CHAPTER 5

1136 Kata
Berbulan-bulan telah terlewati sejak peristiwa di mana Elina membunuh dirinya sendiri tepat di depannya. Alaina tidak hidup bebas seperti biasanya, ia merasa terintimidasi setiap detik. Apalagi saat mengetahui kalau selama ini pun, Stefan tidak berhenti mengusik kehidupannya. Alaina masih ingat dengan jelas, bagaimana Stefan menawarkan perlindungan dengan cara licik yang membuat ia ingin membunuh laki-laki itu. Dia mencoba berpikir jernih, sebenarnya Stefan itu siapa hingga dia berkata kalau dirinya akan memberi Alaina perlindungan. "Loh? Nona Alaina, Anda belum pulang?" Alaina tersadar dari lamunannya tentang peristiwa itu lalu mendongak untuk bisa melihat asistennya yang berdiri di ambang pintu sambil mengamatinya heran. "Ah, itu... Aku sedang lembur. Ada beberapa desain gaun yang harus aku kerjakan. Kalau kau mau pulang, silahkan saja." Perempuan dengan kacamata tebal itu menatapnya iba,"Nona... Jangan forsir waktu Anda seperti ini. Saya akan membantu Nona jika-" "Pulanglah, Dianna. Aku baik-baik saja." Perempuan tadi lantas mengangguk. Dia berbalik untuk segera pulang, tapi langkahnya terhenti. Dia kembali menatap Alaina,"Oh ya, Nona. Tadi ada kiriman dari kurir, saya menaruhnya di atas meja luar." "Iya, aku akan melihatnya." Dianna pun kembali melangkah keluar dari butik tempat dia bekerja, menyisakan Alaina sendirian di tempat itu. Gadis itu menyandarkan tubuhnya di kursi putar lalu ia memejamkan mata. Semua kegilaan ini membuat tiap malamnya tidak sebaik dulu. Alaina dihantui rasa bersalah, takut, dan cemas disaat yang bersamaan. Ia ingin mengadukan semua ini pada ayahnya, tapi Alaina selalu mengingat ucapan Stefan saat itu. Jika kau membocorkan kasus ini pada orang lain, maka keluargamu akan berada dalam bahaya, Alaina. Aku mengatakan ini bukan karena aku mengancam mu, ini adalah peringatan dariku karena dalam dunia kami... Balas dendam adalah hal yang lumrah. Bagaimana ia bisa membuat keluarganya dalam bahaya? Alaina tidak ingin melihat siapa pun berusaha mendekati keluarganya, jadi dia menuruti setiap kata-kata Stefan dengan menyimpan masalah ini sendirian. Pria itu berkata akan membantu dan memberi perlindungan jika Alaina menurut, tapi kenyataannya? Stefan adalah orang yang membuat hidup Alaina dalam kesengsaraan dengan mengirimkan macam-macam gangguan seperti mawar hitam dan beberapa pesan singkat yang berisikan kata-kata m***m. Menyebalkan sekali! Ia berdiri dari kursinya untuk melihat kiriman yang diletakkan Dianna di meja tamu. Alaina tidak perlu menebak apa itu, karena sudah pasti Stefan kembali mengusiknya. Gadis itu mendesah lelah saat tebakannya benar. Buket bunga mawar hitam yang tampak mengerikan itu kini tersimpan tepat di atas meja. Ada secarik kertas kecil yang terlipat di bawahnya, Alaina meraih kertas itu dengan kasar lalu membacanya. Aku menginginkan dirimu di atas ranjangku, Alaina. - S. R. Ia merobek kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah, bersamaan dengan buket bunga besar yang tadinya menghiasi meja tamu. Alaina memijat pelan keningnya yang pusing, bagaimana caranya lepas dari pengawasan pria itu? Stefan selalu mengganggunya di mana pun bahkan saat dia pergi ke pulau De Paula untuk menghadiri pesta pernikahan kakaknya. Alaina tidak punya tempat untuk sembunyi karena Stefan selalu berhasil menemukannya dan itu membuat dirinya semakin dilanda kegelisahan yang kentara. "Ya tuhan... Bagaimana ini?" Ia duduk di atas sofa warna biru tua lalu kembali mengerang frustasi. Beberapa hari yang lalu, ia sempat memikirkan untuk kembali menemui Stefan dan ingin melakukan kerja sama dengan pria itu, tapi lagi-lagi keinginannya hilang. Nyalinya ciut saat mengingat rangkaian peristiwa dan dugaan-dugaan yang ia layangkan pada Stefan. Alaina yakin, Stefan bukan pria biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan dari pria itu darinya dan pasti hal yang Stefan sembunyikan amatlah berbahaya. "Apa benar Stefan itu anggota Mafia? Dilihat dari mana pun juga, dia adalah kandidat yang cocok untuk dikatakan mafia," Alaina menatap gusar pada jam di dinding. Waktu terus berlalu dan ia tidak yakin apakah dirinya akan bisa lepas dari genggaman Stefan yang berkata akan melindunginya dari luapan kemarahan keluarga Elina. Di lain tempat— di sebuah rumah yang menyimpan jutaan rahasia gelap, seorang pria tengah berlatih di dalam ruang pelatihan. Di tengah malam yang sunyi, sendirian, dan gelap— ia berlatih. Keringatnya bercucuran tiap kali ia melayangkan kepalan tangannya pada samsak tinju yang ada di depannya. Geramannya terus keluar diiringi rasa dendam dan emosi yang membara dalam hatinya. Ia tidak memedulikan bagaimana butiran keringat yang berjatuhan dari ujung rambutnya dan membasahi kaus tanpa lengan berwarna hitam yang ia kenakan. Fokusnya hanya satu, yaitu terus memukul samsak itu hingga buku jarinya berdarah. Dia tidak bisa melupakan detik kejadian itu, di mana sebuah peluru menembus langsung ke dalam kepala wanita yang sangat ia sayangi walau kehadiran dirinya tak diharapkan di dunia. Hatinya selalu perih saat mengingat rentetan kejadian itu yang selalu berhasil menguasai emosinya menjadi satu. Cklek! "Stefan?" Pintu ruangan yang gelap itu dibuka pelan. Seorang pria dengan rambut yang mulai memutih masuk ke dalam lalu menyalakan lampu yang sengaja dimatikan hingga tubuh Stefan yang berkeringat semakin terlihat. "Mau apa kau kemari?" Stefan bertanya tanpa berpaling dari samsak di depannya. Pikirannya sedang kalut dan ia hanya ingin melampiaskannya lewat pukulan. "Ayah kemari karena ingin berbicara denganmu. Bisakah kita bicara berdua?" Mata coklat Stefan melirik tajam ke arah kiri lalu ia berhenti untuk memukul samsak. Ia meraih botol minum yang terletak di sampingnya lalu meneguknya hingga habis. "Bicara apa?" Tanyanya. Ia mengelap keringatnya dengan sapu tangan yang waktu itu ia gunakan untuk mengelap telapak tangan Alaina. "Aku sudah mendengar kalau selama beberapa bulan ini, kau terlibat perseteruan dengan kelompok Elang Putih. Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan nada kecemasan. Dia sebenarnya tidak ingin putra kandungnya menjadi seperti ini, tapi mau dikata apa? Semuanya sudah terlanjur dan ini adalah kesalahannya. Ia tidak bisa menyalahkan Stefan begitu saja. "Aku bukannya mencari masalah. Aku hanya meluruskan masalah yang bahkan tidak pernah aku buat. Perlu waktu yang lama bagiku untuk bisa kembali hidup damai tanpa gangguan dari orang kulit hitam itu dan harusnya kau berterima kasih padaku." "Dengan membunuh tetua klan mereka? Apa kau sudah kehilangan akal mu, nak?" Tanyanya lagi. Degup jantungnya semakin tak karuan saat melihat ekspresi Stefan yang terlihat santai seolah membunuh adalah hal yang biasa. "Aku tidak suka saat ada orang yang berani menyangkal keputusanku. Seharusnya kau tak perlu menanyakan hal yang tak harusnya kau tanyakan." Pria itu memilih untuk pergi. Dia malas berbincang dengan ayah kandungnya sendiri yang selalu bersikap seperti seorang pahlawan dengan mencoba untuk merubah perilakunya. Tidakkah dia lupa kalau dirinya adalah salah satu alasan utama mengapa Stefan bisa tumbuh menjadi seperti ini? "Stefan... Ayah minta maaf. Karena kesalahanku, kau harus hidup begini." Stefan berhenti di depan pintu, ia melirik sekilas pada Reginald, ayahnya, sebelum kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk mandi. Semua sudah terjadi dan Stefan tidak ingin menyesali apa yang sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sekarang ini ia punya tujuan lain yang harus segera ia selesaikan juga. Alaina. Stefan menginginkan perempuan itu menjadi miliknya. Ia ingin menunjukkan pada Alex Grissham kalau karma itu ada. Stefan ingin menyakiti Alaina dengan caranya dan ia benar-benar berharap Alex melihat bagaimana ia memperlakukan putrinya dengan kasar. Itu adalah bentuk balas dendam terbaik menurutnya dibanding harus melenyapkan nyawa Alaina. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN