86. Bermain bersama Vany

1559 Kata
Sesampainya di rumah Avyan, yang letaknya tak terlalu jauh dari taman tadi. Deema langsung di ajak Vany, adik dari Avyan untuk menemaninya bermain di lantai dua.  Ketika Deema masuk ke rumah Avyan, satu hal yang ia kagumi dari rumah ini adalah sangat-sangat mewah. Rumah yang di d******i oleh warna putih itu, terlihat nyaman di mata Deema.  Rumah Avyan lebih besar lima kali lipat di banding rumah-rumah lainnya. Bahkan, di belakang rumah Avyan, terdapat kolam renang luas dan taman bermain yang luas. Tapi, sayangnya rumah ini sangat-sangat sepi.  Ketika masuk tadi, Deema hanya di sambut oleh seorang suster, yakni suster yang merawat Vany sejak kecil.  ''Bang Avyan, buat milk shake aja sana. Aku mau main berdua sama Kak Deema ...'' ucap Vany yang mengusir Avyan.  Deema ingin tertawa karena melihat ekspresi Avyan yang terkejut. ''Kamu beneran usir Abang, Dek?'' tanyanya lagi.  Vany mengangguk dengan sangat lucu. Avyan pun berekspresi merajuk dan pergi dari sana. ''Nah loh, Abangnya marah,'' ucap Deema.  ''Abang enggak akan marah sama aku. Soalnya Abang sayang aku.''  Deema pun tersenyum dan mengangguk, lalu mengusap kepala Vany.  ''Suster, ayo kita ke atas,'' kata Vany.  Susternya itu mengangguk, mereka naik ke lantai dua menggunakan lift. ''Kak Deema, kenalin ini suster aku, namanya suster Iren.''  Suster yang bernama Iren itu menunduk sambil menyapa Deema. ''Hai, suster, aku Deema, temannya Avyan.'' ''Iya, Kak. Abangnya Vany, enggak pernah bawa cewek ke rumah, kakaknya pasti ....'' ucap suster Iren menggantung.  Deema yang mengerti maksudnya itu, ia pun langsung menyangkal. ''A--ah enggak kok, Sus. Aku cuma temen Avyan aja.'' ''Hehee, saya cuma tanya aja, Kak.'' ''Suster, Vany tau yang ajak Kak Deema ke rumah. Soalnya Kak Deema baik banget mau ngajak aku main. Kalau orang-orang gak mau main sama aku.'' ''Kata siapa orang-orang gak mau main sama kamu? Buktinya, Kak Deema mau kok main sama Vany ....'' Vany mengangguk. ''Makasih ya, udah mau main sama aku,'' kata Vany.  ''Iya, Vany cantik.'' Saat mereka keluar lift, lagi-lagi Deema terpesona dengan desain rumah di lantai dua ini. Mungkin, karena ini area Vany, di lantai dua ini di d******i oleh warna putih, biru, dan merah muda. Juga, banyak sekali hiasan-hiasan yang sangat indah untuk anak kecil.  Sayangnya, sepertinya Vany bosan karena terus diam di dalam rumah. Ia tidak bisa bermain karena keterbatasan yang ia punya.  ''Vany mau main di mana?'' tanya Suster Iren. ''Ganti baju dulu ya?'' lanjut susternya.  ''Enggak. Aku gak mau ganti baju. Kak Deema, mau main masak-masak sama aku gak?'' tanyanya.  ''Vany suka masak-masak? '' tanya Deema.  Vany mengangguk dengan antusias. ''Aku suka masak-masak.'' ''Oke deh, kita main masak-masak, tapi harus ganti baju seragam dulu ya ... Kakak bantu buat ganti, mau?'' tawar Deema.  ''Emm ... Oke deh.'' ''Ambil aja bajunya, Sus. Biar aku yang bantu.'' Suster itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar Vany. Deema yang sedang berdua bersama Vany, membantu anak kecil itu untuk membuka tas, dan sepatunya. Anak kecil seperti Vany, sudah memakai berbagai merk terkenal untuk di pakai di tubuhnya. Deema pun kalah. Pastinya barang-barang yang di pakai oleh Vany, bukanlah barang-barang murah.  Suster memberikan baju ganti untuk Vany. Sambil mengajak ngobrol Vany, dengan hati-hati Deema membantu Vany untuk mengganti bajunya. Bahkan di umurnya yang sudah tidak lagi balita, Vany masih menggunakan pampers. Deema merasa sangat iba.  ''Aku mau turun dari sini, Kak ...'' kata Vany.  Deema yang tidak tahu apa-apa pun bingung, karena suster Iren tengah pergi ke lantai bawah untuk mengambil stok obat Vany.  ''Sebentar ya, tunggu suster Iren dulu, nanti Kak Deema salah.'' ''Enggak, Kak ... Aku mau turun ....'' kata Vany sambil merengek.  Deema sedikit khawatir karena Vany sepertinya ingin menangis. ''Eh, jangan nangis ... Aku takut salah,'' Deema merasa serba-salah.  Tak lama, untung saja Avyan datang sambil membawa nampan di tangannya. ''Vyan ... Vany nangis pengen turun, Gue takut salah ...'' ucap Deema.  Avyan menyimpan nampannya. ''Enggak apa-apa kalau dia mau turun, dudukin aja di sofa.'' kata Avyan sambil menggendong Vany, dan mendudukkannya di atas sofa.  Tangis Vany pun sudah tidak terdengar. ''Maaf ya, Kakak gak tau, Vany ...'' ucap Deema yang merasa bersalah.  ''Enggak apa-apa, mood Vany memang seperti itu.'' ''Gimana dong, Gue ngerasa bersalah nih ...'' ucap Deema yang lagi-lagi tidak enak dengan Vany.  ''Vany, gak boleh gitu. Jangan nangis, Kak Deema minta maaf. Kalau gak berhenti nangis, nanti Kak Deema gak mau lagi main ke sini, mau?'' Suara tangis Vany pun reda. Ia mengangguk. ''Ayo main,'' ucap Vany yang langsung mengajak Deema bermain.  Deema pun merasa lega karena Vany tidak lagi menangis. Ia pun langsung mengajak Vany bermain.  ''Ini, katanya mau milk shake,'' kata Avyan sambil memberikan Deema dan Vany masing-masing satu gelas minuman yang berisi warna merah muda.  ''Rasa stroberi, Bang?'' tanya Vany yang menerima botol minumnya.  ''Iya. Vany-kan pesennya rasa stroberi.'' ''Di racunin gak nih minuman Gue?'' tanya Deema yang ragu untuk meminum minuman buatan Avyan.  ''Enggak kok, Kak. Ini enak banget,'' jawab Vany.  ''A-- iya, aku minum ya.'' Avyan pun menahan senyumnya. Deema mencicipi minuman yang di buat oleh Avyan. ''Em ... Enak banget, kok Lo bisa sih bikin kaya gini?'' tanya Deema yang terkejut dengan rasanya.  ''Tunggu aja, bentar lagi Lo kejang-kejang,'' kata Avyan.  ''Ish ... Avyan, gak asik banget bercandanya.'' ''Hahaha ... Ampun, ampun, enggak kok, enggak Gue kasih racun,'' ucap Avyan.  Deema berhenti memukul Avyan. Dan kembali meminum milk shake buatan Avyan yang sangat enak itu. ''Enakkan, Kak?'' tanya Vany.  ''Iya, enak banget.'' ''Bang Avyan, tau gak, aku pake baju sama siapa?'' tanya Vany kepada Avyan yang tengah duduk menghadap Vany.  ''Emm ... Suster Iren?'' tebak Avyan.  ''No ... Salah ... Kak Deema pakein aku baju. Bang Avyan, sini Deh,'' katanya yang menyuruh Avyan untuk mendekat kearah Vany, karena ia ingin berbisik.  Deema yang merasa kepo pun mendekat. ''Ngomongin apa sih, masa aku gak di ajak?''  ''Syut ... Bentar dulu, Kak Deema ... Ini rahasia aku sama Bang Avyan.'' Deema menahan tawanya dan mengangguk untuk mempersilahkan Vany berbisik dengan Avyan.  ''Bang Avyan, pacaran sama Kak Deema dong, biar aku ada temannya.''  ''Ha? Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...'' Deema yang tengah minum itu, mendengar suara bisikan Vany yang sangat keras, membuat Deema menjadi tersedak dengan minumannya.  Sedangkan Avyan di sana sudah tertawa dengan sangat puas. Dan Vany hanya melihat keduanya dengan bingung.  ''Dek, kalau mau bisik-bisik, pelan aja. Kak Deema jadi kaget, liat tuh ...'' kata Avyan.  ''Vyan, kasih tau dong, kok dia bisa tau pacaran sih?'' tanya Deema yang batuknya sudah mereda tapi wajahnya masih memerah.  Avyan pun mendekat ke arah Vany. ''Bang Avyan udah pernah pacaran sama Kak Deema ... Tapi sekarang udah enggak pacaran. Kita temenan aja. Bang Avyan temanan sama Kak Deema, tapi Kak Deema masih bisa main sama kamu, kan?''  Vany menatap Deema dan Avyan dengan sendu. ''Kok Bang Avyan gak ngasih tau kalau pacaran ... Kenap Vany gak di kasih tau ....'' Deema mengusap kepala Vany. ''Vany gak perlu tau. Vany harus belajar yang banyak, biar jadi apa .... Vany mau jadi apa kalau udah besar?'' tanya Deema untuk mengalihkan pembicaraan mereka.  ''Aku ... Mau jadi dokter, biar bisa sembuhin anak kecil yang kaya aku.'' ''Ya ampun ... Kamu baik banget, sayang ....'' Tak lama suster Iren datang sambil membawa makan siang Vany. ''Bang Avyan, Adiknya belum makan siang.'' katanya yang memberikan Avyan tempat makan Vany.  ''Hari ini, aku mau di suapin Kak Deema,'' kata Vany. Padahal Avyan belum berbicara apa-apa.  Deema mengambil alih tempat makan Vany. ''Sini, aku suapin ya ....''  Deema mulai menyuapi makan siang untuk Vany. Deema, Avyan dan Vany pun sambil bercerita dan tertawa bersama. Ada rasa sedikit menyesal di hati Deema, kenapa Avyan baru memberitahunya jika Avyan hidup seperti ini.  Jika di sekolah, Avyan terlihat seperti gangster. Tenyata sesampainya di rumah, peranan ia sudah beda lagi. Bahkan, Avyan tidak pernah main keluar rumah karena mengurus Vany.  ''Kok Lo gak pernah bilang kalau punya adik?'' tanya Deema membuka suaranya.  ''Kenapa Gue harus bilang? Gue masih bisa ngurusin Vany.'' ''Kalau Lo bilang waktu itu, Gue pasti bakal bantuin Lo jagain Vany setiap hari.'' Avyan tersenyum dengan miris, sambil melihat ke arah Vany yang tengah memainkan boneka barbie. ''Gue gak mau ngerepotin orang. Nyokap aja sibuk karena mungkin gak mau direpotin sama Vany.'' ''Memangnya ...'' tanya Deema yang tidak mengerti.  ''Gue sama Vany adik kandung. Mami Gue meninggal dua tahun yang lalu, waktu Vany masih umur tiga tahun. Dan bokap nikah lagi, dan dia terus kerja sama istrinya.'' ''Aa--avyan ... Bukan maksud Gue ....'' Avyan tersenyum. ''Enggak apa-apa, Deem. Gue seneng kok cerita ini sama Lo. Makasih ya udah mau main sama Vany.'' ''Vany ... Kapan-kapan mau main ke rumah Kak Deema, kita buat kue sama-sama ....'' Vany menatap Deema dengan berbinar, lalu ia kembali lesu. ''Kayanya aku gak bisa deh ... Mama gak ngasih izin kalau aku keluar rumah.'' Deema melihat Avyan untuk meminta jawaban. Dan Avyan mengangguk. ''Iya, Mama gak pernah bolehin dia keluar rumah.'' Deema pun mengangguk ngerti. ''Yauda, nanti aku titipin kue buat Vany ya? Mau?'' ''Mau banget. Makasih, Kak Deema ....'' Mereka pun kembali mengobrol. Sambil bermain boneka barbie, Deema menyuapi Vany memakan buah-buahan. Sampai tak terasa waktu sudah memasuki malam hari, dan Vany tertidur di pangkuan Deema, karena Deema sudah menceritakan buku cerita.  Avyan menggendong Vany untuk masuk ke dalam kamarnya, dan Deema bersiap-siap untuk pulang. Akhirnya, Deema bisa mengalihkan kegalauannya karena bertemu dengan Vany.  Tak lama Avyan keluar dari kamar Vany. ''Gue ke lantai tiga dulu, Lo tunggu di bawah, jangan kemana-mana, Gue antar Lo pulang. Kali ini enggak ada penolakan.''
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN