BAB 2

1428 Kata
Clarissa baru berumur delapan belas tahun saat kakaknya menikah. Sebuah pesta megah digelar, kedua mempelai mendapatkan sambutan dan sanjungan luar biasa dari para tamu. Clementine yang merupakan seorang presenter acara di sebuah stasiun televisi swasta, terkenal sebagai perempuan yang cantik dan lembut. Sedangkan suaminya juga sangat tampan dan berwibawa. Keduanya dinilai serasi satu sama lain dan terlihat jelas saling mencintai. Di hari pernikahan, siapa sangka saat acara melembar buket bunga, Clarissa yang mendapatkannya. Padahal saat itu ia hanya iseng mengangkat tangan dan benda itu jatuh begitu saja ke dalam gengaman. “Clarissa, jangan bilang kamu mau nikah buru-buru?” “Clarissa, masih kecil lo. Kuliah dulu yang benar dari kawin.” Clarissa merasa sebal mendengar celoteh orang-orang yang menurutnya kelewat batas. Ia ingin mengelak, mengatakan pada orang-orang itu kalau dirinya tidak pernah tertarik dengan pernikahan. Namun sadar sekarang hari bahagia sang kakak tercinta. Lebih baik untuk tidak menodai dengan pertengkaran. Dengan wajah merengut ia duduk di kursi samping pengantin. “Kamu dapat bunga, harusnya senang tapi kenapa wajahmu muram begitu?” tegur Dante pada adik iparnya yang mencebik. Wajah Clementine dan Clarissa yang terpaut umur empat tahun sangat mirip satu sama lain. Yang sedikit membedakan adalah rambut Clementine hitam pekat sedangkan Clarissa sedikit kecoklatan. Meski begitu dari bentuk wajah hingga tinggi badan semuanya mirip, bagai pinang dibelah dua. “Banyak yang mau dapatin buket bunga itu.” Clarissa mendesah dramatis, menatap buket bunga di tangannya. “Heran, padahal cuma bunga tapi napa pada berebut?” “Bukan bunganya yang spesial tapi momennya,” jawab Clementine. Mengusap lembut wajah adiknya yang mencebik tapi tetap terlihat cantik. Dengan gaun warna merah muda lembut, Clarissa terlihat sangat rupawan. “Kamu nggak mikir gitu karena sibuk kuliah dan kerja. Kalau orang—orang yang ngincar buket rata-rata sudah usia dewasa dan berharap pernikahan.” “Hah! Tetap aja nggak masuk akal. Gimana bisa mengharap pernikahan dari buket bunga? Orang- orang aneh!” Clementine bertukar pandang dengan Dante. Merasa tidak berdaya mendengar perkataan Clarissa. Saat ini adiknya memang masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Di usia ke delapan belas bahkan tidak pernah terdengar suara kalau Clarissa sedang naksir seorang cowok. “Clarissa kerja di mana?” tanya Dante pada istrinya. “Awalnya magang di stasiun televisiku, eh, ada produser acara lihat dia. Katanya cantik, tinggi, langsing, dan wajahnya tirus. Sekarang diangkat jadi figuran di beberapa acara dan mulai ikut pemotretan produk tapi bukan brand terkenal. Setidaknya nggak sekarang, aku yakin Clarissa akan menjadi bintang besar.” “Hebaat! Semoga perkataan istriku menjadi kenyataan. Clarissa, kamu akan jadi bintang besar.” Di hari itu, Clarissa tidak pernah terpikir untuk menjadi bintang hiburan profesional. Cita-citanya adalah menjadi presenter politik karena itulah ia kuliah di ilmu politik dan hukum. Ingin tampil di acara-acara besar, berbincang dengan para politisi, akademisi, dan orang-orang terkenal yang rata-rata berkecimpung di pemerintahaan. Namun, cita-citanya harus kandas saat terjadi sesuatu yang besar dalam keluarganya. Clementine yang langsung hamil setelah menikah, ternyata mendapatkan musibah. Saat melahirkan kondisinya memburuk. Clarissa rela cuti kuliah untuk merawat keponakannya yang masih bayi sekaligus menjaga kakaknya yang sedang sakit. “Kevin sangat nyaman sama kamu, Clarissa. Kamu masih muda tapi bisa ngasuh bayi dengan telaten.” “Semua karena Kak Clementine yang mengajari. Kevin sangat sehat dan menggemaskan. Kakak harus cepat pulih, biar kita bisa jalan-jalan keluar bertiga.” “Terima kasih, Clarissa. Kamu membantu meringankan bebanku.” “Kakak bicara apa, sih? Yang terpenting sehat dulu. Papa dan Mama udah tua, nggak bisa banyak bantu. Lagi pula bisnis Papa sedang ada masalah dengan Paman. Maklumi kalau kurang perhatian, ya, Kak.” Clementine tersenyum lemah, menatap adiknya yang sedang menyusui bayi di pangkuan. Saudara yang sangat berharga untuk dimiliki dan Clementine sangat bersyukur karenanya. “Seandainya aku mati, aku bahagia melahirkan anak yang menggemaskan seperti Elioano, punya suami yang baik seperti Dante, dan punya adik sempurna seperti kamu.” “Kak, berhenti bicara ngawur. Banyak istirahat saja biar aku yang urus Kevin.” Di hari-hari itu Clarissa yang menjadi ibu dari Kevin. Menyusui, memandikan, dan menggendong. Dante juga bukan tipe suami egois. Pulang kerja yang dilakukan Dante tentu saja menemani dan merawat sang istri dari mulai membantu mandi, menyuapi makan Clementine, dan bercerita berdua tentang banyak hal. Di saat Clementine tidur digunakan Dante untuk mengasuh Kevin. Hubungan Dante dan Clarissa sangat baik dan akrab, layaknya saudara kandung. Setiap kali Dante membeli sesuatu bahkan hanya Clementine dan Kevin yang dibelikan tapi juga Clarissa. “Kalau kamu terlalu capek ngurus Elioano, biar aku sewa pengasuh buat bantu kamu.” Tawaran Dante ditolak Clarissa. “Nggak, Kak. Aku masih sanggup kok ngasuh bocah nakal ini dan menggemaskan ini.” Di sela-sela waktu mengurus Kevin, Clarissa harus ke kampus dan Dante yang mengantarnya. Orang tua Dante berada di luar negeri jadi tidak ada yang mendampingi. Sedangkan orang tua Clarissa sedang punya masalah dengan bisnisnya. Sang mama lebih banyak berada di samping papanya yang sakit-sakitan. Tertinggal hanya Clarissa dan Dante yang merawat Clementine serta Kevin. “Seumur kamu harusnya punya pacar dan bersenang-senang,” goda Dante saat mengantar Clarissa ke kampus dan mendapati banyak cowok mencoba menarik perhatian adik iparnya. “Malah terjebak buat jaga bayi.” Clarissa mengangkat bahu. “Cari cowok bukan prioritas, Kak. Lagi pula, aku ingin jadi presenter terkenal. Takut kalau punya pacar akan menghambat.” “Sahabat kamu itu, siapa namanya? Yang pakai kacamata?” “Milea?” “Iya, dia juga jurusan yang sama denganmu?” “Bukan, dia sastra Mandarin. Kami berteman dari SMU dan sampai sekarang masihjadi sahabat baik.” Hidup Clarissa memang sederhana seperti itu, tidak punya banyak teman dan jarang keluar untuk bergaul. Satu-satunya sahabat yang dipunya hanya Milea, si gadis mungil berkacamata yang sering datang ke rumah untuk menjenguk Clementine. Clarissa merasa beruntung punya sahabat setia seperti Milea. Takdir berkata lain, saat Kevin menginjak umur tujuh bulan, Clementine mengembuskan napas terakhir. Seluruh keluarga berduka dan Clarissa merasa satu tulangnya seolah ditarik lepas dari tubuhnya. Tangisan keras meluncur bukan hanya dari Clarissa tapi juga kedua orang tuanya yang telah kehilangan anak sulung. Kesehatan sang papa seketika menurun dan akhirnya ambruk. Satu bulan setelah kematian Clementine, Dante menyampaikan kabar buruk. Perusahaannya sedang ada masalah dan mau tidak mau, dia harus pergi ke luar negeri. Ke tempat di mana keluarganya berada. Tentu saja dengan membawa Kevin. Dengan berat hati Clarissa melepas keponakan semata wayangnya itu, karena Dante lebih punya hak untuk mengasuh dari pada dirinya. “Kami akan sering memberi kabar pada Clarissa, Papa, dan Mama. Kevin akan dijaga dengan baik oleh keluargaku,” janji Dante. Setelah kematian Clementine, kepergian Dante membawa Kevin adalah hal terberat yang dialami Clarissa. Ia melepas keberangkatan mereka dengan air mata bercucuran dan d**a sakit karena kehilangan. Setelah kehilangan satu tulang dari raga, kepergian keduanya seperti membuatnya lumpuh. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk itu. Dante adalah papa dari Kevin dan setelah Clementine meninggal maka hubungan keluarga dengan Clarissa pun terputus. Betapa menyedihkannya hidup bagi Clarissa saat itu, satu= per satu orang-orang yang dicintai dan disayangi pergi. Waktu berlalu dari semenjak perpisahan. Awalnya memang Dante sering memberi kabar. Belakangan mulai jarang karena kesibukan selain itu keluarga Clarissa juga diterpa banyak masalah dan membuat komunikasi terhambat. Clarissa kehilangan kesempatan untuk memantau perkembangan keponakannya. Paling menyakitkan adalah Clarissa kehilangan kontak dengan Dante karena ponselnya hilang. Banyak hal terjadi dalam hidupnya setelah itu dengan menyisakan banyak penyesalan dalam dirinya yang menyimpan kerinduan untuk keponakan tercinta. Berharap bisa bertemu lagi dengan Kevin, entah kapan akan terwujud. Harapan semakin pupus seiring berjalannya waktu dan akhirnya tiba masa yang tidak terduga. Pandangan Clarissa tertuju pada Dante yang tersenyum lebar padanya. Dadanya berdebar penuh harap dan kebahagiaan. Ia menunduk, menatap bocah yang memeluknya dengan mata berbinar. “Kevin?” pangilnya coba-coba. “Iya, Mama. Ini aku Kevin.” Clarissa terperangah dalam suka cita, melepas pelukan Kevin di pinggangnya lalu berlutut untuk memeluk dengan erat. Air mata kebahagiaan tumpah, hingga tidak peduli pada banyaknya wartawan yang mengerumuni. Sesil berdiri cemas lalu bertindak sigap untuk menghalau para wartawan. “Jangan difoto! Tolong, jangan ambil foto sembarangan!” Tidak ada yang peduli dengan perintah seorang asisten. Para wartawan dan masyarakat umum berlomba-lomba mengambil foto saat Clarissa memeluk Kevin. Momen langka yang tidak mudah mereka dapatkan di mana seorang superstar menangis di bandara bersama seorang anak yang tidak diketahui identitasnya. Dante yang menyadari siatusi memburuk, melakukan panggilan telepon. Tidak sampai sepuluh menit, lima orang berseragam hitam membubarkan para wartawan. Dante menghampiri Clarissa, mengambil kopernya dan membantunya berdiri. “Ayo, kita pulang!” Clarissa tanpa sadar mengikuti langkah Dante yang membimbingnya menuju mobil bersama Kevin dalam genggaman. Tidak peduli akan dibawa ke mana karena yang terpenting bisa bertemu lagi dengan keponakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN