Sesampainya di hotel, Aiden mengantarkan keluarga Deema ke sebuah kamar yang sudah ia sewa lewat Zaffran. Aiden juga sudah menyediakan keperluan di dalam kamar hotel itu untuk Deema, ibunya dan juga adiknya.
Deema bisa menilai hotel ini sangatlah mewah dan pastinya menginap di sini sangatlah mahal. Aiden mengantarkan Deema dan keluarganya sampai ke lantai 5. Aiden membukakan pintu kamar bernomer 456 yang ada di ujung kordior lantai ini.
''Silahkan Bu, Rat, masuk dan istirahat, jika ada apa-apa, telpon saja petugas hotel.''
''Iya, terimakasih, Nak ...'' Kinanti pun masuk bersama dengan Ratu ke dalam kamar.
Deema yang tidak ingin masuk, ia memilih menggenggam tangan Aiden. ''Kenapa? Masuk dulu, istirahat, makan, saya tunggu di bawah.''
Deema menggeleng. ''Mau sama kamu,'' katanya. Deema pun menarik Aiden ke sebuah kursi yang cukup panjang, kursi itu di sediakan di dekat jendela hotel di ujung lantai 5 ini.
''Kamu belum minum dari tadi, mau saya ambilkan minum?'' tanya Aiden.
Deema menggeleng, Deema sudah tidak berselera untuk memasukan apapun ke dalam mulutnya. Ia masih harus mencerna kejadian yang datang bertubi-tubi hari ini.
''Ada saya, jangan sedih terus,'' kata Aiden yang sekarang merangkul Deema dan membiarkan Deema bersandar di bahunya.
Hari sudah semakin sore, mereka bisa melihat awan mendung sudah mengisi langit sore. Deema sudah mengganti bajunya, begitupun dengan Aiden.
''Mas ... Aku lupa bilang ke Kak Kaila. Aku sekarang harusnya kerja.''
''Kamu lupa bilang?'' tanya Aiden.
Deema mengangguk. ''Saya sudah bilang ke Kak Kaila, dia bilang turut berduka cita, semoga kamu kuat. Kapan pun kamu mau kembali bekerja, kerja aja.''
''Kamu bilang, Mas?'' tanya Deema.
''Iya ... Aku juga bilang sama Bunda sama Ayah. Bunda kanget dan pengen langsung ketemu kamu, tapi aku bilang kalau kamu baik-baik aja, penyakit Bunda suka cepat kambuh.''
Deema mengangguk. ''Terimakasih, ya Mas sudah bantu aku sampai di sini.''
''Jangan terus bilang makasih, saya itu bagian dari hidup kamu juga.''
Deema kembali memeluk Aiden. Untung saja Aiden hadir di dalam hidupnya, jika tidak, Deema tidak tahu harus seperti apa.
''Mas tadi kaget ya, aku tiba-tiba lari. Maaf ya, aku gak sopan,'' kata Deema yang teringat dengan kelakuan di sekolahnya.
Aiden menyentil jidat Deema dengan pelan. ''Nakalnya diilangin. Jangan bandel-bandel. Saya juga kaget waktu kamu belum datang ke lapangan. Teman-teman kamu bilang kalau kamu ada di UKS.''
''Dari pagi saya liat muka kamu sudah murung, seperti memikirkan sesuatu. Makanya, pas masuk mobil saya tanya, kamu happy? Dan kamu jawab kalau kamu baik-baik saja.''
''Saya tau, kalau kamu tidak baik-baik saja. Saya sudah bilang sama kamu, saya itu hadir di hidup kamu, untuk membantu kamu, saya juga bagian dari hidup kamu. Tapi, kamu masih saja terus menutupi sesuatu dari saya.''
Deema mendengarkan ucapan Aiden yang sangat panjang itu. Ia bisa melihat jika ucapan Aiden sangatlah tulus. ''Maaf ya, Mas ... Ada sesuatu yang terjadi pagi tadi, tapi aku gak bilang sama kamu.''
Aiden pun melihat ke arah wajah Deema yang sedang bersandar di bahunya. ''Kenapa?''
''Ini menyangkut dengan a--ayah ....''
Aiden merasa hal ini akan menjadi serius, ia pun memasang telinganya dengan baik, ia ingin mendengarkan semua cerita dari Deema. ''Pagi tadi, sekitar jam lima pagi, aku bangun karena handphoneku nyala, ada telpon masuk. Dari nomer yang tak di kenal.''
''Aku angkat telpon itu, ketika aku bertanya ini siapa? Orang itu gak jawab, dia malah bilang 'ini anak lo?', 'anak lo cewek? Boleh dong buat gua' dengan jelas aku denger suara itu. Orang itu terus ngomong ngelantur, tanpa dia mau jawab pertanyaan aku.''
''Suaranya?''
''Aku gak tau pasti itu suara cewek atau cowok, karena dia telpon aku pakai pengubah suara.''
Aiden mengangguk. ''Lalu setelah itu?''
Deema menelan air liurnya, ia merasa tidak sanggup untuk melanjutkan cerita ini. ''Enggak apa-apa, pelan-pelan saja ceritanya ...'' ucap Aiden yang menenangkan.
''Se--setelah itu, gak lama, aku denger tiba-tiba ada suara orang yang meminta ampun. Aku juga gak jelas itu suara siapa, karena diakan pakai pengubah suara.''
''Suara yang minta ampun itu, kaya suara orang yang di siksa, setelah itu, aku coba bicara dan bertanya lagi, tapi dia langsung tutup telpon lagi. Aku udah telpon dia lagi, tapi gak bisa, Mas ....''
Aiden mendengarkan semua itu dan telah menemukan titik terang jika ini adalah sebuah pembunuhan. Aiden memang tidak melihat jasad ayah dari Deema, begitupun dengan Deema. Tapi, mendengar laporan dari Zaffran, jika jasad ayah Deema, dilehernya terdapat bekas alat setrum, dan semua tubuhnya membiru, bahkan uratnya pun terlihat jelas di luar kulitnya.
''Nanti, kalau polisi bertanya, kamu cerita seperti itu ya. Kamu bilang ini ke Ibu?''
Deema menggeleng. ''Aku gak berani bilang ke Ibu, dan aku gak berani cerita sama polisi.''
''Nanti polisi datang, kamu cerita ya.''
Deema kembali menggeleng. ''Aku takut ....''
''Polisi tidak jahat, Deema ... Mereka membantu kamu untuk mengungkapkan kenapa ayah kamu seperti ini.''
''Dan ... Pengajian untuk ayah, sudah saya serahkan semuanya ke panti asuhan dan pesantren, saya meminta semuanya untuk mendoakan ayah kamu.''
''Aku boleh bilang terimakasih lagi gak, Mas?'' tanya Deema.
Aiden menggeleng. ''Enggak boleh. Saya tau hati kamu tulus berterimakasih kepada saya. Saya sudah tau tanpa kamu bilang.''
Deema yang tidak bisa berbicara apapun itu, ia pun mengangguk. ''Kamu istirahat dulu ya, temani Ratu di dalam, bisa panggilkan Ibu untuk berbicara dengan saya? Saya sudah bilang degan Ibu kalau saya ingin berbicara.''
Aiden mengantarkan Deema berjalan sampai ke pintu kamarnya. ''Ganti pakaian, saya sudah siapkan pakaian untuk kamu di dalam lemari. Makan juga ya, panggil ibu, saya tunggu di kursi tadi,'' kata Aiden.
Sebelum masuk, Deema kembali menghadap ke arah Aiden. ''Mas, tapi Mas masih di sini?''
''Saya pulang dulu selesai mengobrol dengan Ibu kamu. Ayah sepertinya ingin berbicara dengan saya.''
''Iya, Mas. Hati-hati ya, terimakasih banyak untuk hari ini.''
''Iya, sayang.''
Deema pun masuk ke dalam kamar hotel yang sangat mewah ini. Ada Kinanti dan Ratu yang tengah duduk sambil melamun. Deema sangat kasihan melihat ibu dan adiknya itu.
...
Aiden berdiri ketika Kinanti datang menghampirinya. ''Tidak apa-apa, Nak. Duduk saja.''
Aiden mengangguk, dan mempersilahkan Kinanti untuk duduk di sebelahnya.
''Bu, sebelumnya saya turut berdukacita sedalam-dalamnya. Saya juga cukup terkejut mendengar kabar ini tadi siang.''
''Iya, Nak. Sebelumnya saya juga berterima kasih, kepada kamu, sudah selalu membimbing anak saya. Dan menjaga saya, juga keluarga saya sampai saat ini. Maaf jika terus merepotkan. ''
''Dengan senang hati saya membantu.''
Aiden ingin berbicara dengan Kinanti terkait kehidupan mereka kedepannya. Ia ingin membantu Deema dan keluarganya untuk hidup lebih layak dan baik lagi.
''Bu, untuk pengajian almarhum, sudah saya serahkan ke pihak panti asuhan dan pesantren yang saya tunjuk. Begitipun dengan proses olah TKP yang ada di rumah Ibu saat ini, sudah di urus oleh sekretaris saya.''
Kinanti menatap kosong ke depan. ''Saya berhutang budi sangat banyak ke kamu dan keluarga. ''
Aiden menggeleng, sambil tersenyum. ''Jangan jadikan ini hutang budi. Saya berniat untuk membantu dan sudah menjadi kewajiban saya.''
''Saya juga tidak tahu mengapa kejadiannya seperti ini. Pagi tadi, saya tidak melihat hal-hal yang aneh di dekat rumah saya. Tapi, waktu saya pulang bersama dengan Ratu, saya sudah melihat orang-orang ramai berkumpul di sana. Dan ternyata ayahnya anak-anak sudah tergeletak tak bernyawa di samping rumah.''
''Saya sudah punya firasat dari jauh-jauh hari, tentang suami saya. Saya tidak tahu harus memanggil dia suami saya atau bukan, karena ... Mungkin kamu sudah tau permasalah keluarga saya.''
Aiden mengangguk. ''Ibu yang sabar ya. Nanti polisi datang, Ibu beri semua kesaksian yang ada. Besok polisi akan datang dan meminta keterangan. Polisi ada untuk membantu kasus ini. Semoga Ibu kuat ya.''
''Maaf ya, Nak. Sudah mengganggu waktunya, padahal kamu sangat sibuk sekali.''
Aiden tersenyum. ''Tidak apa-apa, Bu. Semua urusan pekerjaan saya sudah ada yang mengatur. Dan juga, jika Ibu sudah siap bekerja di perusahaan saya, kapanpun itu, akan saya terima.''
Kinanti menatap wajah Aiden dan tersenyum. Ia sangat senang bisa bertemu dengan orang baik seperti Aiden ini. ''Iya, Nak. Saya akan usahakan untuk bekerja secepat mungkin.''
''Ibu mau pulang ke rumah dulu lagi?'' tanya Aiden.
''Sebenarnya, tanah itu sudah ada yang memintanya. Akan di beli oleh pabrik yang ada di sana. Tapi setelah kejadian ini, saya tidak tau rumah itu akan terjual atau tidak.''
''Ibu berniat mau pindah?'' tanya Aiden.
''Ya, saya mau mengontrak dengan anak-anak saya setelah ini.''
''Sebelumnya maaf jika saya menyinggung perasaan Ibu, saya sudah menyiapkan rumah untuk Ibu, Deema dan Ratu. Tidak besar, tapi pastinya nyaman ditinggali.''
Kinanti terkejut mendengar itu. ''N--nak ...'' kata Kinanti dengan nada bergetar.
''Iya, sudah saya sediakan di perumahan yang ada di pusat kota.''
Kinanti menggeleng. ''Saya gak tau harus terima atau enggak. Saya merasa gak harus menerima ini.''
''Saya sudah siapkan, Bu. Ibu tinggal pindah ke sana.''
''Terimakasih, Nak ... Akan saya ganti dengan upah saya nanti.''
Aiden tersenyum melihat Kinanti yang meneteskan air matanya dengan bahagia. ''Jangan terus bersedih, agar bisa bekerja, nanti Ibu bisa mengganti semuanya, lewat pekerjaan Ibu di perusahaan saya. Bantu saya untuk bisa dapat bisnis-bisnis lainnya. Siap, Bu?'' Aiden berbicara seperti itu agar hati Kinanti tenang, dan tidak berpikiran jika semua yang ia beri adalah sebuah hutang.
''Ya, Nak ... Saya akan bekerja dan membantu perusahaan kamu, semampu saya.''
''Untuk sekarang, Ibu diam dulu di hotel ini selama tiga hari. Hari kamis nanti saya antar Ibu ke rumah baru ya. Untuk penjualan tanah itu, biar saya urus dan barang-barang yang ada di sana akan saya pindahkan langsung ke rumah baru. Bagaimana?''
''Iya, Nak. Saya ikuti arahan kamu. Terimakasih banyak ya ....''
''Iya, Bu. Ibu masuk ke kamar, istirahat, makan yang cukup. Jika ada sesuatu telpon penjaga hotel ya, atau telpon saya. Saya pamit pergi, ada sesuatu yang harus saya urus.''
Aiden berdiri, dan terlebih dahulu mengantarkan Kinanti sampai ke depan pintu kamarnya. Ia pun melanjutkan jalannya untuk menaiki lift. Ia akan pulang terlebih dahulu ke rumahnya, karena ayahnya terus menelpon dirinya.