65. Ayah ....

1362 Kata
''Deema ... Deema ....'' Aiden terus berlari, sampai ia melihat Aya berhasil meraih tangan Deema untuk berhenti. Ia pun langsung menghampiri Deema. ''Lo kenapa? Cerita sama Gue, biar Gue bantu,'' kata Aya yang mencoba menenangkan Deema. Aiden bisa melihat air mata Deema terus bercucuran dengan wajah yang sangat sedih dan terpuruk. ''Cerita, ada apa? Biar saya bantu,'' kata Aiden yang mencoba menenangkan Deema. ''Hiks ... Jangan tahan Gue, Gue mau pergi.'' Aiden bisa melihat jika Aya masih memegang tangan Deema. ''Enggak. Lo harus cerita, Gue bisa bantu.'' ''Aya, please ... Waktu Gue gak banyak,'' kata Deema. Aya yang tidak tega pun melepaskan tangan Deema. Deema tidak peduli adanya Aiden di sana, ia pun langsung berlari keluar gerbang. ''Pak, Deema, Pak.'' kata Aya yang juga ikut khawatir. Aiden berlari ke arah mobilnya, untung saja kunci mobilnya berada di dalam kantung celananya. Ia pun tak lupa meminta izin kepada satpam karena ada keperluan mendadak. Mobil Aiden pun melesat pergi, untuk menyusul Deema yang sudah berlari cukup jauh. Aya yang melihat itu cukup sedih, ia tidak ada pilihan lain, Aya pun kembali pergi kelapangan. Ketika sudah menemukan Deema, Aiden langsung turun dari mobilnya. Ia membukakan pintu samping mobil untuk Deema. ''Masuk, sayang, tenangkan hati kamu. Pergi bersama saya.'' ''Hiks ... Hiks ... Hiks ....'' Deema tidak bisa menahan tangisnya, ia pun tidak memiliki pilihan lain selain menaiki mobil Aiden. Dengan buru-buru, Aiden pun melajukan mobilnya. ''Ke ru-rumah sakit pahlawan,'' kata Deema. Aiden mengangguk. Ia yang mengerti kondisi keadaan Deema pun, tidak ingin bertanya-tanya dan memperburuk suasana hati Deema. ''Minum dulu, sayang. Kamu harus tenang,'' kata Aiden yang mencoba menenangkan Deema. ''Ce--cepetan, Mas ... Hiks ... Cepet ....'' Aiden baru pertama kali melihat Deema yang menangis seperti ini, wajah Deema seperti sedang kehilangan sesuatu. Aiden harus tetap berpositif thinking jika semuanya akan baik-baik saja. ''Di UGD,'' kata Deema ketika mereka sudah sampai di area rumah sakit. Aiden memarkirkan mobilnya, belum selesai Aiden mematikan mesin mobilnya, Deema sudah berlari ke arah pintu UGD yang terbuka. Aiden pun ikut berlari, ia merangkul bahu Deema agar lebih tenang. Sebelum masuk ke ruangan UGD, mereka di tahan oleh penjaga dan bertanya ada keperluan apa mereka ke sini. ''Yoseph ... Pasien atas nama Yoseph ...'' kata Deema yang langsung kepada intinya. ''Pasien atas nama Yoseph sudah di bawa ke kamar jenazah beberapa menit yang lalu.'' Sesaat kaki Deema langsung lemas, untung saja dengan sigap Aiden selalu siaga dengan Deema. Yoseph, ayah dari Deema. Aiden baru pertama kali melihat wajah ayah Deema, ketika ia sedang menjemput Deema di rumahnya. Hanya sekilas, dan ketika saat itu, Aiden bisa mendengar keributan antara Yoseph dan Deema. ''Sabar, Deema. Kamu harus tenang,'' kata Aiden sambil mengusap bahu Deema. Aiden sudah tidak mendengar suara tangis Deema, yang sekarang ia lihat hanyalah tatapan kosong Deema dengan wajah yang memerah. ''Maaf, Mbak. Sebelumnya pihak keluarga belum memberikan informasi yang akurat tentang pasien, kami akan melakukan autopsi jika memang keluarga menyetujui. '' Aiden mendekat ke arah suster yang berjaga itu, ia pun berbicara jika semua ini akan di urus oleh sekretarisnya nanti, ia pun meminjam telpon genggam untuk menelpon sekertarisnya, karena Aiden tidak membawa ponsel saat ini. ''Iya, silahkan, Pak.'' Sebelum itu, Aiden membawa Deema untuk duduk terlebih dahulu di ruang tunggu. ''Sebentar ya, saya mau menelpon seseorang dulu,'' ucap Aiden, lalu ia berjalan kembali untuk menelpon Zaffran. ''Halo, denga--'' ''Fran, ini saya. Saya minta tolong untuk suruh orang ambil barang-barang saya yang tertinggal di kantor SMA Cahaya 2. Termasuk ponsel dan tas. Yang kedua, kamu bisa datang ke rumah sakit pahlawan sekarang? Ada hal yang mendesak, saya tidak bawa apa-apa. Saya ada di kamar jenazah.'' Belum sempat Zaffran menjawab, Aiden langsung mematikan telpon itu. ''Terimakasih, Sus ...'' ucap Aiden, ia kini menghampiri Deema yang sedang duduk dengan tatapan kosong. Pakaian Aiden dan Deema masih memakai seragam olahraga. Mereka saat ini sangat terlihat benar-benar seperti seorang guru dan murid. Aiden membantu Deema untuk berdiri. ''Ayo, saya antar kan,'' kata Aiden yang mencoba untuk tenang, agar ia bisa menenangkan Deema. Padahal dalam hatinya, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada Deema, tentang bagaimana bisa ini semua terjadi secara tiba-tiba. Padahal ia rasa, ketika tadi pagi semuanya terlihat baik-baik saja. Dari arah kejauhan, menuju tempat ruang jenazah, Aiden dan Deema bisa melihat jika ada Ratu dan Kinanti yang tengah duduk di sisi tembok rumah sakit. Deema berlari, dan langsung memeluk Kinanti dengan erat. ''Sabar, sayang ...'' kata Kinanti sambil mengusap punggung Deema. Aiden menundukkan kepalanya, untuk memberi salam kepada Kinanti. Aiden duduk di sebelah Ratu, ia mengusap punggug adik dari kekasihnya itu. ''Sabat ya, doain ayah kamu,'' kata Aiden. Ia pun tidak tega karena Ratu menangis dan terlihat sangat sesak. Perlahan seiring berjalannya waktu, sudah tidak ada lagi suara tangisan diantara mereka. Deema membuka suaranya. ''B--bu, kenapa bisa?'' tanya Deema sambil bertanya dengan bibir yang bergetar. ''Ayah kamu ditemukan sama warga di samping rumah kita dengan keadaan yang sudah tidak bernyawa. Ibu baru pulang dari sekolah Ratu, dan melihat semua kejadian itu. Ratu langsung menelpon kamu pakai handphone pak RT.'' ''Hiks ... Ayah, kenapa bisa sih ... Ya Allah ....'' Aiden yang merasa iba dan sedih, ia melihat ke atas langit-langit, mencegah air matanya untuk ikut turun. Ia yang tidak tega melihat Deema, Aiden pun duduk di sebelah Deema, dan membawa Deema kedalam pelukannya. ''Sabar ya, nangis aja enggak apa-apa ...'' mendengar Aiden yang berbicara seperti itu, Deema langsung memeluk Aiden dengan sangat erat, dan menangis kembali di sana. ''Bu, Ibu juga harus sabar ya,'' kata Aiden sambil menggenggam tangan Kinanti. Kinanti terlihat sangat tegar kali ini, mungkin ia mencoba untuk sabar, dan tenang agar semuanya baik-baik aja. Ia pun ingin kedua anaknya juga ikut baik-baik saja. Kinanti mengangguk, dan tersenyum kecil ke arah Aiden. ''Terimakasih, Nak ....'' ''Ibu jangan sungkan untuk bilang ke saya, dan meminta bantuan saja. Saya akan membantu dengan senang hati,'' kata Aiden yang mencoba menenangkan keluarga kecil ini. Kembali ke Deema yang masih menangis di dalam pelukan Aiden. Aiden melepas pelukannya, dan memegang wajah Deema. ''Udah ya ... Kamu harus kuat, udah nangisnya?'' tanya Aiden sambil tersenyum, ia pun membantu Deema untuk mengusap air mata Deema yang membasahi wajahnya. Dari kejauhan, Aiden bisa melihat Zaffran yang berjalan cepat ke arahnya. ''Bos ...'' sapa Zaffran, dan ia pun bersalaman dan mengucapkan bela sungkawa kepada Kinanti, Ratu dan Deema. ''Kamu bisa pergi ke UGD, dan urusi semuanya. Mintai semua keterangan yang ada.'' ''Baik, Bos,'' kata Zaffran yang langsung pergi dari sana. ''Ibu bisa menjelaskan semuanya sama polisi nanti tentang kejadian ini.'' ... Hari sudah semakin sore, pemakaman Yoseph baru saja selesai di gelar. Hanya ada kerabat-kerabat dekat yang menghadiri. Saat ini Deema, Kinanti, dan Ratu tengah duduk di pinggir makam Yoseph. Deema menatap dengan sendu makam itu. ''Maaf, Yah ... Deema belum bisa jadi anak yang baik. Aku cuma bisa nuntut ayah untuk jadi yang terbaik, padahal aku belum bisa. Maaf, Yah ....'' Teringat akan terakhir kali pertemuannya dengan Yoseph, ketika ia sedang ribut besar dengan ayahnya itu. ''Ayah yang tenang ya di sana. Enggak perlu mikirin apa-apa lagi, kita akan berusaha buat hidup lebih baik lagi kedepannya. '' ''Tentang orang yang sudah membuat ayah seperti ini, tenang saja, Deema tidak akan tinggal diam.'' Aiden yang sedari tadi memayungi Deema, ia sangat merasa kasihan melihat kekasihnya yang sudah sangat dewasa itu, tumbuh tanpa sosok ayah di sampingnya. ''Sudah? Kita pulang yuk, Nak ...'' kata Kinanti yang mengajak kedua anaknya pulang. Ia tidak ingin kembali menangis, ia hanya ingin terlihat tegar di hadapan anak-anaknya. Sesampainya di parkiran tempat pemakaman umum, Aiden membuka pintu mobil untuk Kinanti, Ratu dan Deema. Saat ini ada seorang supir yang mengendarai mobil mereka. ''Bu, Ratu, Deema ... Untuk sekarang kalian diam dulu di hotel ya. Saya tau, kalian belum mau pulang ke rumah. Rumah kalian sedang di olah TKP.'' Deema yang tidak bisa berbicara apa-apa lagi hanya mengangguk dan berterimakasih. ''Bu, nanti saya perlu berbicara dengan Ibu mengenai ayah Deema,'' kata Aiden dengan sopan santun. ''Iya, Nak ... Terimakasih sudah membantu kami sampai di sini.'' Aiden mengangguk. ''Sudah seharusnya saya membantu Ibu dan kekasih saya sendiri.'' Mobil pun melaju, mengantarkan mereka untuk segara sampai di kamar hotel yang sudah di sewa oleh Aiden, untuk tempat tinggal Deema berserta ibu dan adiknya beberapa hari kedepan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN