Selesai meeting dengan beberapa client dan mengurus keperluan kantor lainnya, Raka pulang ke rumah sendiri. Awalnya dia ingin menginap di apartemen Roy, tapi Roy tidak mengizinkan. Karena di apartemen Roy ada bayi, istri Roy baru melahirkan.
Sang satpam membukakan gerbang untuknya dan mobil pun masuk. "Tolong, cuci mobilnya." Kata Raka kepada Pak Budi.
"Baik, Pak."
Raka masuk ke rumah. Di dalam tidak ada siapa-siapa, tapi di dapur dia mendengar suara gelotakan dan suara jeritan keras seseorang. Dahinya mengernyit heran. Buru-buru ia melangkah kakinya ke dapur.
"AAAaaaa...." Seseorang di dapur berteriak lagi.
Raka mempercepat langkahnya dan sampai di dapur dia melihat Tiffany. Tiffany sedang menutupi matanya dengan kedua tangan.
Mata Raka melotot tak percaya lantas kepalanya menatap lantai, disana ada kecoa. "HYAA... KECOA..." Raka berteriak histeris dan berlari ke kamar.
Brakk.
Pintu kamarnya di tutup hingga menimbulkan suara keras.
Sedang Tiffany? Dia menyadari bahwa ada yang berteriak di depannya langsung membuka mata, tapi tidak ada orang. Matanya lirak-lirik mencari keberadaan kecoa tadi dan ternyata sudah hilang. Syukurlah. "Mas Raka?" Gumamnya dan segera menyelesaikan masakannya agar cepat kelar karena sudah sore hari.
Selesai menyajikan masakan di tempat makan, Tiffany berniat membangunkan Raka untuk makan. Dia mengetuk pintu kamar Raka, "Mas Raka, Mas...." Serunya sambil mengetuk pintu.
Tidak ada sahutan dari dalam.
"Mas Raka.. kecoanya udah nggak ada..." Katanya lagi, seolah meledek.
Yang di dalam membuka selimutnya dan menyumpah serapahi Tiffany. Bisa-bisanya wanita itu bilang kalau kecoanya sudah tidak ada, padahal dirinya sendiri saja takut.
"Mas Raka..." suara itu lagi yang di dengar oleh telinga Raka.
Raka beranjak dan membukakan pintu, "Apa?!" Ketusnya.
"Kecoanya udah nggak ada." kata Tiffany sambil terkikik geli.
"Nggak usah sok. Kamu aja tadi takut." Sahut Raka dan berjalan menuruni tangga tanpa memperdulikan Tiffany.
Tiffany mengerutkan keningnya dan masuk ke kamar. Mungkin dia tidak akan makan malam, langsung tidur saja sampai pagi.
Didapur, bukannya langsung mengambil piring saji dan makan, Raka lebih memilih mencari keberadaan kecoa tadi. Raka membungkukkan tubuhnya untuk melihat situasi di kolong meja makan, tapi tidak ada kecoa. Menghela napas lega akhirnya ia bisa duduk dengan tenang. Mulai makan. Tapi tetap saja masih celingukan.
Selesai makan, dia masuk ke kamar untuk mandi dan tidur.
****
Pagi. Seperti biasa, jika sudah pukul enam alarm Tiffany selalu berteriak dan mau tak mau dia harus bangun. Walaupun ini hari libur, dia harus tetap bangun pagi karena pagi ini Tiffany akan ke apartement Ofi dan Eva untuk berjalan-jalan, mungkin. Tiffany bangun dan mematikan alarm yang terletak di nakas dan bergegas mandi lalu membuatkan sarapan untuk Raka si-suami labil.
Selesai mandi dan memasak, Tiffany memilih untuk duduk di taman belakang, tangannya membawa segelas teh dan novel.
"Ehmm.."
Belum saja Tiffany duduk disana, seseorang telah mengganggunya dengan deheman. Dia menggerutu dalam hati dan berbalik badan.
Disana sudah ada Raka yang hanya mengenakan celana boxer kesayangannya yang berwarna kuning dan bertelanjang d**a sambil berkacak pinggang.
Tiffany menelan ludah susah payah. Ini kali keempat Tiffany melihat Raka bertelanjang d**a.
Menggoda seperti coklat. Tiffany membatin, pandangannya terus menelusuri tubuh Raka.
"Udah, liatinnya?" Ujar Raka berlagak sombong.
Tiffany menggeleng dan mengerjapkan kedua mata beberapa kali, "Ng... hehehe.."
"Cepat buatkan air panas, aku mau mandi."
Tiffany mengangguk dan berjalan mendahului Raka.
"Sini tehnya!" Raka lagi.
Tiffany berhenti dan berbalik badan. "Hm?"
Raka langsung saja mengambil gelas yang di genggam oleh Tiffany dan berjalan masuk ke taman sambil meminum teh itu.
Itu bekas aku Mas.. Batin Tiffany.
Tiffany menggeleng dan kembali berjalan.
Raka duduk di tempat duduk yang ada di taman. Disitu, tepatnya di meja terdapat sebuah novel yang berjudul 'Surga Istri Ada di Suami'.
Raka meraih novel itu dan membaca judulnya. "Surga istri ada di suami." Dan tersenyum meremehkan.
Merasa tertarik, Raka membuka halaman satu dan membaca.
"Jika seorang istri membantah perintah sang suami, maka terjunlah wanita itu ke neraka." Lagi-lagi Raka tersenyum.
Di dapur, Tiffany sudah selesai memasak air dan tinggal di siapkan di bak kamar mandi. Selesai itu dia kembali lagi ke taman belakang rumah. Sampai di pintu, dia melihat Raka membaca novelnya sambil tersenyum-senyum. Tiffany menghampiri Raka. "Airnya udah." Katanya.
Raka berhenti membaca dan meletakan buku itu salah tingkah lalu menatap Tiffany sekilas dan berlalu. Aneh.
Tiffany menatap kepergian Raka. Suaminya itu sangat aneh belakangan ini. Tiffany meraih novelnya dan duduk, sebelum akhirnya dia ke apartemenOfi.
Satu jam Tiffany duduk disitu dan membaca novel sampai setengah dia baru ingat bahwa jam sembilan ia harus ke apartement Ofi. Tiffany bergegas keluar dari taman menuju kamar untuk berganti baju.
Selesai berganti baju, Tiffany keluar sambil menyangking tas kecil yang hanya berisi kertas. Mungkin.
Di depan, Tiffany melihat Raka sedang berbincang dengan Pak Budi. Tiffany menghampiri mereka, untuk berpamitan kepada Raka. "Mas, aku mau ke apartemen Ofi." Katanya setelah sudah ada di sebelah Raka.
Pak Budi berpamitan saat melihat Tiffany menghampiri mereka.
Raka menoleh, "Terserah." Tukasnya.
"Sebenarnya, sebenarnya aku mau pinjam mobil."
"Nggak!" Jawab Raka, lantang.
"Hape? Sebentar... aja.. please..." Tiffany benar-benar memohon.
"Nggak!" Sahut Raka lagi dan pergi meninggalkan Tiffany.
Tiffany menghela napas dan mau tak mau dia harus jalan kaki, karena dia sudah tidak punya uang sepesiar pun.
"Ya Tuhan... panas banget sii.. mana nggak ada uang buat beli minum, lagi." Gerutunya sambil terus berjalan.
Tin tin...
Ciiiittt...
Hampir saja sebuah mobil menyerempet seorang diri Tiffany. Tiffany mengelus dadanya berkali-kali, mulutnya bergumam membaca istighfar. Tiffany menoleh kebelakang. Dilihatnya, mobil yang hampir menabrak dirinya telah berhenti dan... dan keluarlah seorang laki-laki. Tiffany mengerutkan dahi saat melihat laki-laki itu menghampirinya.
Dengan cepat orang itu berlari menghampiri Tiffany dan berminta maaf. "Maaf Mba, saya tidak sengaja. Maaf..." lelaki itu meminta maaf setelah dirinya sudah di hadapan Tiffany sambil kepalanya menunduk, takut Tiffany akan marah. "Sekali lagi saya minta maaa----" Dia berhenti meminta maaf, saat dirinya mengangkat kepala untuk melihat seseorang yang telah dirinya hendak tabrak.
"Tiffany?" Lanjutnya memanggil nama Tiffany. Dari mana dia tau nama tiffany?
Tiffany mengerutkan dahinya, "Hah?"
"Kamu Tiffany Shafei kan?" Kata orang itu.
"Kok kenal?" Tiffany semakin bingung.
Tanpa aba-aba, laki-laki itu memeluk tubuh Tiffany. "Tiff, ini aku... Ali..." katanya sambil terus memeluk.
Tiffany diam saja. Baru saja orang itu memeluk dan sekarang dia bilang bahwa dia adalah Ali. "Ali?" Tiffany melepas pelukan itu dan menatap orang yang bernama Ali itu.
"Kamu beneran ali? Ali islami?" Ali mengangguk.
"Ali yang dulu waktu SMA selalu ngelindungi aku?" Ali mengangguk lagi.
Dan sekarang giliran Tiffany yang memeluk Ali tanpa izin.
"Ehm, Tiff bisa lepasin nggak. Aku nggak bisa napas." Ujar Ali
Cepat-cepat Tiffany melepas pelukannya dan menunduk malu, "Kangen banget Li, sama kamu."
"Masa sih? Sekangen apa?"
"Sekangen ini." Sahut Tiffany dan tersenyum sumringah.
"Serius..?"
"Ali dulu sama yang sekarang sama aja yah.. sama-sama nyebelin, nggak percayaan."
Ali merangkul Tiffany dan berbisik, "Tiffany yang dulu sama sekarang juga sama. Selalu cantik."
"Aku masih ingat, dulu kamu ngomong aku cantik waktu... waktu di toilet. Iyakan?"
Ali menggeleng.
"Nyebelin." Rajuknya manja.
"Baru ketemu, masih aja manja. Eh, kita ngobrol di Kafe yuk? Nggak enak disini, masa iya jalan umum buat ngobrol?"
Tiffany terkekeh dan mengangguk, "Dimana?"
"Kafe dekat sini aja."
Tiffany mengangguk dan Ali menggiring Tiffany ke mobilnya. Mobil Ali memutar balik.
"Gimana Tiff? Udah punya pacar?" Tanya Ali di sela-sela mengendarai mobil.
Tiffany menoleh. "Aku udah nikah Li."
Ali sekilas melirik ke Tifffany dan kembali menatap kedepan. "Kapan?"
Tiffany bingung. Dia berharap Ali akan terkejut dan menancap rem mobilnya secara tiba-tiba, tapi ternyata tidak. Reaksi Ali hanya meliriknya sekilas dengan wajah datar tidak ada terkejutnya sama sekali. Beda dengan dulu, saat Tiffany di tembak oleh temannya, Ali sampai menangis dan hendak memukuli orang yang berani menembak Tiffany untuk menjadi kekasihnya.
Sejak dulu Ali memang menyukai Tiffany tapi ia tidak berani untuk menyatakan perasaannya, Ali terlalu takut untuk patah hati hingga akhirnya Tiffany menikah dengan Raka dan tidak pernah bertemu dengan Ali lagi.
"Udah jalan dua tahun. Belum genap siiih.." jawab Tiffany, berusaha terlihat biasa saja padahal dalam hati dia kecewa dengan Ali.
Ali mengangguk-angguk dan mobilnya berhenti di sebuah Kafe sederhana. "Disini aja, gimana?" Tanyanya.
"Boleh."
Mereka turun dan duduk di antara kursi yang penuh dengan orang. Tiffany duduk berhadapan dengan Ali. Keduanya memesan minuman yang sama.
"Li, kamu sekarang jadi apa?" Tanya Tiffany.
Ali mengangkat kepalanya hingga sekarang bisa menatap wajah Tiffany lebih dekat, "Nerbangin orang."
Tiffany terkejut. "Captain maksud kamu?"
Ali mengangguk.
Tiffany tersenyum. "Aku nggak percaya."
"Awalnya juga aku nggak percaya sama sekali. Papa yang masukin aku ke sekolah penerbangan."
"Terus.. pendapat tante Hanum gimana? Tante Hanum kan takut naik pesawat."
Ali terkekeh. "Ya... waktu Papa ngomong kalo aku bakalan di masukin ke sekolah penerbangan Mama aku ngambek seminggu dan nggak mau ladenin Papa makan."
Tiffany tertawa.
"Eh, ngomong-ngomong Ibu kamu gimana kabarnya? Empat tahun nggak ketemu sama Bu Tuti."
"Kemarin aku juga habis kesana, beliau baik-baik aja."
"Si Tomi?"
"Baik juga."
Tiba-tiba ponsel Ali berbunyi, sang pemilik segera merogoh saku celananya dan permisi kepada Tiffany, dirinya keluar dulu untuk mengangkat panggilan.
Tiffany memandangi Ali, di balik kaca Kafe. Ali sedang menelpon dengan seseorang. Tiffany tersenyum. "Pilot." Gumamnya dan meminum jus yang dia pesan.
Di tempat kasir, seseorang sedang memandangi diri Tiffany. Orang itu mengerutkan dahi. Setelah dia selesai membayar, dia menghampiri meja Tiffany dengan membawa satu plastik penuh makanan. "Tiff.." orang itu menepuk bahu Tiffany dari samping.
Tiffany terkejut dan menoleh, mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang tadi memanggil namanya.
"Ofi??" Pekik Tiffany.
"Kenapa nikungnya malah ke Kafe?" Tanya Ofi penuh kesal.
Tiffant tersenyum malu-malu. "Maaf Fi.. tadi ak—,"
"Sorry Tiff lama." Ali mencelah penjelasan Tiffany kepada ofi.
Ofi mendongak, untuk melihat seseorang yang ada di hadapan Tiffany. "Wahh... ganteng banget.." gumam Ofi sambil kedua tangannya menangkup pipnya penuh kagum, sampai-sampai dia lupa dengan kantong plasticnya.
Ali melirik Ofi dan tersenyum.
"Eh, iya. Li, kenalin ini Ofi temen kampus. Dan.. Fi, ini Ali teman SMA aku." Ujar Tiffany tapi Ofi tidak menyahut sama sekali, dia masih memandang Ali.
Sedang Ali, memang sih Ali juga sedang memandang Ofi, tapi dengan dahi berkerut dan mulut yang menahan tawa, karena wajah Ofi yang sungguh lucu.
Tiffany mendorong tubuh Ofi agar Ofi duduk di kursi yang kosong. Ofi menurut saja tanpa menoleh ke Tiffany.
Tiffany berbisik. "Fi, jangan bikin aku malu please.. ini temanku Fi.."
Ofi tersadar dan geligapan. "Eh," Ofi mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan ali. "Kenalin, aku Ofi Sagitarius."
Ali membalas uluran tangan Ofi, "Ali Islami." Dan tersenyum ramah.
"Ehmm.." Tiffany sengaja berdehem agar kedua makhluk yang sedang bersalaman bisa mengakhiri salamannya dan ternyata berhasil.
Tiba-tiba ponsel Ofi berdering, tanda ada pesan masuk. Ofi segera mengambil ponselnya yang dia letakan di plastic belanjaannya tadi. Ternyata pesan dari Eva, Ofi menyimpan ponselnya kembali dan melirik Tiffany.
"Tiff, di suruh buru-buru ini sama Eva. Lo mau barengan aja atau gimana?" Tanyanya.
Tiffany menoleh ke Ali, tidak enak juga dengan Ali. "Mmmmm...."
"Udah.. nggak apa-apa kok, kamu barengan aja sama... sama Ofi." Sergah Ali.
"Terus nanti Kamu sendirian Li?" Tanya Tiffany.
Ali mengangguk dan tersenyum, "Boleh minta nomor hapenya nggak, Tiff? Nomor kamu yang dulu udah nggak aktif kan?"
Tiffany mengangguk, dia bingung jika dia menyerahkan nomor ponselnya pasti nanti nomornya juga tidak akan aktif karena kartunya tidak di pasang di ponsel. Ponsel saja tidak ada.
"Mmm... gimana kalo kamu aja yang ngasih nomor hape kamu ke aku? Aku nggak bawa hape."
Ali setuju, dia merogoh saku kemejanya lalu menyerahkan secarik kertas yang sudah bertuliskan nomornya.
Tiffany meraih kertas itu. "Makasih. Yaudah, aku sama Ofi duluan ya? Kamu nggak apa-apa 'kan Li?"
"Santai Tiff... kita kan besok juga bisa ketemu lagi." Kata Ali dan tersenyum.
"Mmm.. Ali.. kita pergi dulu ya?" Celetuk Ofi. Ali mengangguk.
Tiffany dan Ofii keluar dari Kafe. Untunglah, Ofi memakai mobil. Tapi, ada malasnya juga. Di mobil Ofi memberikan pertanyaan yang berantai dan menuduh-nuduh tak jelas.
"Tiff.. tadi itu siapanya lo sih? Kok manggilnya aku-kamu terus kayaknya baik banget sama lo. Jangan-jangan lo selingkuh ya..Tiff, di belakang Raka? Aduh Tiff.. jangan deh, gue kan udah belain lo mati-matian di depan Raka, masa iya lo selingkuhin Raka sih?" Cerocos Ofi sambil mengendarai mobil.
Tiffany yang duduk di sebelah kemudi hanya menghela napas.
"Tiff, jawab dong..."
"Dia temen masa SMA Fi, dari dulu juga aku panggil dia aku-kamu dan semua orang itu baik. Contohnya kamu, kamu baik kan sama aku? Kalo selingkuh, kayaknya nggak deh." Sahut Tiffany akhirnya.
Ofi manggut-manggut. "Terus, Ali udah punya pacar belum? Kerjanya apa sih?"
Tiffany membenarkan letak duduknya, "Belum. Pilot." Jawabnya ketus.
"Serius lo? Belum? Aaa... semoga Ali jodoh yang dikirim Tuhan buat gue..." kata Ofi antusias, "Udah mapan, ganteng, menjamin banget deh... apalagi profesinya.. Pilot?. Aduh... makasih Tuhan.." lanjutnya.
"Fi, nyetir yang bener."
Ofi terdiam.
Tak lama kemudian, mobil Ofi sudah sampai di basemen, keduanya turun dari mobil dan masuk ke apartement.
Sampai disana, Tiffany dan Ofi melihat Eva sedang tidur di sofa dengan selimut yang berantakan dan wajah Eva yang sepertinya sedang sakit.
"Eva sakit Fi?" Tanya Tiffany dan langsung menghampiri Eva.
Ofi mengagguk dan membuntuti Tiffany dari belakang, "Biasa, tiga bulan sekali."
Tiffany memegangi dahi Eva. "Va, badan kamu panas banget. Kita ke Rumah Sakit yuk?" Ajaknya. Sang empu menggeleng lemas.
"Nggak usah Tiff, gue udah beli obat di apotek. Nih Va diminum." Ofi menyerahkan dua pil ke Eva.
Eva mengambil posisi duduk dan meraih obat itu.
"Nggak makan dulu?" Celetuk Tiffany.
"Aturannya diminum sebelum makan Tiff." Sahut Ofi seraya menyerahkan air putih ke Eva, selesai menelan obatnya.
Tiffany manggut-manggut, "Eh, kalian punya hape bekas nggak? Aku pinjem dong..."
"Gue ada Tiff, tapi hape biasa." Sahut Eva.
"Nggak apa-apa. Aku pinjem ya?"
Eva mengangguk. "Ambil aja di nakas kamar." Suruhnya dan Tiffany langsung berlari ke kamar.
"Eh, Fi. Kenapa lo bisa bareng sama Tiffany?" Tanya Eva.
"Tadi gue ketemu dia di Kafe. Ohiya, di Kafe dia lagi berduaan sama cowok, Va." Jawab Ofi dengan mata yang agak melotot.
"Serius lo?"
Ofi mengangguk. "Dia bilang sih katanya temen masa SMA, tapi kayaknya iya deh. Tadi juga gue kenalan sama dia... namanya Ali, ganteng banget sumpah Va... lebih ganteng dari Pak Dika, beneran deh. Pilot, pula." Kata Ofi antusias.
"Ali siapa? Ali sarap?" Sahut Eva.
"Ali islami Va.. nama panjangnya. Duh.. tadi lo nggak liat sih... gue yang liat sampe meleleh Va.. untung ludah gue nggak meler."
"Gila cowok ya lo?"
Tiffany datang. "Kenapa sih? Pada ribut gitu?"
"Ini nih Tiff, si Ofi lagi curhat tentang temen SMA lo yang namanya Al.. Ali.. Ali gitu." Jawab Eva.
"Kamu udah mendingan, Va?" Bukannya menjawab, Tiffany malah bertanya keadaan Eva.
"Udah. Kalo ada obat ini, gue langsung sembuh Tiff."
"Oh.. syukur deh. Eh, ini beneran ya.. hapenya di pake aku dulu?"
"Buat lo juga nggak apa-apa Tiff." Celetuk Ofi dan Eva mengangguk.
Tiffany terkekeh dan duduk di sofa, "Sekarang, kita mau ngapain? Duduk-duduk aja nih?"
"Main masak-masakan Tiff." Itu suara Ofi.
"Yakali." Sahut Eva.
****
Di rumah, Raka sudah di gerumungi oleh dua p*****r. Yang kanan mengelus-elus pipi dan yang kiri mengelus dadanya. Raka tidak keberatan, karena dialah yang meminta.
****
"Eh, Tiff gue minta nomor hapenya Ali dong..." Ujar Ofi yang sedang duduk di lantai kamar dengan setumpuk novel.
Saat ini, mereka sedang di kamar, menyelesaikan tugas skripsi. Karena tiga bulan lagi mereka akan sidang.
Tiffany yang sedang duduk di kursi meja belajar memainkan laptop milik Eva menoleh. "Ambil itu, di tas."
"Tas lo tadi taro dimana?"
"Ofi ngebet banget kayaknya." Celetuk Eva yang tengah tidur tapi memperhatikan gerak-gerik Tiffany dan Ofi.
"Lo nggak liat orangnya sih.. kalo lo liat? Uuhh.. pasti lo klepek-klepek." Sahut Ofi berlebihan.
Tiffany terkekeh. "Di sofa. Sekalian tasnya bawa sini."
Ofi langsung keluar dari kamar untuk mengambil tas Tiffany.
Dua jam kemudian. Selesai mengerjakan skrpisi dan makan siang bersama, Tiffany pamit pulang. "Aku pulang ya." Pamitnya.
Eva dan Ofi mengangguk.
"Va, hapenya pinjem aku dulu nggak apa-apa kan?"
"Buat lo aja." Celetuk Ofi.
Tiffany terkekeh dan keluar dari kamar.
Untung saja tadi Tiffany sempat meminjam uang ke Ofi, jadi Tiffany bisa pulang memakai ojek.
Sampai di rumah, Tiffany sudah di suguhkan oleh pandangan yang sangat tidak enak.
Raka. Suaminya itu sedang bermain dengan dua wanita sekaligus. Tiffany mengepal kan tangannya, dia tidak habis pikir. Bisa-bisanya Raka membawa dua p***n sekaligus. Tiffany memilih untuk berlari ke kamar. Bahkan saat Tiffany lewat di sampingnya pun mereka tidak berhenti sama sekali, sekalipun Tiffany menghentakkan sepatunya juga mereka tidak menoleh sedikitpun. Dia melempar tasnya dan menghempaskan tubuh di kasur.
Dirinya merasa lelah dengan takdir. Karena terlalu lelah, sampai-sampai Tiffany tertidur. Padahal ini baru jam dua.
Selesai bermain-main dengan wanitanya, Raka masuk ke kamar. Saat melintasi kamar Tiffany yang tidak tertutup, dia melihat Tiffany sedang tidur dengan posisi tengkurap dan itu membuat Raka tersenyum sinis.
Pukul lima sore Tiffany bangun dan segera mandi. Setelahnya, dia masuk ke dapur untuk memasakan makan malam. Dia duduk di kursi dan mengolesi roti itu dengan selai. Setelah itu, dia memakannya dengan lahap karena pasti nanti malam Raka tidak mengizinkannya untuk makan.
Merasa sedikit kenyang Tiffany mulai memasak. Masaknya memang tidak berat-berat, yang penting harus ada telur ceplok.
Raka terbangun saat ponselnya berdering tanda ada seseorang yang menelepon. Raka meraih ponselnya yang terletak di nakas. Ternyata Roy yang menelponnya.
"Hnng...." Gumam Raka, setelah ponselnya sudah di dekatkan ke telinga.
"Eh, gimana? Mantap nggak?" Tanya yang disana dengan antusias.
"Biasa aja."
"Heh pe'a! Gue udah nyari dua p***n buat lo, dan lo cuma komentar biasa aja?"
"Lagian, lo ngasih yang tua-tua. Udah tau gue muda malah dikasih tua."
"Muda nenek lo! Lo udah tiga puluh tiga!"
"Gue masih dua puluh delapan."
"Ngaco lo!"
"Gausah banyak bacot lo. Cepetan mau ngomong apa?"
"Nggak sih, cuma mau nanya itu aja."
"Lain kali kalo nyari tuh yang masih bagus."
"Tuh, istri lo?"
"Sayangnya gue nggak doyan."
"Beneran nih, nggak doyan? Buat gue aja gimana?"
"Silakan."
Terdengar suara cerosos istri Roy, Raka terkekeh.
"Aduh sayang ampun. Eh, Raka bin neraka. Lo kapan ena-ena sama Tiffany?"
"Sekali lagi lo bahas tentang itu, lo angkat kaki dari kantor gue."
"Lo bisanya ngancem doang. Lama-lama gue operasi plastik tuh si Tiffany biar tambah cantik."
"Dia emang udah cantik."
"Tuh, lo bilang Tiffany cantik tapi lo nggak mau sama dia. Gue bingung sama lo."
"...."
"Mending lo main sama jasadnya Laura aja deh."
"Ide bagus!"
"Udah dulu ya. Lama-lama gue ikut gila telpon-telponan sama lo."
"Terserah!"
Dan pada akhirnya Rakalah yang memutuskan panggilan.
Raka beranjak dan keluar menuju dapur.
Dilihatnya, Tiffany sedang menyajikan makan malam. Ia mengghampiri dan duduk di salah satu kursi. "Darimana aja kamu?"
"Dari apartement Ofi." Sahut Tiffany, meletakan lauk di meja makan.
Raka tidak minat lagi untuk bertanya.
Setelah semuanya selesai, Tiffany masuk lagi ke kamar. Lebih baik dia tidur lagi.
Esok paginya, Seperti biasa, Tiffany di bangunkan oleh alarm. Tiffany bangun dan mengucek kedua matanya lalu masuk ke kamar mandi.
Selesai berdandan, dia keluar. Seorang Maid menghampiri Tiffany yang sedang menuruni tangga. "Ada apa, Maid?" Tanya Tiffany bingung.
"Maaf, Non. Tuan Raka sudah berangkat. Tadi Tuan bilang katanya Non jangan masak pagi ini."
Tiffany menghela napas. "Ya sudah. Makasih. Kamu bisa bekerja kembali." Katanya dan Maid itu berlalu.
Tiffany kembali ke kamar lagi untuk mengambil tasnya dan langsung berangkat ke kampus. Sebenarnya bukan ke kampus, melainkan ke kantin yang terletak di kampusnya.