“Aku berangkat,” pamit Jindan, “kunci saja pintunya.” Bilqis mengangguk. Wanita itu tengah mengamati sang suami yang sedang memasang jaket kemudian masker. “Besok kamu terpaksa berangkat sendiri. Tidak apa-apa, ‘kan? Aku sampai rumah pukul delapan.” Bilqis kembali mengangguk. Matanya masih saja menatap sang suami. “Kalau malas memasak, kamu bisa membeli sarapan di depan masjid itu ada penjual nasi. Cuma deapan ribu satu bungkus. Semua gorengan harganya seribu. Atau kamu bisa memasak mi instan. Aku sudah membeli beberapa bungkus lengkap dengan telurnya.” Jindan sibuk memasang retsleting jaketnya yang tidak bisa dinaikkan. ‘Ini kenapa jaketnya berulah?’ pikir Jindan. Tangannya sampai berkeringat. Ada campuran rasa malu dan gugup yang hinggap di hatinya. Setelah mengatur degup jantungnya