''Woy ... Datang-datang ke kelas muka murung begitu. Kenapa Lo? Habis di copet kucing? '' tanya Aya sambil merangkul Deema yang baru saja masuk ke dalam kelas.
''Belum sarapan Lo, Deem? Mukanya asem amat,'' kini Lola yang tengah memakai lipstik itu ikutan berbicara.
Celline tidak ikut berkomentar, ia tengah fokus memakai maskara di bulu matanya.
''Gue ngantuk, guys ... Pengen tidur ...'' kata Deema yang kini memilih duduk di sebelah Celline.
''Awas Lo senggol Gue, kecolok mata Gue nanti,'' kata Celline, ia tidak ingin acara dandannya terganggu karena kedatangan Deema.
''Masih pagi udah ngantuk aja. Bangun-bangun ...'' kata Aya sambil menggebrak-gebrak meja.
''Hmm ... Ini udah bel atau belum?'' tanya Deema, saat ini ia sudah tidak b*******h untuk melakukan apapun. Moodnya tiba-tiba hancur dalam hitungan beberapa detik saja.
''Sebentar lagi bel. Lo mau beli makan dulu? Lo belum makan?'' tanya Celline.
''Gue udah makan kok. Tadi Gue bikin sarapan.''
''Ya terus kenapa mukanya di tekuk terus? Nyeri haid?'' tanya Lola yang juga penasaran kenapa wajah Deema terus di tekuk.
''Enggak ... Gue cuma mager aja ngapa-ngapain. ''
''Ah ... Gue tau dia kenapa,'' ucap Aya.
''Kenapa-kenapa?'' tanya Celline dan Lola.
''Ah, masa kalian gak tau sih. Ini pasti ada hubungannya sama itu tuh ....''
Celline yang tahu maksud dari ucapan Aya pun mengangguk. ''Oh ... Iya-iya Gue paham.''
''Hah? Apaan sih? Gimana?'' tanya Lola yang masih belum mengerti.
Celline yang tidak ingin kesal karena Lola terus bertanya, ia pun membisikan sesuatu ke telinga Lola. ''Wah! Gue baru sadar. Deema, Lo galau gara-gara Pak ganteng?'' tanya Lola yang membuat Deema mengangkat kepalanya.
''Pak ganteng siapa lagi sih? Tau deh Gue pusing.''
''Aish ... Deema gak asik banget nih,'' kata Aya.
''Iya, gak mau cerita-cerita sama kita.''
Deema bangun lagi. ''Kalau Gue cerita, nanti Lo semua pada nangis.''
''Hahaha ... Deema gak jelas,'' ucap Aya dan Lola.
Bel sudah berbunyi, Deema semakin malas mendengar suara itu. Ia lebih baik melipat tangannya, dan menutup matanya untuk tertidur.
Semenjak turun dari mobil Aiden, otaknya langsung memikirkan kejadian tadi pagi yang ia alami. Deema tidak tahu harus bagaimana menanggapi kejadian ini, yang pasti sekarang firasatnya di penuhi oleh ayahnya, yang ia rasa ayahnya itu sedang tidak baik-baik saja.
Mengingat akan ayahnya yang belum pulang selama berminggu-minggu, membuat firasat Deema menjadi lebih yakin.
Matanya tertutup untuk mencoba tertidur, tapi kepalanya sangat gelisah memikirkan sesuatu. Sampai-sampai kakinya terus bergerak karena sangat gelisah.
''Argh ...'' Deema bangun dari duduknya yang membuat Celline, Aya dan Lola yang tengah menulis itu terkejut.
Dengan membawa ponselnya, Deema pergi dari kelas tanpa mengucapkan satu patah katapun.
''Deema ... Deem ....'' panggil Celline.
''Deema, Lo mau kemana?'' tanya Aya sambil sedikit berteriak, tapi panggilan dan pertanyaan dari temannya itu, ia hiraukan.
''Deema mau kemana, Cell?'' tanya Lola yang juga khawatir. Sebab ia mendengar suara Deema yang sedikit berteriak seperti sedang meluapkan kekesalan.
''Gatau. Kasian dia, lagi butuh waktu sendiri kali. Selesai nulis kita samperin aja,'' ucap Celline.
Untung saja di kelas mereka sedang tidak ada guru. Mereka hanya ditugaskan untuk membuat rangkuman dan menumpulkannya.
''Deema jangan lupa di absen.'' ingat Aya kepada sekertaris kelasnya.
Dengan tatapan dingin, Deema berjalan ke arah ujung koridor kelasnya. Di sana terdapat tangga untuk menuju rooftop atas sekolahnya. Ia butuh tempat yang menenangkan agar bisa berpikir jernih.
Deema saat ini tidak peduli dengan semua tugas yang harus ia kerjakan. Untuk saat ini, yang harus ia selesaikan adalah urusan ayahnya, Yoseph. Walaupun ia sedikit membenci ayahnya, tapi tidak ada salahnya juga untuk mengetahui keberadaan ayahnya saat ini.
Deema menaiki tangga menuju lantai 3, di sini ia sudah merasakan angin yang menerpanya. Jika ia sedang berada di dalam mood yang baik, Deema pasti tidak berani pergi ke sini seorang diri, karena tempat ini cukup seram. Tapi, untuk saat ini, ia tidak peduli akan hal itu. Hanya satu tujuan Deema untuk pergi ke atas sini, ia ingin menenangkan pikirannya.
Sesampainya di atas atap gedung sekolahnya, Deema mendekat ke arah tembok pembatas. Dari arah sini ia bisa melihat keindahan pemandangan kota di pagi hari. Juga kegiatan aktifitas siswa-siswi yang ada di luar sekolah.
Deema membuka ponselnya, mencoba menghubungi kembali nomer yang tadi pagi menelpon dirinya.
''Kalau ini cuma penipuan. Gue ajuin nomer ini kepolisi. Ini gak lucu banget sih.''
Deema mengambil sofa usang, ia ingin duduk untuk merebahkan tubuhnya.
''Please ... Kenapa hal kaya gini sih yang harus ada di dalam hidup Gue?''
''Gue udah baik-baik aja loh ... Tapi untuk hal ini kenapa ngusik banget?''
''Ya Allah ....''
Deema mengusap wajahnya karena merasa lelah. ''Ayah ... Ngapain sih, ayah harus melibatkan semuanya sama keluarga? Kenapa ayah harus terus nyusahin? ''
''Aku udah bahagia di sini sama Ibu sama Ratu. Jadi please ... Urusi saja diri ayah sendiri.''
Ingin rasanya Deema berbicara seperti itu kepada ayahnya. Tapi, sepertinya tidak bisa. Bahkan ia sudah lama tidak bertemu dengan ayahnya itu.
Secuek apapun Deema, pikirannya masih terganggu jika itu memang berhubungan dengan keluarganya.
''Ayah ... Please ....''
Deema kembali mencoba menghubungi nomer telpon itu, tapi tetap saja, nomer itu tidak tersambung.
''Arghh ....''
Deema mengetuk-ngetukan kepalanya menggunakan ponselnya. ''Gue gak peduli ... Gue gak peduli ....''
Deema sudah meyakinkan dirinya untuk tidak peduli dengan hal itu, tapi tetap saja, telinganya terus mendengar jelas suara orang yang meminta ampun.
''Hiks ... Ayah bikin repot orang banget sih ... Hiks ....''
Deema mengusap air matanya yang kini keluar begitu saja. Sekuat apapun ia meyakini dirinya untuk tidak peduli dengan ayahnya, tetap saja Deema tidak bisa.
...
''Cepetan dong, Cell cari Deema. Kita mau pelajaran olahrahga sekarang,'' kata Lola yang ikut panik karena mereka belum juga bertemu dengan Deema.
''Gue juga gak tau. Gimana dong ....''
''Coba liat lokernya, ada gak baju olahraga dia,'' kata Aya.
Lola pun berlari, mencari loker di belakang kelasnya atas nama Deema. ''Baju olahraganya masih ada di sini.''
''Aish ... Deema kemana sih ....''
''Apa jangan-jangan dia pulang?'' tanya Aya.
''Gak mungkin. Tasnya masih ada di sini.''
Celline menelpon nomer ponsel Deema, telpon itu tersambung tapi Deema tidak menjawab telponnya.
''Dia gak jawab telpon Gue.''
''Guys ... Udah di tunggu Pak Aiden di lapangan. Kalau gak kesana dalam dua menit, gak bakal di absen,'' ucap ketua kelas memberi pengumuman.
Dengan terburu-buru, Aya, Celline dan Lola berlari menuju lapangan. Celline berlari sambil sibuk dengan ponselnya, ia terus menghubungi Deema.
''Aish ... Deema kemana sih,'' kata Celline.
''Masih belum di angkat, Cell?'' tanya Lola.
''Yaelah Deema ... Kemana sih? Yaudah kita pergi aja ke lapangan deh cepet.''
Akhirnya Celline, Aya dan Lola langsung berbaris di belakang teman-temannya yang sudah berbaris.
Aiden sambil memegang absen terus mengawas semuanya. Ia rasa, belum melihat Deema sedari tadi.
''Sudah kumpul semua?'' tanya Aiden.
''Sepertinya belum, Pak.'' jawab ketua kelas.
Lola yang berada di belakang ketua kelas pun membisikan sesuatu. ''Lo bilangin dong, Deema masuk ke sekolah tapi dia sakit gitu aja. Jangan dibilangin dia kabur.''
''Siapa yang tidak hadir?'' tanya Aiden.
''Deema, Pak. Deema sakit.''
Aiden langsung melihat ke arah sumber suara itu. Ia pun melihat ketiga teman Deema hadir di sana, tapi kemana dengan Deema? Benarkah Deema sakit?
''Oke ... Saya absen ...'' kata Aiden.
Aiden mengabsen semua siswa-siswi kelas Deema. Sampai akhirnya ia menyebutkan nama Deema, suara Deema pun terdengar oleh mereka.
''Hadir, Pak.'' kata Deema yang langsung berbaris di barisan paling belakang.
Ada rasa lega disaat Aiden melihat wajah itu. ''Oke, lain kali jangan ada kata telat.''
Deema mengatur napasnya, karena ia berlari dari kelas sampai ke sini.
''Lo kemana aja sih, Deem? Tiba-tiba ngilang gitu?'' tanya Aya sambil berbisik.
''Hehehe ... Sorry ya guys ... Gue ketiduran di UKS,'' ucap Deema sambil cengengesan.
''Lo habis nangis?'' tanya Lola yang melihat mata Deema sedikit membengkak.
''Hah? Enggak kok, mungkin karena baru bangun tidur,'' ucap Deema agar teman-temannya tidak ikut curiga.
''Hari ini kita pemanasan main permainan ya.''
''Yah ... Kaya anak TK, Pak.''
''Permainan apa nih, Pak?''
''Yang seru ya, Pak.''
Banyak sekali berbagai komentar dari teman kelas Deema, berbeda dengan Deema yang terus saja diam dengan tatapan kosong.
''Kalian satu individu. Ketika saya bilang dua, kalian harus berkumpul bersama tiga orang. Jika saya bilang empat, kalian harus berkumpul dengan lima orang. Begitupun seterusnya okey?''
''Yang kalah ada hukumannya, Pak?''
''Ada. Yang kalah akan dihukum oleh orang yang menang.''
''Bisa dipahami?''
''Bisa, Pak ....''
''Ini mah permainan Gue SD. Pak Aiden kolot banget mainannya,'' ucap Aya.
''Aish ... Gue masih gak paham lagi.''
''Makanya dengerin. Jangan cuma liatin muka Pak Aiden aja.'' kata Celline yang membuat Lola kesal.
''Deema, Lo paham gak? dari tadi kok diem aja?'' tanya Celline. Ia sangat kasihan dengan Deema yang sedari tadi diam.
''Kalau Lo sakit mending izin aja. Sama doi sendiri ini,'' kata Aya, yang memberi saran.
''Im okay, Guys ... Santai aja.''
''Oke deh kalau gitu. Semangat, Deema!'' kata Lola sambil mengepalkan tangannya.
Permainan pun di mulai dengan seru. Dari sini otak dan pikiran Deema mulai teralihkan.
Sampai, ketika mereka sedang beristirahat, Deema merasakan getaran di ponselnya. Ia pun mengambil ponsel itu, dan terdapat nomer yang tak di kenal menelponnya.
Ia pun menjauh, dari kerumunan, dan menerima panggilan itu.
Lola yang aneh dengan sikap Deema yang terus memegang ponsel sedari tadi di kelas ia pun berbicara dengan temannya. ''Lo nyadar gak sih kalau Deema dari datang terus megangin ponselnya? '' tanya Lola.
''Iya, waktu duduk bareng Gue aja dia terus megang ponselnya,'' jawab Celline.
''Liat-liat, muka Deema khawatir banget. Kenapa dia?'' tanya Aya yang sedari tadi memperhatikan Deema, dan kali ini ia melihat wajah Deema sangat khawatir dan Aya pun melihat air mata menetes di pipi Deema.
Lola, Aya dan Celline bangun dari duduk mereka, mereka menghampiri Deema yang sibuk mengusap air matanya. ''Guys, tolong ya, buat hari ini Gue titip tugas. Gue ada perlu,'' ucap Deema yang yang langsung berlari.
''Deema ... Hey, Lo kenapa? Cerita dulu ...'' kata Aya yang ikut berlari kemana Deema pergi.
''Aish, Gue kok jadi ikut panik?'' ucap Lola sambil memegang kepalanya.
Aiden yang memperhatikan keempat orang itupun menghampiri Lola. ''Kenapa?''
''I--itu, Pak. Deem minta izin ya, aku juga gak tau kenapa tiba-tiba dia nangis terus pergi.''
Aiden tidak menjawab ucapan Lola, sebelum berlari mengejar Deema, ia terlebih dahulu berbicara kepada ketua kelas agar membereskan semua alat olahraga ini jika sudah selesai.
Aiden pun langsung berlari, ke arah Deema yang sepertinya langsung pergi menuju gerbang sekolah.
''Deema ... Deema ...'' panggil Aiden, tapi Deema tidak mendengar suaranya. Aiden pun bisa melihat jika satu orang teman Deema ikut berlari ke arah gerbang bersama Deema.