Sebelum pergi menuju parkiran, Deema teringat akan baju seragam olahraganya yang di simpan di dalam lokernya. Deema berjalan sendiri ke dalam kelasnya untuk mengambil baju. Setelah itu, ia pun melanjutkan jalannya untuk pergi ke patkiran.
Dari arah depan, ia melihat ada Avyan dan gerombolan gengnya. ''Deema ...'' sapa Avyan sambil melambaikan tangannya.
Deema hanya mengangguk untuk menjawab sapaan Avyan.
''Mau balik?''
''Iya.''
''Gak mau nongkrong dulu sama kita?''
''Enggak. Makasih,'' kata Deema yang langsung pergi dari sana. Semenjak kenal dan berpacaran dengan Aiden, Deema sudah tidak suka di sapa oleh laki-laki lain. Menurutnya agak risih.
Dari kejauhan, Deema bisa melihat Aiden yang tengah mengobrol dengan guru bimbingan konseling tadi, di depan mobilnya.
Lagi-lagi, mood Deema hancur hanya melihat hal seperti ini. Ah, ia sudah terlanjur berjalan melewati parkiran. Sudahlah, lebih baik ia lewati saja Aiden yang tengah mengobrol asik bersama dengan guru konseling itu.
Tanpa melirik Aiden, Deema terus berjalan sampai melewati keduanya. Tapi, baru saja terhitung lima langkah, Deema merasakan ada sebuah tangan yang menggenggam tangannya.
Sudah dipastikan jika itu adalah Aiden. Deema tidak memberontak di sini, ia hanya mengikuti kemana Aiden akan membawa dirinya.
''Mari, Bu.'' ucap Aiden sambil membukakan pintu mobil untuk Deema.
Deema bisa melihat dari sudut matanya, jika ibu itu sedikit menatapnya dengan rasa kesal. Deema pun menunjukan wajah sombongnya di hadapan ibu itu. Berani-beraninya ia menggoda Aiden.
Biarlah Deema tidak sopan dengan guru konselingnya sendiri, lagipun ia tidak kenal, dan tidak ingin tahu juga.
Aiden mulai melajukan mobilnya keluar dari sekolah. Rencana hari ini, mereka akan pergi ke kantor polisi untuk mengambil hasil dari penyelidikan kemarin, tentang kasus ayahnya.
Tepat di hari rabu kemarin, Deema memperingati 7 harian ayahnya yang digelar di sebuah pesantren yang ada di bawah naungan perusahaan Aiden.
Kemarin, Deema ditemani dengan Aiden, pergi untuk menghadiri pengajian tersebut. Dan hari ini ... Deema akan tahu apa yang terjadi, atau apa penyebab dari kasus kematian ayahnya ini.
Saat ini, Deema belum juga membuka suaranya. Biarlah, ia tidak ingin bertanya apa-apa kepada Aiden, karena ia sudah kesal.
Aiden masih saja belum mengerti, tentang Deema yang selalu cemburu dengan hal apapun itu. Apalagi ... Perihal tadi, tentang Aiden yang asyik mengobrol dengan guru konseling itu.
Saat ini, lebih baik Deema melihat ke arah jendela untuk melihat pemandangan yang ada di sekitar. Dari pada dirinya semakin kesal karena melihat Aiden yang belum juga bertanya kepada dirinya.
''Ekhem ... Ekhem ...'' Deema mengetes suaranya tanpa berbicara apapun.
''Kenapa, sayang?'' Aiden yang tahu kode itu, ia pun bertanya.
''Asik ya ngobrol sama bu guru cantik, '' sindir Deema tanpa melihat ke arah Aiden.
Deema akui, guru konseling yang mengobrol dengan Aiden tadi, memanglah sangat cantik. Badannya tidak terlalu tinggi, berjilbab, dan senyumnya yang manis, umurnya pun mungkin tidak jauh dari umur Deema.
''Kenapa?'' tanya Aiden yang masih belum mengerti.
''Tau, ah.'' jawab Deema.
''Loh ... Kok gitu? saya gak tau apa-apa loh, tiba-tiba kamu marah.''
''Lupain. Fokus aja nyetir.''
Aiden yang tidak ingin menambah masalah, ia pun menepikan mobilnya untuk bertanya dengan baik-baik kepada Deema.
''Kenapa? Jangan seperti ini. Kamu marah terus sama saya.'' ucap Aiden.
Deema yang mendengar nada suara Aiden yang tidak biasa, ia pun melihat ke arah Aiden. ''Loh, kok kamu yang marah? Harusnya aku dong yang marah.''
''Kamu kenapa marah terus? Apa masalahnya?'' tanya Aiden tanpa melihat ke arah Deema.
Deema menelan ludahnya. Kenapa Aiden bersikap seperti ini? Apa ia tidak tahu, jika Aiden sendiri yang salah di sini?
''Enggak apa-apa. Lupain.'' Jawab Deema, yang kini menyandarkan tubuhnya.
''Please, Deema ... Jangan seperti ini. Saya tidak tau apa mau kamu,'' kata Aiden penuh dengan penekanan.
Deema yang sejak berjam-jam lalu sudah kesal, kin emosinya semakin memuncak. ''Apasi, Mas! Harus banget di perpanjang?'' tanya Deema.
''Kamu yang mulai terlebih dahulu! Saya tidak mengerti kenapa kamu seperti ini.''
Deema rasa, hormonnya sedang tidak terkontrol saat ini, ia ingin sekali marah di depan Aiden. Tapi ... Deema lebih baik diam untuk mengakhirinya.
Ia memalingkan wajahnya, karena tidak ingin Aiden melihat air matanya yang mengalir begitu saja karena bentakan dari Aiden.
Jantungnya kini berdegup lebih kencang. Deema pikir, tidak biasanya Aiden seperti ini, tapi ... Mengapa hari ini Aiden sangat sensitif juga? Padahal, niat Deema tadi hanyalah ingin menyadarkan Aiden, jika Deema tidak suka melihat Aiden berdekatan dengan guru konseling itu.
Tapi ternyata ... Aiden malah meneriakinya kali ini.
''Oke ... Oke, saya minta maaf,'' ucap Aiden.
Kini Deema mulai merasakan mobilnya kembali berjalan. Aiden hanya meminta maaf tanpa menjelaskan semuanya, itu membuat hati Deema tidak enak.
...
Ini bukan perjalanan menuju rumahnya, mungkin perkataan Aiden yang akan mengajak Deema menuju kantor polisi hari ini, benar adanya.
Sepanjang perjalanan, mereka tidak bicara apa-apa lagi. Keheningan mengisi mereka, sampai akhirnya mereka sampai di kantor polisi.
Pikiran-pikiran negatif Deema sudah mengisi penuh kepalanya. Apa ... Deema terlalu mengekang Aiden, hingga Aiden seperti ini? Apa Deema terlalu posesif kepada Aiden, padahal Deema harusnya tahu jika Aiden adalah seorang guru, dan Aiden adalah seorang pria dewasa yang sudah memiliki dunianya sendiri. Mungkin Deema yang terlalu kekanak-kanakan di sini.
''Turun, kita masuk,'' ucap Aiden yang sudah terlebih dahulu keluar dari mobil.
Deema mengangguk, sebelum keluar dari mobil, Deema terlebih dahulu mengusap air matanya. ''Nangis mulu kek anak TK, Deema ...'' ingatnya untuk berkata kepada dirinya sendiri.
Deema pun memakai jaketnya, dan berjalan menyusul Aiden yang menunggunya di depan kantor polisi.
Deema hanya bisa menunduk sambil berjalan. Ia tidak bisa melihat ke arah wajah Aiden yang sangat dingin itu.
''Pak Aiden, silahkan masuk ke ruangan saya,'' ucap salah satu polisi.
Aiden mengangguk, Aiden merangkul Deema dan berjalan masuk ke dalam ruangan polisi itu.
''Silahkan duduk, Pak, Mbak,'' ucap Polisi tersebut.
''Sebelumnya, saya akan menjelaskan tentang cara apa yang kami lakukan untuk menemukan fakta dibalik semua kejadian yang tertimpa oleh almarhum pak Yoseph. ''
Deema memasang telinganya dan mendengarkan semua ucapan polisi tersebut, sambil membiarkan air matanya turun. Deema tidak tahu mengapa ia hari ini emosinya sangatlah tinggi.
''Kami sudah mengecek, telpon surel milik Mbak Deema, selaku anak korban. Dan kami mendapat sebuah alamat dari telpon surel itu. Tempatnya ada di luar kota, Pak Aiden, untuk lebih detailnya saya sudah membuat laporan dan mengirimkannya ke sekertaris Bapak,'' ucap polisi tersebut, agar Deema tidak tahu semua tentang kejadian itu, Aidenlah yang meminta polisi untuk menceritakan kejadian itu ala kadarnya saja.
''Kami mengirimkan beberapa personil ke sana. Dan ternyata tempat itu juga merupakan tempat yang sudah diincar oleh kepolisan, karena adanya laporan tentang transaksi jual beli sa-bu, dan obat-obatan terlarang lainnya.''
''Te--terus, Pak,'' ucap Deema yang mencoba menahan sekuat tenaga agar ia tidak mengeluarkan suara tangisnya.
''Tanggal tiga belas kemarin, kami berhasil menemukan beberapa pelaku yang ada di sana. Lalu kam mintai keterangan terkain meninggalnya korban.''
Deema mengangguk, hati dan telinganya sudah siap untuk mendengar semua hal yang terjadi dengan ayahnya. ''Korban, atas nama Yoseph, meninggal dengan cara di setrum, atau ia meninggal karena sebuah alat setrum yang bertegangan tinggi.'' polisi itu cukup ragu menjelaskan semuanya, karena melihat Deema yang sudah sibuk mengusap air matanya.
''Setelah saya minta keterangan pelaku, pelaku tidak merasa bersalah, karena korban sendiri memiliki hutang yang besar kepada pelaku.''
''A--ayah saya punya hutang apa, Pak?'' tanya Deema.
''Menurut pelaku, dan sudah kami periksa juga, korban meminjam uang sangat besar kepada pelaku, dan korban tidak mampu untuk mengembalikannya. Berakhirlah, korban menjadi b***k dari pelaku tersebut.
''B--bisa saya bertemu dengan pelakunya?'' tanya Deema memberanikan diri.
Aiden melihat kearah Deema dengan sangat terkejut. ''Hey? Ini bukan permainan. ''
''Siapa yang anggap ini permainan?'' tanya Deema yang tidak ingin kalah dengan Aiden.
''Maaf, tapi anda belum bisa bertemu dengan pelaku.''
''Sekali, sekali saja, Pak. saya ingin bertemu dengan pelaku itu.''
''Deema,'' ingat Aiden.
''Diem, Pak. Ini urusan saya,'' ucap Deema dengan wajah dinginnya.
''Maaf, mungkin anda bisa bertemu di persidangan nanti.''
''Baik, terimakasih, Pak. Terimakasih sudah menyelesaikan kasus ini.''
Deema membawa tasnya dan keluar dari kantor polisi. Ia hanua butuh air hujan saat ini, Deema butuh air untuk menenangkan kepalanya yang sudah berapi-api.
Deema tidak menghiraukan Aiden yang memanggil-manggil dirinya di belakang, Deema tidak peduli, ia hanya ingin menenangkan dirinya sendiri saat ini.
Ketika ada angkutan umum yang berhenti di hadapannya, Deema pun langsung menaiki angkutan umum itu. Ia tidak melihat Aiden mengejarnya. Sudahlah, Deema tidak usah memikirkan Aiden lagi. Ia juga butuh untuk tenangkan dirinya sendiri.
Mungkin Aiden sudah tidak peduli dengannya, karena ia terlalu menyusahkan hidup Aiden.
Dan saat ini, Deema tidak tahu harus kemana. Ia hanya ingin menenangkan dirinya, dan mendinginkan kepalanya.