanya Keyara heran. Gerald menggelengkan kepalanya. Tadi, saat ia memasuki kamar anaknya, Rex sudah mandi dan berusaha memakai bajunya sendiri walau kesusahan. Sedangkan Ray dan Rey, ia temukan masih diatas ranjang dengan wajah lesu.
"Rex, Ray, Rey, kenapa duduknya jauhan gitu?" tanya Gerald pada ketiga anaknya. Ray dan Rey menunduk, tidak berani menjawab.
"Rex, ada apa?" tanya Gerald lagi. Rex mencebikkan bibirnya. Selalu dia yang ditanya kalau kedua adiknya tidak bisa menjawab. Lelah rasanya jadi Rex.
"Mereka berdua ngajakin gelud aku, Pa. Benal kata Om Klis. Kalau meleka cupu," jawab Rex dengan sinis.
"Rex, gak boleh ngatain orang. Apalagi adek sendiri." tegur Keyara.
"Emang gitu, Ma. Kalau gak cupu, gak akan meleka selang Lex beldua. Satu lawan satu kalau belani." ketus Rex bersungut-sungut.
"Pasti kamu yang buat ulah kan?" selidik Gerald. Rex makin cemberut. Kenapa dia sekarang yang disudutkan?.
"Kenapa aku? Meleka dulu yang mulai!" teriak Rex.
"Rex, kalau dikasih tau orang tua gak boleh teriak." tegur Gerald.
"Pokoknya Lay sama Ley yang salah!" ucap Rex membanting sendok yang dia pegang. Bocah itu berdiri dari duduknya. Memakai sendal bermotif kartun dengan cepat.
"Rex mau kemana?" tanya Gerald ikut berdiri. Rex tidak menjawab. Bocah itu berjalan dengan sok iyes menjauhi makanan-makanan yang lezat.
"Papa hitung sampai tiga. Kalau gak balik awas!" ancam Gerald, tapi masih belum mempan.
"Papa buang mainan kamu semuanya." tambah Gerald. Rex menghentikan jalannya.
"Satu.. "
"Dua.. "
Rex membalikkan tubuhnya. Menatap Ray dan Rey yang juga menatapnya. Rex mengepalkan tangannya dan memperagakan seolah-olah menonjok adik-adiknya. Dengan wajah sok sangarnya, Rex kembali menjauhi Papa, Mama dan adik-adiknya. Gerald menghela nafas. Ganti dia menatap Keyara. Keyara juga sama, hanya bisa menghembuskan nafasnya.
"Ray, Rey, sini!" panggil Keyara. Kedua R itu lantas mendekat.
"Emang awalnya gimana, kok bisa tengkar?" tanya Keyara lembut.
"Tadi, Lex celita, Ma. Kalau dipelut Mama ada adek kecil. Tlus Ley tanya balik sama Lex. Kenapa bisa ada adek. Tlus Lex nya malah-malah. Bilang kalau dia pusing. Jangan tanya telus. Gitu," jelas Rey dengan logat cadelnya.
"Lex nya juga bentak-bentak Ley, Ma. Tlus aku belain Ley. Sama Lex malah kita dipukul sama guling," adu Ray ikut memberi penjelasan.
Gerald dan Keyara saling berpandangan. Anak-anaknya sering bertengkar. Namun, sepuluh menit kemudian langsung balikan. Kalau saat ini, malah yang satu main kabur-kaburan.
Rex pergi menjauhi rumahnya. Namun sayang, langkahnya yang mau membuka pagar, dihadang oleh Pak Sastro, satpam rumahnya.
"Rex mau kemana? Kok sendirian?" tanya Pak Sastro.
"Mau main. Bukain pagalnya!" jawab Rex.
"Udah ijin sama Mama apa belum? Nanti dicariin Mama kalau gak ijin."
"Udah kok. Tanya aja sendili." ujar Rex berbohong. Bocah itu memainkan bola yang ia bawa.
"Yaudah, bapak antar. Kamu mau main ke rumah siapa?"
"Mau ke lumah Azka. Gak usah diantal. Aku malu dikila cupu," ketus Rex. Bocah itu memaksa Pak Sastro membuka pagar. Pak Sastro hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah pintar anak majikannya.
Setelah dibukakan pagar, Rex segera berlari menjauhi rumahnya. Poninya naik turun seiring langkahnya. Langkah kaki kecilnya membawanya ke rumah sederhana yang mempunyai pekarangan luas.
"Azkaaaa!!" panggil Rex di depan rumah sederhana itu. Mendengar panggilan Rex, Azka yang sedang bermain kartu dengan teman-temannya langsung keluar.
"Rex!" sapa teman-temannya yang lain.
"Dimana Ray sama Rey?" tanya Azka.
"Lagi ngempeng," jawab Rex acuh.
"Ayo main bola!" teriak Farel yang dibalas sorakan yang lainnya. Rex melempar bolanya. Mulai tendang-tendangan dengan teman-temannya.
Dalam hati, Rex juga merasa kurang. Biasanya kedua adiknya ikut bermain walau jadi kiper. Adiknya juga sering jadi bahan bullyan kalau kakak Azka dan teman-temannya ikut main. Reno, kakak Azka yang sudah kelas satu SMP, selalu menjahili Ray dan Rey. Dan saat itulah, Rex membela adiknya.
Rex menendang bolanya dengan kencang sampai mengenai pot bunga yang ada di rumah Azka. Tanpa rasa bersalah, Rex mengambil bolanya. Menggiring kembali ke tengah-tengah dan mulai bermain. Saat Reno datang, permainan makin seru. Mereka saling berebut bola. Karena lawannya anak-anak gede, Rex sampai kuwalahan. Jatuh bangun sudah Rex rasakan. Lututnya banyak goresan karena tersandung. Namun, bocah itu sama sekali tidak menangis.
"Rex tendang kesini!" titah Akza. Rex langsung menendangnya. Karena tendangan yang kuat, Rex sampai membuat ambruk jemuran baju Ibu Azka.
"Gakpapa, hancurin aja semuanya. Nanti tagihannya budhe kirim ke rumah Papa kamu." ucap Ibu Azka. Rex mengangguk. Menendang bolanya kembali kearah Reno.
Hari makin siang, setelah lelah bermain. Rex ijin pulang. Ibu Azka memberinya cacatan kecil yang harus ia bawa ke Papanya. Kaki, lutut dan siku Rex penuh dengan luka. Belum lagi keringat yang bercucuran di kening.
Memasuki rumah, Rex mendengar suara cekikikan adik-adiknya. Wajah Rex berubah suram. Pantas saja Mama dan Papanya tidak mencarinya. Karena mereka sibuk bermain dengan Ray dan Rey.
"Rex, kenapa kamu luka-luka gitu?" tanya Keyara khawatir saat melihat penampilan anaknya. Rex membanting bolanya ke sembarang arah.
"Ini buat Papa!" ucap Rex memberi selembar kertas pada Gerald.
"Tagihan untuk Pak Gerald, karena Rex sudah merusak tanaman dan merusak jemuran hingga baju yang dijemur kotor semua." ucap Gerald membaca isi kertas itu. Gerald sudah tidak kaget lagi. Seperti itulah kalau anaknya bermain. Minggu kemarin, Gerald juga dapat tagihan karena Rey memecahkan kaca rumah Ibu Azka.
"Yaudah nanti Papa urus. Ayo, Papa obatin dulu lukanya." Gerald menarik tangan Rex, tapi Rex segera menghempas cekalan Papanya.
"Aku bisa sendili!" ujar Rex bersungut-sungut.
"Rex sini sama Mama kalau gak mau sama Papa." Keyara ikut membujuk Rex.
"Gak usah. Main aja sama Lay dan Ley. Lex bisa sendili." ucap Rex berlalu pergi. Rex tergesa-gesa memasuki kamarnya.
Setelah sampai kamar, Rex menuju kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Bocah itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang kotor.
"Hiksss aku mau main sama Mama Papa." isak Rex mulai menangis.
Bocah itu sedih saat ternyata, adiknya senang saat ia tidak ada di rumah. Dan mereka bahagia tanpa dirinya.
"Hikss hikss. Lututku sakit!" Rex merengek sendirian. Memandangi lututnya yang berdarah. Cukup lama bocah itu menangis sendirian. Bocah itu duduk dan menyenderkan dirinya di tembok. Kalau sendirian seperti ini, Rex lebih bisa mengutaran isi hatinya. Saat ini, Rex bukan hanya sedih karena Ray dan Rey tidak apa-apa tanpanya. Namun, sedih karena merasa tidak dianggap.
Setelah puas menangis, Rex melepas celana dan kausnya dengan susah payah. Saat sudah berhasil, Rex menjeburkan dirinya di bak yang sudah ada airnya. Sesekali bocah itu akan mengusap air matanya yang masih menetes.
"Mas, gimana sih tadi kita kok gak cari Rex." ucap Keyara menggigit kukunya gelisah.
"Aku gak cari dia. Karena biar dia bisa mikir. Kalau yang dia lakuin itu salah. Kenapa coba pakai mukul adiknya gitu." jawab Gerald.
"Tapi kan Rex masih kecil. Dia juga gak sengaja."
"Keyara, jangan terus bela Rex yang salah!" ucap Gerald memperingati. Bukan maksud Gerald pilih kasih, tapi Gerald hanya ingin mengajarkan anaknya agar bisa lebih baik kedepannya.
"Masih kecil, wajar kalau bertengkar." ujar Keyara ngotot.
"Mama, Papa, jangan beltengkal!" ucap Ray menghampiri Papanya. Gerald merutuki dirinya sendiri. Kenapa bisa ia kelepasan emosi saat ada anak-anaknya. Gerald menggendong Ray. "Papa gak bertengkar kok. Main lagi ya?" Ray mengangguk. Ia memang masih belum bosan main.
"Aku mau nemuin Rex dulu. Kasihan dari pagi belum sarapan." ucap Keyara beranjak ingin menyusul Rex. Belum sempat menuju pintu, pintu sudah terbuka. Menampilkan Rex yang hanya memakai celana pendek. Bocah itu tak memakai baju. Rex tidak bisa memakai baju karena sikutnya sakit.
"Rex itu siku kamu sampai kayak gitu. Tadi jatuhnya gimana? Ayo Mama obatin dulu." Keyara sudah sangat panik mengetahui luka Rex yang ternyata sangat parah. Rex menggeleng, berlari menjauhi Mamanya.
"Rex kamu mau kemana lagi? Kamu belum sarapan juga." Keyara berlari mengejar Rex.
"Keyara jangan lari. Ingat kandungan kamu!" Gerald menyusul istrinya. Menahan tubuh istrinya agar tidak lari-lari lagi.
"Mas lepasin, aku mau nyusul Rex dulu." berontak Keyara.
"Kamu tunggu disini, biar aku yang susul Rex." Gerald mendudukkan istrinya di ruang makan. Pria itu menyusul anaknya yang lari ke taman belakang. Rupanya Rex tengah sibuk mencari capung.
"Rex sini! Ikut Papa!" Gerald menarik lengan kecil anaknya. Rex meringis sebentar. Papanya memegang tepat kearah lukanya.
"Kamu kenapa sih gak nurut sama orang tua. Kabur gak mau sarapan, pulang-pulang babak belur kayak gitu. Bikin Mama kamu khawatir. Kamu seneng lihat Mama kamu sedih kayak gitu? Mama kamu mau obatin malah kamu lari-lari lagi. Mau kamu apasih?" marah Gerald menatap tajam anaknya.
"Bisa gak kalau nakalnya dikontrol dikit. Apa kamu beneran seneng lihat Mama sedih?" Gerald terus menyudutkan Rex. Rex tak bersuara. Hanya membalas tatapan Papanya.
"Mas, kenapa marahin Rex lagi?" tanya Keyara yang mulai berkaca-kaca. Perempuan itu selalu tak terima kalau anaknya dimarahin Gerald.
"Lihat Mama kamu. Mama kamu selalu belain kamu. Tapi, kamu gak tau terimakasih sama sekali. Sukanya buat keributan." maki Gerald.
Rex diam saja. Seterserah apa Papanya ngomong. Keyara mendekati Rex. Mengelus puncak kepala anaknya dengan sayang. "Sayang, masuk dulu yuk. Rex sarapan Mama yang suapin." ucap Keyara dengan lembut. Rex mengangguk. Mengikuti langkah Mamanya.
Gerald menghela nafas. Tanpa sengaja, pria tiga anak itu melihat telapak tangannya. Ada noda darah disana. Seketika Gerald merass bersalah. Ia sudah menarik tangan anaknya yang sedang terluka.
Sama halnya dengan Gerald, Ray dan Rey ingin menangis melihat Rex yang dimarahi habis-habisan oleh Papanya. Tampak sekali kalau Rex menyimpan ekspresi sedihnya.
Rex memakan makanannya dengan lahap. Sebenarnya perutnya sangat sakit karena telat makan, tapi dia diam saja. Tak mau membuat Mamanya makin sedih.
"Mama jangan sedih ya!" ucap Rex mengusap air mata Mamanya dengan tangan kecilnya. Bocah itu mencoba menghibur Mamanya agar tidak sedih. Padahal, dia sendiri sedang menyembunyikan kesedihannya.