Meski kesal setiap mengingat asal mula cincin karah yang diberikan kak Biyan tapi tetap saja enggan untuk melepaskannya dari jariku, cincin ini memang murah bahkan bisa dibilang barang gratisan, tapi mempunyai arti penting bagi hubungan kami, cincin ini menjadi hadiah pertama yang disematkan dijariku oleh kak Biyan, sungguh hadiah yang tak ternilai harganya.
"Kak, jelek amat cincinnya," suara si gembul Ocean yang menghina cincin pemberian kak Biyan membuatku langsung menjitak kening jenongnya.
"Awwww Mommyyy kak Ai jahat nih!" teriaknya sambil berlari keluar dari kamarku, huh dasar pengadu tapi mataku langsung kembali memandangi cincin karah berwarna pink, beberapa kali aku membersihkan cincin itu dengan tissue supaya warnanya terus mengkilap.
"Cincin secantik ini dibilang jelek, dasar Ocean!" gerutuku, saking semangatnya membersihkan cincin karah itu dengan tissue tanpa sengaja aku mematahkan mawar karah yang menjadi hiasannya.
"Huwaaaa cincinku!!" aku panik melihat cincin yang diberikan kak Biyan kini sudah patah menjadi dua, takut melihat kemarahan kak Biyan membuatku mencari lem yang bisa menyatukan patahan tadi, arghhhh Aisha bodoh! Bisa-bisanya matahin cincin sepenting ini, pantasan kak Biyan belum mau memberikan cincin 10 karat bisa-bisa cincin semahal itu aku jual, eh.
"Kamu ini selalu membuat nangis Ocean, kamu itu sudah dewasa bukan anak-anak lagi tapi kok doyan gangguin dia," aku melihat Mommy berdiri didepan pintu kamar dengan tangan berkecak pinggang, aku mengacuhkan Mommy dan sibuk mengelem cincin milikku.
"Mom, nanti saja ngomelnya ya," balasku acuh, Mommy seperti mendekatiku dan dengan sigap aku langsung menyembunyikan cincin itu dari Mommy.
Mommy menatapku penasaran dan aku balas dengan cengiran andalanku, mata Mommy seperti ingin mengintip apa yang aku sembunyikan tapi aku tidak mau kalah dengan lihai aku menutupinya agar Mommy tidak kepo dan bertanya tentang asal mula cincin itu.
"Mom, please leave me alone!" kataku dengan wajah memohon, bukannya meninggalkan aku yang ada Mommy langsung menyergap tanganku dan memaksaku membuka tangan agar ia bisa melihat apa yang aku sembunyikan.
"Ayo, kamu menyembunyikan apa dari Mommy... jangan-jangan kamu hamil ya? Mommy harus waspada mempunyai anak gadis seperti kamu, Mommy nggak mau kecolongan."
"Ya ampun Mom, aku masih perawan nggak mungkin hamil," balasku membela diri, Mommy semakin gentar mencoba membuka tanganku, tapi hebat ya tangan ini seakan tidak bisa dibuka meski Mommy sudah mengeluarkan tenaga super extra, bahkan setelah 10 menit akhirnya tenaga Mommy terkuras dan ia menyerah untuk membuka tanganku.
"Kamu sembunyiin apa sih kok ya susah banget dibuka! Jangan-jangan kamu lem ya tangannya," senyum penuh kemenangan karena Mommy gagal membuka tanganku langsung hilang dan aku teringat jika tadi aku memegang lem UHU.
"ARGGGGGGGGGG TANGAN AI LENGKET MOM," aku berusaha melepaskan kedua tanganku yang menyatu akibat lem yang tumpah.
"SEMUA GARA-GARA KAK BIYAN NGGAK MODAL KASIH CINCIN! HUWAAAAAAAA TANGANKU," rutukku dalam hati, Mommy bukannya panik yang ada ia malah tertawa terpingkal-pingkal melihatku kesusahan memisahkan tanganku.
****
Aku bersyukur akhirnya tanganku yang tadinya menempel berhasil dipisahkan dengan direndam dengan air hangat, meski menghasilkan tanganku yang tadinya mulus menjadi mengkerut karena terlalu lama direndam dalam air hangat. Gigiku menggeretak hebat dan tidak sabar untuk memukul kak Biyan yang menjadi penyebab kesialanku hari ini.
Cincin karah itu rusak total dan tidak bisa diperbaiki, dan bodohnya tadi tanpa sadar aku menangisi cincin itu, Mommy saja sampai bingung kenapa aku bisa sesedih itu melihat cincin karah dan murah itu bisa rusak dan supaya Mommy tidak curiga dengan terpaksa aku berbohong dan memberitahunya jika cincin itu diberi oleh cowok idola kampusku.
"Eh ganteng nggak cowok yang memberi kamu cincin ini?" tanya Mommy yang masih sibuk bertanya tentang cowok yang sebenarnya tidak ada itu.
"Biasa saja," balasku sambil mengoleskan handbody ke tanganku
"Terus,"
"Wajahnya perpaduan G-Dragon dan So Ji Sub," balasku asal, Mommy seperti menghayal dan aku melihat keningnya berkenyit, mungkin bingung memikirkan perpaduan yang tidak nyambung itu, biar deh supaya nggak kepo lagi.
"Terus,"
Eh masih lanjut juga. Oke bayangkan saja sampai perut Mommy mules.
"Umurnya menginjak 30-an, punya tattoo di punggung."
"Terus,"
"Kerjanya duduk didepan pagar kampus."
"Terus,"
"Ya sudah nggak terus-terus lagi Mom, that's it!"
"Idola kampus, umur 30-an, bertatoo dan duduk di depan pagar kampus... memangnya dia satpam?" tebak Mommy, aku langsung mengangguk dan tertawa, Mommy langsung memukulku dengan geram.
"Iseng banget sih ngerjain orang tua, kualat... Mommy pikir kamu sudah mau buka hati, umur kamu sudah 20 tahun seharusnya sudah banyak laki-laki datang untuk kamu kenalkan sama Mommy dan Daddy."
"Hehehe maaf Mom, habisnya Mommy kepo banget sih jadi orang... hmmm memangnya Mommy sudah rela dan ikhlas jika aku punya pacar? terus pacar seperti apa yang Mommy setujui dan restui untuk jadi pacar aku?" tanyaku penasaran, Mommy memegang tanganku dan mengelus pipiku dengan lembut.
"Siapapun yang kamu cintai pasti akan Mommy restui... yah meski akan sedikit sulit jika berhubungan dengan Daddy, kamu tau sendiri betapa kerasnya Daddy menjaga kita agar jangan sampai terluka dan bersedih, jadi Mommy harap siapapun yang kamu cintai harus siap menghadapi Daddy yang keras kepala."
Yah Mommy benar, mungkin halangan terbesar dalam hubunganku dengan kak Biyan adalah Daddy, Daddy menganggap Kak Biyan anak pertamanya semenjak pengadilan memutuskan Kak Biyan menjadi anak keluarga Dinata, Daddy merasa aku dan kak Biyan mempunyai darah yang sama. Aku hanya berharap jika hubungan ini diketahui Daddy suatu saat nanti, Daddy bisa mengerti dan menerima jika dua anaknya saling mencintai.
****
Hari ini rencananya aku ingin mengunjungi kantor Daddy, entah kenapa aku penasaran bagaimana Kak Biyan selama bekerja, dengan alasan mencari data untuk tugas kuliah akhirnya Daddy memberikan izin aku berkunjung ke kantor, sepulang dari kampus aku langsung bergegas menuju kantor Daddy.
Brukkkk
Aku terjatuh saat tanpa sengaja menabrak seorang wanita yang tanpa sengaja aku tabrak saat bergegas ingin mengejar lift.
"Maaf mbak, mbak nggak apa-apa?" tanyaku, wanita itu berdiri dan menatapku seakan aku ini musuh besarnya, wajah cantiknya seakan penuh kepalsuan, tangannya berkacak pinggang seakan ingin memakiku tapi dalam hitungan menit wajah palsu itu langsung berubah lembut meski terasa sangat dipaksakan.
"Tidak apa-apa, lain kali jalannya pakai mata ya," balasnya lembut tapi penuh sindiran, aku ingin menjambak rambutnya tapi mengingat ada yang lebih penting harus aku kejar, aku meninggalkan wanita palsu tadi menuju lift.
"Sok cantik! Kenapa sih Daddy bisa punya karyawan nggak punya sopan santun seperti itu," gerutuku, tapi ada perasaan aneh sejak bertemu wanita itu. Seakan kehadirannya akan membuat kesedihan dihidupku.
Lamunanku terhenti saat lift terbuka, dengan lekas aku keluar dan berjalan menuju ruang kerja Daddy, aku menyapa sekretarisnya dan ia mempersilahkan aku untuk masuk, aku membuka pintu ruang kerja Daddy dan melihat Daddy sedang berdiskusi dengan kak Biyan, wajah mereka terlihat tegang.
"Dad," sapaku, Daddy menghentikan pembicaraan mereka dan menyuruhku untuk masuk, Kak Biyan bukannya menyapaku seperti biasa jika kami bertemu, yang ada ia bersikap aneh dan keluar melewatiku begitu saja, jangan-jangan Daddy marah dan membuat kak Biyan sekesal ini.
"Kak Biyan kenapa?" tanyaku kepo, Daddy tidak menjawab dan menyuruh sekretarisnya mengantarku menemui orang yang bertanggung jawab menyimpan dokumen yang aku butuhkan untuk tugas kampusku. Aku semakin penasaran dan aku harus cari cara agar bisa bertanya langsung kepada kak Biyan tentang pembicaraannya dengan Daddy.
Setelah mendengar kabar jika Daddy sudah pulang, aku mengendap-endap masuk keruang kerja kak Biyan, lagi-lagi aku menemukan kak Biyan sedang menghisap rokoknya, aku tau ia akan merokok jika ia sedang stress atau ada masalah.
"Kak," sapaku pelan, Kak Biyan mematikan rokoknya dan melihatku kaget.
"Aisha, kamu ngapain di sini... ini kantor dan semua mata bisa melihat kita! Pulang!" ujarnya dengan nada keras, aku yang ingin bertanya entah kenapa langsung terdiam mendengar bentakannya. Aku mundur beberapa langkah dan akhirnya keluar begitu saja.
"Ai... Aisha," teriakannya aku acuhkan dan dengan hati sedih aku meninggalkan kantor Daddy, kak Biyan menyebalkan! Ada masalah sama Daddy kenapa aku yang dibentaknya.
****