69. Investigasi

1849 Kata
Sesampainya di kantor polisi, mereka sudah di arahkan oleh anak buah Aiden. Jika Aiden tidak membayar kantor polisi ini, mungkin polisi tidak akan mengusut kasus ini lebih lanjut. Aiden membayar untuk bisa mengetahui tentang kebenaran yang terjadi. Tanpa memberitahu keluarga Deema jika ia yang membayar semua ini. ''Ibu, bisa ikut dengan saya?'' ucap seorang polwan yang memakai hijab. Sebelum ikut, Kinanti terlebih dahulu melihat ke arah Aiden. Aiden pun mengangguk. ''Silahkan, ikuti saja.'' ''Baik, Bu ...'' ucap Kinanti yang mengikuti polwan itu. Begitupun dengan Ratu, yang akan di mintai keterangan di ruangan yang berbeda. Ratu sedikit ragu, tapi Aiden kembali meyakinkan jika di dalam tidak akan terjadi apa-apa. Aiden pun bilang, jika Ratulah di sini yang paling terpukul atas kejadian ini. Polwan itu mengangguk, dan membawa Ratu dengan sangat lembut. Terakhir Deema, Deema melihat mengapa tidak ada polwan yang tersisa di sini? Hanya ada satu polisi yang menunggunya. Apalagi polisi itu masih sangat muda. ''Mas ...'' bisik Deema, ia menjadi ragu, mengapa orang yang mewawancara dirinya bukan perempuan. ''Ikut saja dengannya,'' ucap Aiden. Deema menggeleng, dan memilih untuk menggandeng Aiden. ''Mari, Mbak ...'' ajak polisi itu. ''Mas ... Sama kamu ya, please ....'' Deema adalah orang utama yang akan dimintai keteranganya. Deema adalah orang yang dihubungi oleh tersangka itu. Makanya kenapa Deema akan diintrogasi oleh para polisi. ''Enggak apa-apa, sayang ...'' ucap Aiden yang kembali menenangkan. Posisi Deema saat ini sudah seperti seorang murid kelas 2 SD yang tidak ingin di suntik vitamin di sekolahnya. Ia terus menggandeng lengan Aiden dengan erat. Melihat itu, polisi pun memutuskan untuk Aiden ikut masuk ke dalam ruangan itu. ''Kalau begitu, silahkan Mbak Deema didampingi oleh Pak Aiden saja.'' ''Mari, Pak, Mbak ...'' polisi itu mengajak mereka masuk ke dalam ruangan yang sudah di pasang oleh kamera, dengan 2 kursi untuk narasumber dan 1 orang penanya. Juga ada satu orang polisi yang ikut menjaga. ''Silahkan duduk ....'' Deema dengan kaki sedikit gemetar, ia pun duduk di sebelah kanan, dan Aiden duduk di sebelah kiri. Sedari tadi, tangan kirinya tidak lepas memegang tangan kanan Aiden. Aiden yang merasakan tangan Deema yang dingin dan juga berkeringat, ia ingin sedikit tertawa. Jika keadaannya bukan seperti ini, Aiden pasti sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Deema. ''Dengan sodari Deema Adora?'' penanya itu bertanya. Deema hanya mengangguk. ''Di jawab, bukan pakai anggukan saja,'' ucap Aiden, mencoba berbicara santai dengan Deema. ''Iya, Mbak, santai saja. Saya juga akan bertanya dengan santai, agar Mbak tidak tertekan.'' ''I--iya, Pak ...'' ucap Deema. ''Umur delapan belas tahun? Anak dari korban yang bernama Yoseph, umur empat puluh dua tahun?'' ''Iya, Pak.'' ''Baik, sebelumnya saya sudah mendapat sebuah titik terang ketika sekertaris dari Pak Aiden memberitahu saya jika ada kejanggalan dari sebuah musibah ini.'' Deema mengangguk. ''I--iya, Pak.'' ''Bisa diceritakan tidak, sebelum ada kejadian ini, ada hal yang mengganjal dari korban?'' Sebelum menjawab Deema terlebih dahulu melihat ke arah Aiden. Aiden yang di lihat oleh Deema seperti itu, mengangguk. ''Ceritakan saja, pelan-pelan ....'' ''Emm ... Sebenarnya sebelum kejadian ini, aku dan ayah memang tidak seperti anak dan seorang ayah pada umumnya. Ibuku, adikku, dan aku, sedikit kesal dengan keberadaan ayah karena ayah orang yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya.'' ''Ayah tidak menjalankan perannya sebagai kepala keluarga. Dia membiarkan istri dan anaknya kelaparan sampai berhari-hari. Bahkan kemarin ibu saya sakit-sakitan karena ulah dia.'' Aiden dan penanya itu mendengarkan semua cerita Deema dengan baik. ''Setiap hari dua bulan belakangan ini, ayah selalu cek-cok dengan ibu. Memperdebatkan semuanya, ayah yang tidak mau berusaha atau mencari kerja, dan ibu yang tertahan tidak kerja karena ayah yang menyuruh.'' ''Korban kabur dari rumah?'' ucap penanya itu. Deema mengangguk. ''Mereka terus cek-cek setiap harinya, sampai-sampai ayah pergi dari rumah, bahkan gak pulang selama kurang lebih sepuluh hari.'' ''Aku pernah ngilat ayah pulang, hanya untuk mencari ibu dan meminta uang dari ibu, setelah itu dia pergi lagi dan lenyap entah kemana.'' ''Aku enggak begitu memperhatikan berapa hari ayah keluar dan ayah datang ke rumah. Tapi semenjak mereka terus berantem hingga sampai kemarin, ayah tidak tidur lagi di rumah.'' Deema diam tidak bisa melanjutkan lagi ceritanya, karena itu menimbulkan lukanya kembali membuka. ''Kapan anda terakhir bertemu dengan korban?'' ''Emm ...'' Deema melihat wajah Aiden terlebih dahulu sebelum menjawab. ''Seingat saya tiga atau empat minggu yang lalu, dan saya bertengkar hebat dengan ayah saya. Kamu ada di sanakan, Mas?'' Aiden mengangguk. Aiden diam saja karena ini adalah sesi wawancara Deema sendiri. ''Anda terakhir bertemu korban bertengkar karena apa?'' ''Ya itu, ayah datang ke rumah tiba-tiba dan mengacak-ngacak kamar ibu, mungkin untuk mencari uang. Padahal ayah sendiri tahu kalau ibu tidak kerja.'' Deema mengusap air matanya dengan cepat, ia tidak bisa menangis di sini begitu saja. Aiden mendekat ke arah Deema, dan berbisik. ''Enggak perlu tahan nangis, nangis saja tidak apa-apa. '' Aiden yang berbicara seperti itu, membuat Deema kembali mengeluarkan air matanya. ''Oke ... Mbak Deema, benar Mbak mendapatkan sebuah telpon aneh dari seseorang yang tidak di kenal, bertepatan saat pagi hari sebelum korban di temukan?'' Deema mengangguk. ''Iya, Pak.'' ''Bisa tolong di jelaskan?'' Deema kembali menceritakan itu semua dengan air mata yang terus turun dari matanya. Ia tidak dapat menahan lagi air matanya, biar sajalah ia terlihat jelek saat ini, yang pasti Deema masih ingin menangis dan meratapi semuanya. Sampai-sampai, penjaga yang berjaga di dekat pintu keluar dan mengambilkan Deema tissue untuk mengusap air matanya. ''Semua telpon yang keluar masuk di dalam ponsel Deema, ada di rekaman ponsel saya.'' Aiden menyerahkan sebuah flashdisk kecil. ''Baik, Pak, akan saya cek.'' Deema sudah tidak bisa berbicara lagi karena sedari tadi terus menangis. Penanya itu memberikan jeda sebentar untuk Deema, dan Aiden memiliki kesempatan berbicara untuk membantu Deema. ''Telpon yang diberikan oleh tersangka memakai pengubah suara. Telpon masuk itu hanya berdurasi dua puluh delapan detik.'' ''Anak buah saya sudah melacak keberadaan nomer itu, untuk selanjutnya silahkan hubungi anak buah saya.'' Aiden ingin mengakhiri ini. Ia sangat kasihan melihat Deema yang tidak berhenti menangis. ''Baik, Pak, terimakasih atas waktu dan keteranganya.'' ''Semua keterangan ini sudah cukup, dan nanti jika ada kekurangan saya akan mewawancarai kembali keluarga dari korban.'' Aiden mengangguk ia mengajak Deema untuk berdiri. Mereka pun keluar dari ruangan itu. Deema bersumpah tidak ingin masuk ke dalam ruangan hitam dan dingin itu. Di sana sangat sekali menyeramkan. ... Saat ini Deema dan Aiden tengah berada di perjalanan menuju tempat yang katanya Aiden akan tunjukan ke Deema. Kinanti dan Ibu, sudah diantarkan pulang kembali ke hotel oleh anak buah Aiden, karena mereka sudah selesai di wawancara setengah jam lebih cepat dari Deema. Sedangkan Deema harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam lebih di dalam ruangan itu. ''M--mas mau kemana sih? Gak liat muka aku kaya orang kena flu gini?'' tanya Deema. Ia melihat dirinya yang terpantul di cermin. Dengan mata merah dan berair, juga hidung yang merah, membuat orang yang melihat akan berpikir jika Deema sedang terjangkit flu yang sangat parah. ''Enggak apa-apa. Masih cantik kok.'' Bahkan suara Deema masih sangau karena terus menangis. ''Bener, aku masih cantik?'' tanya Deema. Aiden mengangguk. ''Iya, sayang ....'' ''Terus ini mau kemana?'' tanya Deema kembali. ''Kamu liat aja nanti.'' Deema pun mengangguk dan memilih untuk menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Mungkin tidur sebentar lebih baik untuk memperbaiki kondisi tubuhnya. Tak lama, Deema merasakan ada sebuah kain yang menutupi matanya. Deema yang terkejut langsung menegang matanya. ''Mas! Mas Aiden!'' ''Iya, sayang ... Sebentar di tutup dulu matanya.'' ''Ya Allah, Mas ... Aku kira apa. Ini mau kemana memangnya harus di tutup segala. Inu bukan ulang tahun aku loh ....'' Aiden tidak menjawab, ia sedang keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil sebelah kiri, dan menuntun Deema untuk turun. ''Mas, jangan aneh-aneh loh ya ....'' ''Enggak, ini enggak aneh-aneh ....'' Deema bisa mendengar jika ada suara gerbang yang terbuka. Tak lama, Aiden menuntun kembali dan mengajaknya masuk. Deema tidak tahu sama sekali Aiden mau mengajaknya kemana. ''Oke. Kamu berdiri di sini, saya buka penutup matanya ya ....'' ''Satu ... Dua .... Tiga ....'' Kain penutup mata Deema terbuka. Satu hal yang pertama Deema lihat ketika membuka matanya. Satu rumah minimalis berlantai dua ada di hadapannya. Deema menutup mulutnya, ia merasa kagum dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. ''I--ini apa, Mas?'' ''Rumah, kamu ....'' ''Suka?'' tanya Aiden. Deema tidak bisa berkata apa-apa, ia langsung memeluk Aiden dengan kencang. ''Terimakasih, Mas ... Sudah hadir di hidup aku, dan selalu membawa kebahagian. Terimakasih ....'' Aiden mengusap rambut Deema dengan lembut. ''Sama-sama, sayang ... Kamu suka? Mau kita liat dalamnya?'' Deema pun mengangguk sambil tersenyum. Ia kembaki mengusap air matanya yang turun. ''Udah ya, jangan nangis terus ....'' Aiden merangkul Deema untuk masuk ke dalam rumah yang sangat indah ini. Rumah nuansa putih disertai dengan carport, serta taman kecil di halaman bagian depannya. ''Kamu bilang ke ibu ya, Mas? Kalau kamu siapin rumah buat kita?'' ''Ini bukan buat kita, buat kita nanti yang besar semegah istana.'' ''Aish ... Maksud aku buat keluarga aku loh ....'' Aiden mengangguk. ''Oh iya. Saya tidak fokus.'' ''Kok tumben kamu gak fokus?'' tanya Deema. ''Suasana di rumah kosong berdua sama kamu, hawanya beda.'' Refleks Deema langsung menjauh dari Aiden. Aiden yang melihat itu tertawa terbahak-bahak. ''Enggak, sayang ... Saya bercanda.'' Deema memajukan bibirnya dan kembali menggandeng Aiden. Setelah kunci terbuka, mereka pun masuk. Semua perlengkapan di sini sudah rapi dan lengkap. Ada sofa berwarna cokelat, juga televisi di lantai bawah. Rumah ini sangat luas, bahkan terdapat dapur kotor san dapur bersih, juga meja pantry. ''Wah ... Bagus banget, Mas rumahnya. Ini gak murah loh ....'' Aiden mencubit hidung Deema. ''Mana ada rumah yang murah, sayang ....'' ''Hehehe ... Aku jadi takut pulang ke rumah yang dulu.'' ''Besok ini bakal jadi rumah kamu, ibu dan Ratu. Tidak perlu pulang ke rumah yang lama lagi. Nanti semua barang-barang kamu yang ada di sana akan dibawa esok hari.'' ''Iya, Mas ... Aku harus balas budi sama kamu.'' Aiden menggeleng. ''Kamu gak perlu balas budi. Cukup kamu jadi istri saya nanti, semuanya akan baik-baik saja. Oke?'' Deema memukul perut Aiden. Ia merasa malu mendengar ucapan itu keluar dari mulut Aiden. ''Mau ke lantai atas?'' Deema mengangguk. ''Di lantai atas ada dua kamar. Satu kamar untuk kamu dan satu kamar untuk Ratu. Juga sudah ada masing-masing toiletnya.'' ''Di bawah kamar utamanya ya?'' tanya Deema. ''Iya, itu buat ibu.'' Ketika Deema sampai di lantai dua, ia pun tak kalah senang karena di sini juga sangat keren. Ada dua kamar dan ruang untuk menonton televisi. Juga ada balkon yang cukup luas. Tangga menuju lantai dua pun di beri pencahayaan yang sangat terang dengan jendela besar yang ada di sana. Deema sangat suka rumah ini. Rumah yang simple dan sangat keren. ''Gimana? Suka? Atau mau ganti lagi? Saya bisa beli--'' ''Syut ... Aku suka banget yang ini, Mas ... Suka ... Banget, apalagi kamu yang beliin hehehe ....'' Aiden tersenyum melihat Deema yang tersenyum senang. ''Lihat deh kamar kamu.'' Aiden membukakan pintu yang katanya itu adalah kamar Deema. ''Wah ... Masyaalllah ....'' Deema sangat takjub dengan kamar yang bernuansa biru dan pink itu. Di dalam kamar itu juga sudah terdapat kasur, meja rias, lemari, meja belajar dan rak-rak lainnya. Juga kamar ini sangatlah luas. ''Ah ... Mas aku seneng banget.'' ''Seneng?'' tanya Aiden. ''Iya ... Terimakasih, Mas sayang ....''
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN