Malam hari pun sudah datang, jam menunjukan pukul 22.00 dan Deema masih berada di toko untuk menyelesaikan pesanan esok hari.
Deema tidak sendiri, ia juga di temani oleh Nomi, Kaila dan ... Aiden yang baru saja datang menjemput Deema.
Dari tadi Aiden sangat banyak berbicara kepada Kaila, Aiden menyuruh Deema untuk cepat-cepat pulang karena hari sudah malam. Tapi, Kaila bersikeras berdebat dengan Aiden tidak mengizinkan Deema untuk pulang karena masih ada pekerjaan tanggung jawab untuk Deema.
Deema yang melihat perdebatan antara adik dan kakak itu hanya tersenyum, karena perdebatan mereka sangat lucu. Aiden yang kaku dan Kaila yang banyak berbicara, menjadi perpaduan yang menggemaskan.
''Ayo tinggalin aja. Jadi karyawan saya, jadi karyawan dia gajinya gak besar.''
Kaila yang mendengar itu melotot ke arah Aiden. ''Apa kamu bilang? Enak aja. Gaji karyawan aku besar-besar ya ... Gak kaya karyawan kamu yang kurang piknik.''
Nomi yang ada di sana pun memperhatikan dua bos besar yang sedang adu mekanik memperebutkan seorang karyawan.
''Perusahaan saya lebih besar kali,'' ucap Aiden yang tak mau kalah.
Kaila yang ada di ruangan pembuatan kue itu pun kembali mendengar. ''Toko aku lebih berkualitas di banding kamu. Diem deh, pergi sana, ganggu orang aja.''
''Kalah saing ....''
''Apa kamu bilang? Aku kalah saing? Tutup mulut kamu ya ... Aku masih bisa beli semua saham perusahaan kamu.''
Deema menahan senyumnya dari tadi. Sangat seram tenyata ketika dua sultan sedang berdebat. Yang mereka perdebatkan bukan lagi tentang barang, tapi mereka saling beradu dengan kekayaan yang mereka punya.
''Balikin mobil saya,'' ucap Aiden bak anak kecil, yang kalah berbicara dengan kakaknya, lalu ia mengungkit semua barang yang pernah kakaknya pinjam itu. Lain dengan adik kakak lainnya, yang menyuruh untuk mengembalikan baju dan celana, Aiden dan Kaila berbeda.
''Eh ... Perhitungan banget ya ... Kamu gak tau dulu siapa yang ngurus kamu?''
''Bundalah ... Bukan kamu.'' jawab Aiden dengan santai, saat ini Aiden sudah menyandar di meja yang bersebelahan dengan Deema, dan melipat tangannya. Matanya menatap ke arah Kaila yang sedang membuat adonan kue di sana.
''Bener-bener gak tau di untung. Pergi kamu, jangan datang lagi.''
''Ah ... Ayo sayang, kita pergi dari sini, biarin dia cari karyawan baru.''
Mendengar itu, Kaila keluar dan berkacak pinggang di hadapab Aiden. ''Enak aja kamu bawa-bawa Deema. Pergi sana sendiri.''
''Dia pacar saya. Suka-suka saya ....''
''Aish ... Aiden ... Kamu bener-bener ya, pergi gak, atau gak aku izinin kamu buat pergi sama Deema.''
''Mas ... Kamu tunggu dulu di bawah. Aku masih ada beberapa lagi, sebentar ya ....''
''Kamu milih Kaila? Okey ....''
Setelah itu Aiden pun membawa jaketnya dan turun ke bawah. Deema hendak menahan Aiden, tapi Kaila pun menahan Deema. ''Biarin aja, dia gak akan pergi, paling di bawah.''
Deema pun mengangguk. ''Iya, Kak. Aku selesain ini dulu ya.''
''Iya, selesaikan ini saja. Untuk besok beda lagi.''
''Kak Kaila enggak pulang?'' tanya Deema.
''Sebentar lagi, aku harus nulis bahan-bahan buat besok.''
''Iya, Kak.''
''Aku masuk dulu ya. Adonan aku jadi gagal gara-gara anak tadi.''
Deema dan Nomi tersenyum mendengar itu. ''Pacar kamu lucu juga ya.''
Deema tersenyum mendengarkan ucapan Nomi. ''Iya, Mbak. Mas Aiden walaupun gitu, dia sifatnya kaya anak kecil juga.''
''Dia pasti awet muda kalau pasangannya kamu.''
''Kok gitu, Mbak?''
''Iya, loh ... Soalnya kamu bisa mencairkan suasana, terus lebih banyak berbicara di banding dia. Pasti dia bakalan awet muda, apalagi kamu lebih muda dari dia.''
''Bisa gitu ya, Mbak?''
Nomi mengangguk. ''Dulu, waktu pertama kali aku kerja di sini sering liat adiknya Kak Kaila, tapi mukanya agak suram gitu, dia dingin banget dan kalau bicara singkat-singkat. Dan sekarang, aku juga liat loh perubahan dia waktu dekat sama kamu. Kamu spesial banget pasti di hidup dia.''
''Oh ya? Aku rasa Mas Aiden banyak bicara juga kok seperti kita. Hanya saja, Mas Aiden itu males kalau banyak berbicara. Liat aja, dia kaku banget kan.''
''Iya, kaku banget.''
''Udah kaku, bikin kesel, nyebelin. ''
''Tapi sayangkan?'' tanya Nomi.
Deema langsung mengangguk. ''Pasti, Mbak. Aku sayang banget sama dia.''
''Di jaga, Deema ... Orang baik enggak akan datang dua kali.''
''Siap, Mbak.''
Terkahir, Deema hanya perlu menyusun kue-kue kecil ini ke dalam wadah, dan ia simpan di lemari pendingin.
''Mbak Nomi nginep lagi di sini?'' tanya Deema.
''Iya, aku males pulang ke kosan, kosan aku horor banget.''
''Oh ya? Kok Mbak baru cerita sih?''
''Nanti aja ceritanya, kalau sekarang sudah malam makin seram nanti.''
''Hahaha ... Iya juga ya. Tapi Mbak Nomi gak takut tidur di sini?''
Nomi menggeleng. ''Enggak, kok ... Di sini ramai sama kendaraan. Dan gak akan sepi-sepi. ''
''Yasudah, Mbak Nomi hati-hati ya tidur di sini. Aku mau pulang dulu,'' ucap Deema sambil membuka celemeknya dan sarung tangan plastiknya.
''Iya, kamu hati-hati juga pulangnya.''
''Iya, Mbak siap.''
Deema berjalan ke ruangan khusus untuk membuat kue. ''Kak Kaila, aku pamit pulang ya ....''
''Iya, Deema ... Hati-hati ya, aku lagi bikin adonan gak bisa anter ke bawah.''
''Iya, Kak. Gak perlu anter ke bawah.''
''Aiden pasti masih ada kok di bawah. Dia memang gitu anaknya.''
''Iya, Kak. Aku pulang dulu ya. Assalamualaikum, Kak ....''
Setelah mendapatkan jawaban salam, Deema langsung turun ke lantai bawah.
...
Sesampainya di lantai bawah, Deema melihat Aiden yang tengah memainkan ponselnya di ujung ruangan ini. Ternyata benar, Aiden tidak pulang begitu saja. Ada rasa kasihan dan rasa bersalah di hati Deema kali ini.
Ia sangat kasihan melihat Aiden yang harus pulang larut malam karena menjemputnya, dan ia pun merasa bersalah karena telah berbicara seperti itu kepada Aiden tadi.
Deema datang menghampiri Aiden. ''Mas ...'' panggil Deema dengan lembut.
Tapi Aiden masih asik dengan ponselnya dan tidak menjawab panggilan Deema. Deema tahu jika Aiden ingin jual mahal terlebih dahulu.
''Mas ...'' panggil Deema satu kali lagi. Tapi Aiden masih belum menjawabnya.
''Mas Aiden ...'' Deema belum menyerah untuk panggil Aiden.
''Mas bener nih gak mau jawab panggilan aku? Aku manggil loh dark tadi.''
''Hmm ...'' Aiden pun bergumam.
Deema tidak bisa menahan senyumnya karena sangat lucu melihat Aiden yang sedang merajuk seperti anak perawan itu. Seharusnya di sini Deema yang merajuk seperti itu, bukan Aiden. Tapi biarlah, Aiden pun harus meluapkan kekesalannya juga.
Deema memegang tangan Aiden yang bebas, karena tangan satunya Aiden gunakan untuk memegang ponselnya. Padahal Deema tahu, Aiden hanya memainkan ponselnya sekedar melihat menu di ponselnya saja.
Dengan lembut Deema mengambil ponsel Aiden dan meletakkannya di atas meja. ''Udah yuk kita pulang, Mas jangan marah gitu dong. Memangnya gak capek?''
''Enggak ....''
Deema tersenyum. Ia mengelus tangan Aiden dengan lembut. ''Maaf ya ... Akukan lagi kerja, Mas ... Gak baik juga kalau enggak menyelesaikan pekerjaan. ''
''Udah ya ... Aku udah minta maaf. Maafin aku ya ....''
Aiden pun melihat ke arah Deema. ''Hm ...'' hanya itu tanggapan dari Aiden.
Walaupun begitu, Deema tidak ikut marah, ia mengajak Aiden untuk bangun dan keluar dari toko untuk berjalan menuju mobil Aiden yang terparkir di sebelah toko.
''Masih marah, Mas?'' tanya Deema ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.
Aiden tidak menjawab ia hanya fokus menyetir. Deema meraih tangan kiri Aiden yang Aiden gunakan untuk mengambil tissue, namun dengan cepat Deema meraih tangan Aiden itu.
''Saya lagi nyetir.''
''Ish ... Biasanya Mas kalau nyetir juga suka pegangin tangan aku. Aku juga tau kali Mas marah makanya gak mau pegang tangan aku. Tapikan aku udah minta maaf ....''
Aiden yang sedikit tidak tega membiarkan tangannya di genggam oleh Deema. Ia pun merasa nyaman di genggam oleh tangan Deema yang hangat ini.
''Mas tau gak, aku baru inget kalau lusa aku bakal manggung dan aku begadang terus kaya gini.''
''Salah sendiri,'' ucap Aiden yang kini sudah merespon ucapannya.
''Iya sih, Mas salah aku sendiri.''
''Mas Aiden sudah makan?'' tanya Deema.
''Emm ... Sudah.''
''Serius, Mas ... Kamu itu jarang makan malam.''
''Iya, sudah. Sebelum jemput kamu.''
Deema mengangguk-anggukan kepalanya. Ketika sedang memegang tangan Aiden, ia baru tersadar jika Aiden selalu menggunakan jam-jam tangan mahal seperti ini. Salah satunya yang Aiden gunakan kali ini adalah jam berwarna silver yang memiliki lambang mahkota di dalamnya. Deema tidak salah menebak ini pasti jam mahal.
Aiden yang melihat Deema diam sambil memperhatikan jam tangannya ia pun bertanya. ''Kenapa? Ada yang aneh?''
Deema menggeleng. ''Jam tangan kamu keren-keren semua. Ganti-ganti terus lagi tiap hari. Aku gak bisa bayangin ada berapa jam tangan yang kamu punya.''
Aiden sedikit tersenyum. Ternyata itu yang di lihat oleh Deema. ''Tidak banyak. Kamu mau lihat?''
Mendengar Aiden yang bertanya, Deema yakin jika mood Aiden sudah kembali. ''Mau, mau lihat ... Tapikan ini pasti di simpan di kamar kamu. Enggak jadi deh ... Gak sopankan, Mas ....''
''Kata siapa gak sopan? Saya yang ajak.''
Deema kembali menggeleng. ''Ah sama saja, aku gak mau masuk kamar laki-laki. ''
''Kenapa?'' tanya Aiden.
''Em ... Gitu deh ....''
''Saya enggak akan macem-macem. Minggu depan setelah ujian nasional, main lagi ke rumah ya, bunda juga udah kangen sama kamu.''
''Insyaallah, akukan kerja, Mas ....''
''Urusan kerja bisa di atur.''
Deema mengangguk. ''Mas udah gak marah?'' tanya Deema hati-hati.
''Kamu ajak terus saya bicara. Saya jadi lupa kalau sedang marah.''
''Hahaha ... Mas-mas, kamu aneh-aneh aja.'' ucap Deema sambil tertawa. Aiden pun ikut tersenyum melihat Deema yang tertawa.
''Makanya, Mas jangan marah terus. Kalau marah itu, kesel kita makin nambah. Kalau sabar, pasti hati kita juga tenang.''
Aiden mencubit hidung Deema dengan gemas. ''Sekarang udah pinter ya? Dulu siapa yang sering marah-marah?''
''Aku sih ... Tapi udah enggak ....''
''Yakin udah enggak?''
''Iya, aku gak marah-marah lagi kaya dulu, Mas ....''
Aiden mengangguk dan percaya dengan ucapan Deema. ''Iya, bagus kalau kamu sudah tidak marah-marah lagi.''
Mereka pun sampai di depan rumah Deema yang baru. Deema bisa melihat jika rumahnya masih terang, itu tandanya ibu dan adiknya sepertinya belum tidur.
''Mas mau turun dulu?'' tanya Deema.
''Sudah malam, gak baik berkunjung ke rumah orang malam-malam. ''
''Ini rumah kamy juga kok, kan kamu yang beli.''
''Bukan rumah saya. Nama suratnya saja atas nama kamu,'' ucap Aiden yang membuat Deema terkejut.
''B--bener, Mas?''
Aiden mengaangguk. ''Iya, semua ini atas nama kamu.''
Deema tersenyum. ''Terimakasih banyak, Mas ....''
''Iya, sayang ....''
''Oh iya, Mas, kalau kamu capek enggak perlu jemput aku setelah pulang dari kantor. Kamu langsung aja pulang ke rumah.''
Aiden terdiam mendengar ucapan Deema. Ia pun melihat wajah Deema yang lelah sepertinya. ''Kamu gak perlu pikirin itu. Lagipun jarak kantor, toko dan rumah saya tidak terlalu jauh. Kamu fokus belajar dan jalanin hari-hari kamu ya .... Gak perlu mikirin yang lain.''
Deema hanya bisa mengangguk. ''Mas hati-hati ya pulangnya, jangan lupa ganti baju langsung tidur. Jangan minum kopi kalau sudah malam. Okey?''
''Iya, sayang ... Bawel banget sih.''
''Ish ... Bukan bawel tau ... Ini itu tandanya sayang.''
''Sayang? Kalau sayang ....''
Ucapan Aiden tergantung, namun ia merentangkan tangannya. Deema yang mengerti, ia langsung memeluk Aiden dengan erat. Mencium wangi tubuh Aiden yang menenangkan dirinya. ''Ah ... sayang banget ....''
''Sayang saya?''
''Iya, Mas ....''
''Saya sayang gak ya?''
''Sayang dong ... Kalau gak sayang aku juga gak sayang.''
Aiden tersenyum dan memeluk Deema dengan erat. ''Sayang juga ....''
Mereka berdua pun tertawa bersama. Aiden menghirup wangi rambut Deema yang sangat khas. Ia tidak tahu Deema memakai shampo apa, yang pasti ia sangat menyukai wangi ini.
''Udah ya, Mas ... Gak baik nanti di gerebek, hehehe ...'' mereka pun melepaskan pelukan mereka.
Deema mencium tangan kanan Aiden untuk berpamitan. ''Aku turun ya, Mas Aiden. Kamu hati-hati bawa mobilnya.''
Aiden mengangguk dan mengusap rambut Deema. ''Iya, kamu langsung tidur dan istirahat ya.''
''Iya, Mas ... Bye ... Assalamualaikum ....''
Aiden melambaikan tangannya dan menjawab salam Deema. Aiden bisa melihat jika Deema masih menunggu di gerbang rumahnya untuk melihat Aiden pergi. Ia pun melajukan mobilnya dan tersenyum melihat Deema yang masih melambaikan tangannya di belakang sana.