Hari sudah semakin sore, Aiden baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, namun suara Farid sudah menginterupsi dirinya.
''Aiden, Ayah mau bicara sebentar,'' ucap Farid yang seperti biasa sudah duduk di ruang keluarga bersama istrinya, Yara.
''Assalamualaikum, Yah, Bund ...'' salam Aiden sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
''Waalaikumsalam, Nak.''
''Ayah mau tanya apa?'' tanya Aiden yang sepertinya sudah tau apa yang ayahnya itu bicarakan.
Sebelum itu, Yara yang wajahnya terlihat khawatir terlebih dahulu berbicara. ''Semuanya sudah selesai, Nak? Deema baik-baik sajakan?'' tanya Yara.
Aiden pun mengangguk. ''Baik-baik saja, Bunda ... Terimakasih sudah mendoakan.''
Yara mengangguk. ''Bunda khawatir banget dapet kabar seperti itu. Kasian banget Deema, pasti sangat terpukul, kamu jagain terus Deema ya, dia butuh laki-laki dihidupnya,'' ucap Yara sambil memegang tangan Aiden.
''Iya, Bunda ....''
Mendengar istinya berbicara seperti itu, membuat Farid menjadi ragu untuk mengucapkan hal ini kepada Aiden.
''Ada apa, Yah?'' tanya Aiden kembali.
''Kamu mengeluarkan uang sebanyak itu untuk keperluan pacar kamu?'' tanya Farid.
''Aiden yang memberi. Bukan dia yang meminta. Lagipun, Aiden gak tau bagaimana cara menghabiskan uang sebanyak itu. Hanya ini yang mau Ayah bicarakan?''
''Yah ... Umur Aiden bukan lagi belasan tahun, tapi Aiden sudah hampir kepala tiga. Kenapa Ayah masih terus saja memantau semua kegiatan yang Aiden lakukan? Jika Ayah terus seperti ini, silahkan ambil kembali perusahaan Ayah yang sudah Ayah berikan kepada Aiden.''
''Bukan seperti itu. Seharusnya kamu bisa membagi waktu kamu dengan baik. Bukan melulu tentang gadis kecil itu.''
''Ayah ...'' ingat Yara. Ia tahu jika Farid kesal dengan Aiden karena Aiden tidak bisa membagi waktunya.
''Ayah mau Aiden terus kerja seperti orang yang tak terarah gitu? Pekerjaan semua sudah ada yang mengatur. Aiden bertanggung jawab atas itu semua. Ayah kenapa sih? Akhir-akhir ini selalu saja seperti ini.''
Farid terdiam mendengar pertanyaan seperti itu oleh Aiden. Memang Aiden tidak pernah salah di dalam pekerjaannya, tetapi yang Farid ingin adalah Aiden bersama dengan orang pilihannya.
''Kamu sudah yakin bersama dengan gadis kecil itu?''
''Loh, Ayah kok gitu? Ayah udah liat kok, anak itu baik-baik aja. Sopan, pintar, jago masak, suka memperhatikan hal-hal kecil, apa sih yang membuat Ayah seperti ini?'' Yara kini ikut berbicara, ia ingin membela Aiden kali ini. Karena hati Yara sudah cocok sekali dengan kehadiran Deema.
''Ayah mau kamu bersama dengan orang pilihan Ayah.''
''Yah!'' Aiden dan Yara sama-sama terkejut mendengar itu.
''M--maksud Ayah gimana? Yah ... Maaf kalau aku ikut campur, tapi ... Kamu gak kasian sama Aiden? Anak kita sendiri loh, Yah ... Dia berhak menentukan pilihannya sendiri. Aku juga yakin, kalau pilihan dia itu gak salah.'' lagi, lagi Yara membela Aiden.
''Ayah mau mengatur semua kehidupan Aiden? Aiden manusia, Yah ... Aiden juga punya hak buat menentukan arah hidup Aiden sendiri. Kalau Ayah terus seperti ini dengan Aiden, maaf jika Aiden tidak seperti dulu lagi.''
Aiden bangun dari duduknya ia sudah lelah dengan hari ini, ditambah lagi, Farid yang selalu mengatur kehidupan dirinya.
''Aiden ... Dengarkan Ayah terlebih dahulu.''
Aiden yang tidak ingin merasa tidak sopan, ia pun menghentikan langkahnya. ''Setidaknya kamu bertemu terlebih dahulu dengan wanita pilihan Ayah. Selanjutnya silahkan kamu yang atur. Ayah tidak akan ikut campur mengurusi kehidupan kamu.''
Cukup lama Aiden berdiri dan terdiam, ia tidak membalikan badannya, ia hanya berdiri saja. ''Ayah sudah atur untuk pertemuan kamu, hari sabtu jam empat sore. Lokasinya ada di sekertaris kamu.''
Aiden tidak menjawab ucapan ayahnya itu, ia lebih baik berjalan ke lantai atas, untuk membersihkan dirinya dan juga mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah ini. Jika seperti ini, hanya satu yang ia inginkan, yaitu mendengar suara Deema.
...
Malam hari sudah datang, tak terasa Deema merasakan hari ini sangatlah panjang. Saat ini Deema tengah duduk di balkon kamar hotel ini. Dari atas sini ia bisa melihat pemandangan kota pada malam hari yang cukup indah.
Pukul 8 malam, ibu dan adiknya sudah tertidur karena mereka sepertinya kelelahan. Berbeda dengan Deema yang tidak bisa tertidur.
Saat ini ia tengah duduk sendiri sambil memegang minuman kotak berprisa mangga.
Deema masih harus mencerna semua kejadian hari ini yang terjadi begitu saja. Ia butuh waktu untuk memulihkan dirinya yang sangat terkejut.
Ada banyak sekali hal yang ia sesali sesudah kehilangan ayahnya ini. Pertama, Deema sangat menyesal karena harus melihat wajah terakhir ayahnya ketika ia bertengkar hebat bersama dengan ayahnya beberapa minggu yang lalu. Kedua, andai saja pada saat itu Deema menahan ayahnya untuk tidak pergi dari rumah, agar mencari kerja, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini.
Ketiga, ia sangat menyesal karena tidak bisa melihat wajah jenazah ayahnya, karena ayahnya sudah di bungkus kain kafan juga, Aiden dan Ibunya tidak mengizinkan untuk Deema melihat wajah ayahnya untuk yang terakhir kali. Dan yang terakhir, andai saja ia bisa melaporkan tentang kejadian tadi pagi ke polisi, pasti ayahnya dapat di selamatkan.
''Argh ... Ya Allah ...'' Deema memegang kepalanya yang terasa kembali sangat pusing.
''Gak guna, Deem ... Gak guna Lo nyesel kali ini. Dulu Lo kemana? Ngebiarin ayah Lo pergi dari rumah Lo, bahkan Lo sendiri yang seneng karena dia gak ada di rumah.''
''Kemana aja Lo selama ini, Deema ...'' Deema mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri, karena ia merasa bodoh.
Ditengah-tengah itu, ada sebuah telpon masuk, nama Aya tertera di sana. Deema mengangkat telpon itu, karena ia yakin sahabatnya itu pasti terkejut dengan kejadian tadi pagi. Dan ia pun harus meminta maaf kepada para sahabatnya.
''Halo?'' sapa Deema.
''Ah ... Akhirnya Deema ... Lo angkat telpon Gue juga. Lo baik-baik ajakan?'' tanya Aya.
Deema tersenyum. ''Iya, Aya, Gue baik-baik aja. Maaf ya udah bikin khawatir.''
''Ah ... Enggak apa-apa ... Syukur kalau Lo baik-baik aja. Ini Gue, Celline sama Lola lagi nginep di rumah Gue. Kapan-kapan Lo juga ikut nginep dong ....''
''Hehehe ... Have fun guys ... Maaf Gue belum bisa nginep.''
''Deema ... Lo baik-baik ajakan?'' Deema bisa mendengar suara Celline dan Lola di sana.
''Iya, guys ... Gue baik-baik aja.''
''Memangnya tadi ada apa, Deem?'' kini Aya kembali bertanya.
Tidak ada salahnya juga Deema untuk berbicara dengan para sahabatnya itu. ''A--ayah meninggal ....''
''Inalilahi ....''
''Ya Allah, Deema ....''
''Lo yang sabar ya ... Kenapa Lo gak bilang sama kita-kita? ''
Deema tersenyum mendengar para teman-temannya itu berebut untuk berbicara dengannya.
''Maaf ya, Gue gak ngasih tau karena tadi syok banget.''
''Kita ke rumah Lo ya sekarang. ''
''Jangan ... Gue sekarang gak di rumah itu lagi, Gue lagi ada di hotel sama ibu dan adik Gue. Kalian tolong doain aja ya ....''
''Ya ampun, Deema ... Kenapa gak bilang sama kita kalau ada musibah yang nimpa Lo,'' suara Celline terdengar.
''Turut berduka cita, Deema. Lo tenang aja, enggak perlu masuk sekolah dulu besok, bahkan Gue bisa ngomong ke Avyan buat ganti vokalis baru ngegantiin Lo nanti hari sabtu.''
''Enggak apa-apa, Ya. Makasih atas bantuan Lo, enggak perlu bilang Avyan, Gue masih bisa buat jadi vokalis di acara pensi nanti.''
''Yang sabar ya, Deema ... Gue tau Lo kuat banget, '' ucap Lola.
''Iya, makasih ya semuanya. Maaf tadi ngerepotin kalian.''
''Enggak kok. Tas Lo ada di rumah Gue, tugas-tugas Lo juga udah di kerjain,'' ucap Celline.
''Oh ya? sama siapa?''
''Celline bayar anak kelas sebelah buat ngerjain tugas Lo, Deem,'' suara Lola dengan polosnya terdengar di telinga Deema dan membuat Deema tertawa.
''Hahah ... Oh ya? Ya ampun ... Gue punya hutang berarti sama Lo, Cell ....''
''Ah, Lo kenapa di bahas sih, La ... Kasian tuh Deema.'' kata Celline.
''Ih, Guekan jujur.''
''Iya, enggak apa-apa guys ... Intinya Gue mau bilag terimakasih ya sama kalian semua.''
''Iya, Deema. Maaf ya kita gak bisa datang. Lo mau istirahat pasti ya? Yauda Gue tutup ya telponnya. ''
''Selamat malam, Deema ...'' ucap ketiga temannya.
''Selamat malam juga, guys ...'' jawab Deema sambil tersenyum.
Deema menjadi merasa bersalah karena sudah mengira hal-hal negatif dari ketiga temannya itu. Ternyata Aya, Celline dan Lola selalu menerima dirinya.
Baru saja ia menyimpan ponselnya dan meminum jus mangganya, ada telpon yang masuk ternyata itu berasal dari Aiden. Dengan semangat yang membara, juga wajah yang terus berseri Deema pun menerima telpon itu.
''Selamat malam, sayang ...'' sapa Deema disaat ia sudah mengangkat telpon itu.
''Malam juga ... Tumben seneng banget jawabnya. Sudah baikan?'' tanya Aiden. Deema bisa mendengar jika suara Aiden sedikit tergesa-gesa, seperti ... Aiden sedang berlari di kejar hewan.
''Alhamdullah ... Sudah, Mas.''
''Mas, kok mau kaya yang capek gitu sih? Lagi lari-lari? Kamu lagi ngapain?''
''Saya lagi di atas treadmill ... Beres shalat maghrib saya langsung ke ruangan gym.''
''Terus, kenapa harus telpon aku? Kamu bisa kok olahraga dulu,'' ucap Deema, karena ia kasihan dengan Aiden yang suaranya napasnya pendek-pendek.
''Saya lagi capek. Butuh penyemangat, makanya saya telpon kamu.''
''Hahaha ... Ya ampun, Mas ... Makin jago gombal ya sekarang.'' Deema sangat gemas sekali mendengar Aiden berbicara seperti itu.
''Biarin. Gombal jugakan buat kamu. Temani saya olahraga ya ....''
''Iya, Mas ... Aku temenin.''
''Nanti kalau sudah halal, kita olahraganya bisa berdua.''
''Aish ... Gak boleh tau ngomong gitu sama anak kecil, Mas ... Aku laporin loh ....''
''Aduh ... Saya keceplosan. Maaf ya ....''
''Dasar jokes om-om ....''
Deema bisa mendengar suara tawa Aiden di sana. ''Mas sudah makan malam?''
''Emm ... Belum. Saya malas turun,'' ucap Aiden.
''Loh, kenapa? Kamu belum makan loh dari siang tadi. Selesai olahraga kamu makan malam ya?''
''Emm ... Saya tidak janji,'' jawab Aiden.
Saat ini, Deema mendengar suara Aiden seperti seorang remaja laki-laki yang tengah merajuk karena tidak dibelikan motor oleh orangtuanya.
''Mas lagi marahan ya sama orang rumah?'' tanya Deema yang sedikit penasaran. Karena tidak biasanya Aiden seperti ini.
Aiden berpikir keras, mengapa Deema pasti tahu tentang keadaan dirinya, tanpa ia memberitahu terlebih dahulu. ''Emm ... Tidak ....''
''Bener? Kamu bukan marah karena orang tua kamu menjodohkan kamukan?''
Deg ... Deg ... Deg ... Jantung Aiden berdetak lebih kencang. Deema sudah seperti dukun saat ini. Mengapa Deema tahu semuanya?
''Hahaha ... Suasananya kaya di novel yang pernah aku baca, Mas ... Jadi ada pasangan gitu, yang si cowoknya itu ternyata dijodohkan sama orang tuanya, sebelum itu ceweknya ngerasa aneh karena si cowoknya itu gak mau makan, gak mau minum, terus merajuk gitu. Hahaha ... Kamu gak gitukan?''
Huft ... Untung saja, Deema hanya bercanda, tapi mengapa bercandaan itu sangatlah cocok.
''Mas? Kok diem? Apa pingsan ya?''
''Enggak kok, sayang ... Saya bukan anak kecil.''
''Ah ... Ini baru Mas Aiden. Yauda ... Kamu selesaikan dulu olahraganya ya, sesudah itu makan malam. Jangan yang berlemak, nanti gagal olahraganya ....''
''Iya, sayang ... Kamu temani dulu ya.''
''Iya, aku temenin.''
Akhirnya mereka kembali melanjutkan obrolan mereka. Sampai tak terasa telpon itu sudah berdurasi satu jam, tapi mereka tetap saja melanjutkan obrolan mereka. Aiden yang sudah hampir berkepala tiga itu, kembali merasakan masa remajanya, yang katanya banyak anak remaja menghabiskan waktu berjam-jam untuk berteleponan dengan pacarnya, dan akhirnya Aiden bisa merasakan itu juga. Ternyata sangat-sangat seru dan mengasyikan.