85. Berjumpa

1824 Kata
Setelah turun dari angkutan umum, Deema berjalan tanpa tahu ia mau pergi kemana. Ia pernah mengunjugi daerah ini kurang lebih satu kali. Satu hal yang Deema ingat tentang daerah ini adalah taman bermain anak-anak yang ada di pinggir jalan. Deema yang masih memakai seragam SMA-nya baru teringat, jika ia salah menaiki jurusan angkutan umum, berakhirlah ia di sini. Untung saja Deema sedikit tahu tentang daerah ini. Deema berjalan untuk mencari dimana taman bermain anak-anak itu, setidaknya ia bisa menyendiri untuk menenangkan hati dan pikirannya. Dari kejauhan, Deema bisa melihat taman bermain itu, ia pun berjalan ke sana dan duduk di sebuah ayunan. Andai ia masih kecil seperti dahulu, mungkin hidupnya masih bahagia bersama kakek neneknya yang selalu mengikuti semua kemauan Deema. Tapi sekarang, bukan saatnya Deema untuk menyesal, ini saatnya Deema memulai kehidupan baru, apalagi sebentar lagi ia sudah lulus sekolah. ''Haha ... Gini banget hidup Lo, Deema ... Deema ...'' gumam Deema menertawai dirinya sendiri. Deema mendengar dering ponselnya bersuara, ia pun membuka ponselnya, ternyata ada satu panggilan suara tak terjawab dari Aiden, dan sebuah pesan. 'Hati-hati, saya harus ke kantor' Tak sadar, Deema menganggukkan kepalanya. Ia tidak membalas pesan itu, ia langsung mematikan ponselnya dan kembali ia simpan di dalam tasnya. Deema menatap kosong ke arah bunga-bunga yang sangat cantik di depannya. Pikirannya penuh dengan Aiden saat ini, ia masih tidak menyangka, dengan sikap Aiden yang selalu berubah-ubah. Kadang ia baik, penyabar, pemarah. Ah, mungkin salah Deema juga yang selalu mengekang Aiden, padahal tak semestinya ia bersikap seperti itu. ''Mas Aiden suka kebebasan, dan kenapa Gue harus ngekang dia?'' ''Mana ada sih orang yang sabar sama sikap Lo, Deema ...'' kembali Deema menyalahkan dirinya sendiri. ''Terlalu kekanak-kanakan. Atau ... Mas Aiden yang terlalu kaku. Ah, males banget Gue ngadepin kaya gini.'' Deema menarik-narik rambutnya, ia sangat kesal hari ini. ''Kakak cantik, rambutnya kok di tarik-tarik? Nanti sakit loh ....'' ''Hah?'' Ia membuka matanya, ada seorang anak kecil perempuan yang duduk di atas kursi roda dan sudah menghampirinya. Deema melihat ke arah sekitar, tidak ada orang lain selain dirinya di sini dan anak kecil ini. Deema bukan takut, hanya saja ia sedikit khawatir kepada anak kecil ini, kemana orang tuanya. ''Kakak kenapa? Temennya mana?'' tanya anak kecil itu dengan lucunya. Deema tersenyum dengan manis, ia memilih untuk berjongkok di depan kursi roda anak kecil itu. ''Kamu baru pulang sekolah?'' tanya Deema, ia melihat anak kecil itu masih memakai seragam sekolahnya yang berwarna ungu muda. Anak perempuan itu mengangguk. ''Iya, Kak.'' ''Nama kamu, Vany? Cantik ya namanya,'' kata Deema yang melihat name tag di baju anak bernama Vany itu. ''Iya, Kak. Nama aku Vany, nama kamu siapa?'' tanyanya sambil mengajak Deema bersalaman. ''Nama kakak Deema, panggil saja Kak Deema,'' ucap Deema sambil menerima jabatan tangan dari Vany. ''Kamu pulang sendiri? Rumah kamu dimana? Mau aku antar?'' tanya Deema. ''Aku di jemput abang.'' ''Abang kamu mana? Kenapa enggak sama abang?'' tanya Deema sambil melihat sekitarnya. ''Emm ... Itu abang aku,'' jawab Vany sambil menunjuk ke arah belakang Deema. ''Van--'' ''Deema!'' ''Avyan!'' Benarkah? Kakak dari Vany adalah Avyan? Ini tidak salah? Deema berdiri sambil melihat Avyan yang tengah membawa dua cone ice cream di kedua tangannya. ''Vany, Abang bilangkan tunggu di belakang Abang, kenapa sekarang pergi?'' tanya Avyan yang langsung berjongkong di hadapan Vany. ''A--avyan?'' tanya Deema sekali lagi untuk memastikan. Avyan melihat ke arah Deema. ''Lo kenapa ada di sini? Jauh banget mainnya,'' kata Avyan. ''A--eng ....'' Deema masih terkejut bisa bertemu dengan Avyan di sini. ''Kak Deema, ini Abang aku. Kalian udah kenal?'' tanya Vany. Avyan memberikan Vany satu ice cream. ''Di makan, nanti meleleh. Kak Deema teman di sekolah Abang.'' Avyan bangun, dan memberikan ice cream satunya lagi, untuk Deema. ''Ini, dimakan. Jangan diem aja.'' Avyan membawa Vany lebih dekat ke arah ayunan agar ia bisa berhadapan dengan Vany. Deema pun memilih untuk duduk di ayunan sebelah Avyan. Deema masih belum bisa membuka suaranya. ''Kenapa kamu bisa sampai sini?'' Deema mendengar Avyan tengah berbicara dengan Vany. ''Aku bilang mau ke taman, tapi Abang gak denger suara aku. Terus, aku liat kak Deema lagi tarik-tarik rambutnya, yauda aku samperin.'' Deema bisa melihat, Avyan mengusap kepala adiknya. Dibalik sikap Avyan yang keras dan slengean, ternyata ia memiliki jiwa kakak laki-laki yang sangat besar untuk adiknya. Deema baru tahu, Avyan sangat baik setelah melihat hal ini. ''Kak Deema, ice creamnya di makan, kaya aku.'' kata Vany yang mengingatkan Deema. ''A--ah iya, Vany.'' Deema mulai memakan ice creamnya. ''Lo sama siapa ke sini? Rumah Lo di sini?'' tanya Avyan. ''G--gue nyasar ke sini, dan Gue tau ada taman bermain di sini.'' ''Lo gimana bisa nyasar sih? Kalau ada orang yang culik terus rampok Lo gimana?'' Deema melirik ke arah Avyan, ia rasa ... Dulu, ketika mereka masih berpacaran, Deema belum pernah merasakan perhatian Avyan sedalam ini. Tapi ... Ketika mereka sudah menjadi mantan, kenapa Avyan sangat baik kepada Deema. ''Gue baik-baik aja. Buktinya Gue masih ada di sini.'' ''Btw ... Ini ice cream, Lo. Kenapa Gue makan?'' ''Lo makan aja.'' jawab Avyan. Deema pun mengangguk-angguk. ''Kak Deema, cantik.'' ucap Vany tiba-tiba. Deema pun tersenyum sambil mengusap rambut Vany. ''Vany juga cantik, lucu.'' Vany menggeleng. ''Aku gak cantik, soalnya aku gak bisa jalan. Terus mataku pakai kacamata.'' Deema melihat ke arah Avyan, untuk meminta pertolongan membantu menjawab ucapan Vany. ''Vany juga cantik. Vany-kan lagi berobat, nanti juga bisa cantik seperti Kak Deema.'' jawab Avyan. Deema menatap iba kepada Vany. Anak kecil yang masih berusia lima tahun itu harus duduk di kursi roda, dan memakai kacamata tebal. Deema teringat akan sesuatu yang ada di dalam tasnya. ''Avyan, tolong pegangin.'' kata Deema yang memberikan ice creamnya. ''Kak Deema punya sesuatu buat Vany. Vany bisa tutup mata?'' tanya Deema. Vany pun mengangguk dan menutup matanya. ''Jangan dulu di buka ya ... sebelum hitungan ke tiga.'' ''Apa ya, Kak? Aku gak sabar banget.'' ''Satu ... Dua ... Tiga ... Buka matanya.'' Vany membuka matanya, ia tersenyum di saat Deema mengeluarkan satu gantungan kunci berbentuk unicorn, dan satu set hiasan untuk rambut yang berwarna pink. Untung saja Deema teringat dengan benda yang ia beli semalam, ketika berjalan-jalan dengan Ratu ke toko aksesoris. ''Wah ... Bagus banget, Kak ....'' ''Ini, ada gantungan kunci, buat tas kamu. Sini, aku pakein ya di tas kamu.'' Vany mengangguk dengan antusias, ia pun memberikan ice creamnya kepada Avyan, untuk membuka tas gendongnya. ''Ini jangan di lepas ya, nanti aku marah,'' kata Deema dengan nada bercanda. ''Haha ... Iya, Kak Deema ... Enggak akan aku lepas kok.'' ''Nah ... Bagus. Terus aku punya beberapa jepit rambut di sini. Vany suka? Atau Vany sudah punya banyak di rumah?'' Vany menggeleng. ''Aku gak suka pakai seperti itu, karena aku gak cantik.'' ''Hem? Siapa yang bilang kalau Vany gak cantik? Nih, aku pakein ini, pasti Vany cantik banget. Tunggu sebentar ya ....'' Deema berdiri untuk memakaikan Vany jepitan rambut di beberapa bagian di kepalanya. ''Ya ampun ... Vany cantik banget, iyakan, Bang?'' tanya Deema sambil melihat ke arah Avyan. ''A--aiya ... Vany cantik banget pakai jepit rambut.'' ''Oh ya? Aku cantik?'' tanyanya. Deema mengangguk sambil mengangkat kedua jempol tangannya. ''Cantik banget.'' ''Bilang apa sama Kak Deema?'' tanya Avyan. ''Terimakasih banyak, Kak Deema ....'' ''Sama-sama Vany cantik.'' ''Ini, aku masukan ke dalam tas kamu ya. Nanti, kalau mau berangkat sekolah, minta pakaikan ini ke Bang Avyan ya.'' Vany pun mengangguk. Ia kembali memakai tasnya, dan memakan ice creamnya. Avyan tersenyum di saat Vany terus tersenyum seperti itu. ''Lo baik juga ternyata,'' kata Avyan sambil memberikan ice cream Deema. ''Haha ... Gue emang baik kali. Kalau orang yang ngeliat Gue, Gue jahat. Berarti mereka belum deket sama Gue.'' ''Kenapa gak dari dulu Lo baik.'' ''Ha? Ngapain, Gue baik kalau orang ngelakuin hal baik ke Gue. Ngapain Gue baik sama orang jahat?'' Avyan tersenyum. ''Nyesel sih Gue.'' ''Nyesel kenapa?'' tanya Deema sedikit salting, karena setelah dilihat-lihat, Avyan yang tidak menggunakan seragam sekolah, sangatlah tampan. ''Nyesel kita udah jadi mantan.'' ''Stress hahaha ... Apaan sih Lo,'' kata Deema. Avyan juga ikut sedikit tertawa. ''Dek, Kak Deema belum tau kalau suara kamu bagus ya?'' tanya Avyan. ''Oh ya? Suara Vany bagus?'' ''Aish ... Bang Avyan, aku tau malu,'' katanya sambil menutup wajahnya. Avyan dan Deema yang melihat itu tertawa. ''Kak Deema juga punya suara bagus, nanti kalau sudah besar, kamu bisa nyanyi berdua sama Kak Deema ya ...'' kata Avyan. ''Ah ... Aku udah kira, kalau Kakak cantik ini punya suara bagus.'' Deema mengusap tangan Vany. ''Makasih, Vany ....'' ''Rumah Lo di sekitaran sini?'' tanya Deema. Avyan mengangguk. ''Di perumahan belakang taman ini. Vany selalu pengen dijemput sama Gue. Katanya kalau dia pergi ke sekolah selalu ditanya sama temen-temennya mana kakak kamu yang ganteng itu.'' Deema tertawa mendengar cerita Avyan. ''Oh ya? Lo ganteng? '' ''Jelaslah ... Gue juga setara sama Pak Aiden.'' Wajah Deema langsung berubah menjadi murung. ''Apaan sih Lo.'' ''Lo anter Vany aja pulang.'' ''Kak Deema, main yuk ke rumah Vany. Aku bosen di rumah sendiri. Bang Avyan suka main game terus.'' Deema mengangkat alisnya untuk memintai penjelasan kepada Avyan. ''Di rumah gak ada siapa-siapa, cuma ada suster Vany aja. Bokap sama nyokap Gue kerja.'' ''Aah gitu. Vany pulang sekarang ya. Bobo siang, jangan lupa makan.'' Vany tidak menjawab ucapan Deema, ia melambaikan tangannya kepada Avyan untuk mendekat karena Vany ingin berbisik. Avyan pun mendekat dan mendengarkan bisikan dari Vany. ''Kenapa katanya?'' tanya Deema. ''Ajakin Lo ke rumah. Nanti dia punya sesuatu buat Lo.'' ''Vany pulang aja. Tidur siang ya.'' ''Kak Deema ikut ke rumah dong, kalian kan temenan, bisa main bareng juga. Aku enggak punya temen.'' ''Lo di sini gak ada kerjaan? Ke rumah Gue aja, nanti pulangnya Gue anter. Vany suka sedih sendiri kalau kemauannya gak di turutin.'' Deema sangat kasihan melihat Vany, ia pun tidak bisa menolak. Lagipun tidak ada salahnya, untuk bermain bersama Vany saat ini, karena ia butuh kegiatan lain untuk menenangkan pikirannya. Deema tersenyum dan mengangguk. ''Aku mau main sama Vany, tapi janji ya ... Jangan sedih-sedih lagi, okey?'' Vany mengangguk dengan sangat antusias. ''Siap, Kak.'' Avyan tersenyum. Ia mendorong kursi roda Vany dan mereka pun berjalan untuk pergi ke rumah Avyan yang tak jauh dari sini. ''Vany sekolahnya dimana Vyan?'' tanya Deema. ''Di situ, sebrang sana, ada taman kanak-kanak.'' ''Lo kenapa bisa nyasar sampai sini?'' tanya Avyan. ''Gue habis dari kantor polisi dan salah naik angkutan umum.'' ''Kantor polisi?'' tanya Avyan lagi. Deema mengangguk. Tidak ada salahnya juga ia untuk bercerita. ''Kasus kematian bokap Gue, seminggu yang lalu. Baru ada kabar hari ini.'' ''Ah, Gue baru ingat. Gue turut berduka cita, Deema.'' ''Hehe ... Iya. Terimakasih.'' ''Lo yang sabar ya. Gue gak mau tanya, takut menyinggung perasaan Lo.'' ''Bang Avyan, nanti sudsh sampai rumah, buatin Kak Deema dan aku, milk shake buatan Abang ya ...'' kata Vany. ''Ha?'' ''Avyan bisa bikin milk shake? ''Tanya Deema. ''Iya, Kak. Milk shake buatan Bang Avyan enak banget.'' ''Oalah, kalau gitu Kak Deema pesan tiga gelas milk shake.'' ''Ah! Aku juga pesan empat gelas milk shake ya, Bang ....'' Deema dan Vany sudah tertawa karena melihat Avyan yang terus menggelengkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN