bc

Jerat Cinta Mantan Kakak Ipar

book_age18+
204
IKUTI
3.1K
BACA
family
HE
age gap
friends to lovers
kickass heroine
boss
heir/heiress
sweet
bxg
city
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Saat Clementine meninggal, keluarganya terpuruk. Clarissa harus menggantikan peran yang tak seharusnya ia pikul: meninggalkan kuliah, banting tulang, dan masuk ke dunia hiburan demi menyambung hidup. Dari figuran tanpa nama hingga menjadi artis dan foto model terkenal, ia tumbuh di dunia yang gemerlap tapi sepi.

Namun satu hal tak pernah ia duga—pertemuan kembali dengan Dante, suami mendiang kakaknya, dan putra kecil mereka yang kini tumbuh tanpa sosok ibu.

Tujuh tahun telah mengubah banyak hal. Dante bukan lagi pria muda yang dulu ia kenal. Ia kini seorang ayah yang dewasa, matang, dan memikat... terlalu memikat, bahkan untuk Clarissa. Bersama Dante, hatinya kembali diaduk. Tapi bisakah ia benar-benar jatuh cinta pada pria yang pernah menjadi kakak iparnya? Atau cinta itu hanya bayang-bayang masa lalu yang tak tuntas?

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1
Suara bisikan orang-orang yang berada di lorong pesawat membuat Clarissa terdiam. Ia sudah memilih berada di kelas bisnis dengan harapan bisa melakukan perjalanan dengan tenang tanpa gangguan tapi tetap saja ada banyak mata menatap dan bibir berbisik. Itu karena dirinya sedang diterpa gosip tidak sedap. Clarissa mendesah dalam kursinya. Sebentar lagi pesawat landing tapi hatinya tidak juga tenang. Selama dua Minggu di Milan, disibukkan dengan beragam pekerjaan tetap saja pikirannya tidak menentu. Media sosial miliknya dibanjiri komentar buruk dari nitizen. Clarissa tidak tahu dari mana semua gosip buruk ini berawal. Tentang dirinya yang dituduh sebagai penyebab keretakan rumah tangga seorang jutawan sekaligus politikus terkenal. Pernikahan yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun dianggap kandas dan semua karena Clarissa. Hal yang tidak masuk akal sedang terjadi dan Clarissa bingung mengatasinya. Manajernya memintanya pulang dengan kelas bisnis, keluar melalui jalan khusus, nyatanya Clarissa bukan pejabat dan tidak punya kekuasaan untuk melakukan itu. Meskipun dirinya seorang bintang yang terkenal, tetap tidak ada perlakuan istimewa itu. “Aku sudah mengatur agar kamu lewat jalan samping. Clarissa, jangan macam-macam, keluar dari bandara dengan cepat dan lari kalau bertemu wartawan.” Pesan dari Arfan si manajer baru saja diterima saat pesawat landing. Mau tidak mau Clarissa harus mengikuti arahan Arfan dan berharap rencananya berhasil dijalankan. Ia bergegas melepas sabuk pengaman dan membuka selimut yang menutupi tubuh. “Selamat siang, Kak Clarissa. Biar saya bantu ambil barangnya.” Seorang pramugara muda tersenyum padanya. Dengan cekatan membantu Clarissa menurunkan koper. “Terima kasih,” ucap Clarissa. “Sama-sama, Kak. Boleh minta fotonya?” “Oh, boleh. Ayo, sini.” Bukan hanya pramugara itu yang meminta foto dengannya tapi beberapa pramugari meminta hal yang sama. Clarissa sama sekali tidak merasa terganggu asalkan mereka meminta dengan sopan. Ia keluar lebih dulu dan berdiri di sudut lorong untuk menunggu asistennya yang naik kelas ekonomi. Manajernya memang sangat pelit, untuk naik pesawat saja dibedakan antara dirinya dan asisten. Clarissa berdiri dengan gaun hitam selutut dan sepatu hak tinggi hitam. Ada koper besar di sampingnya. Bentuk gaun yang sederhana dengan bahan mengkilat membuat sosok terlihat bercahaya. Selain itu ditunjang dengan rambutnya yang kemerahan dan kacamata hitam bertengger di telinga. Aura mahal, anggun, dan berkelas menguar dari dalam dirinya. Banyak penumpang pesawat yang melewati tapi enggan untuk menegur. Clarissa sendiri memilih untuk berdiri membelakangi jalan dan menatap pemandangan di luar melalui dinding kaca. Terdengar suara kikik tawa dari ujung lorong, Clarissa tidak tertarik untuk tahu siapa mereka sampai beberapa orang berdiri tepat di hadapannya. Tiga perempuan setengah baya dengan setelan gaya dan bermerek. Masing-masing orang memakai berlian dengan tas kulit mewah di tangan. Ketiganya menatap Clarissa dari atas ke bawah dengan senyum mengejek. Satu perempuan memakai celana dan blazer kuning terlihat yang paling tua. Dengan tubuh padat tapi tidak bisa dibilang gemuk. Bentuk wajah bulat dengan kulit bersih yang menandakan perawatan. Perempuan itu berucap kasar pada Clarissa. “Waktu di pesawat tadi aku sudah ingin menegurmu tapi aku urungkan karena nggak mau bikin masalah di dalam. Siapa sangka kamu di sini dan menunggu kami. Hei, Jalang! Puas kamu udah ngerusak rumah tangga orang?” Clarissa mendesah, tidak mengenal siapa orang-orang ini tapi mendapatkan intimidasi. Ia melirik bagian belakang, berharap agar asistennya cepat muncul. “Kamu dengar nggak yang dibilang Jeng Nungki? Kami ini temannya Jeng Maya, orang yang patah hati dan menderita gara-gara kamu!” Kali ini yang bicara adalah perempuan dengan setelan cokelat. Bertubuh agak tambun dengan lipatan lemak terlihat jelas di pinggang. Perempuan itu bicara dengan nada tinggi yang membuat pekak telinga. Perempuan ketiga lebih muda dari dua lainnya dengan tubuh kurus dan rambut yang ditata sangat rapi. Memakai setelan hitam dengan anting berlian besar membuat silau pandangan. “Jeng Maya terlalu baik sama kamu. Udah tahu suaminya direbut tetap nggak mau laporin kamu ke polisi. Kalau kami yang mengalami, udah kami cincang-cincang badan kamu sampai hancur!” Saat perempuan yang ketiga ingin bicara, Clarissa buru-buru mengangkat tangan. “Ibu-ibu, kalau mau marah ada baiknya kita cari tempat yang tenang. Jangan di sini, ya. Ada banyak penumpang yang mau keluar. Malu kalau sampai direkam oleh mereka.” Saran dari Clarissa tidak menghentikan caci maki mereka, justru semakin keras dan beringas. Clarissa yang kuatir, bergerak perlahan menjauhi lorong yang ramai. Langkahnya tanpa sadar diikuti oleh ketiga perempuan itu dan membuat Clarissa tersudut di dekat dinding. Ujung matanya berusaha mencari sosok asistennya yang tidak kunjung muncul, padahal para penumpang sudah mulai menipis. Kemana perginya si Sesil itu? Semestinya sudah muncul sekarang. Bagaimana bisa dirinya dibiarkan sendirian menghadapi tiga perempuan yang sedang mengamuk dan seakan ingin menelannya hidup-hidup. “Perempuan gatal! Kamu masih muda dan terkenal tapi maunya sama suami orang! Apa karena Pak Hamish kaya raya?” “Oh, jelas itu. Perempuan kayak gini ngakunya doang terkenal. Padahal, mah, nggak punya uang!” “Uang bisa dicari, yang dia nggak punya itu harga diri!” Clarissa menghela napas panjang, mulai kehabisan rasa sabar. Ia tidak mengenal tiga perempuan ini tapi mulut mereka begitu lancang memakinya. Rupanya dipengaruhi oleh gosip kalau dirinya merusak pernikahan Hamish. Padahal bukan begitu kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Ia malas untuk menjelaskan dan berharap secepatnya pergi dari sini. “Sesssiiillll! Di mana kamuu?” teriak Clarissa tanpa sadar. Clarissa memencet tombol ponsel sambil celingak-celinguk tapi tidak ada tanda-tanda kemunculan asistennya sedangkan makian tiga perempuan tidak dikenal makin menjadi-jadi. “Heh, apa kamu dengar omongan kami? Kalau kamu nggak sadarjuga, berarti memang sifatmu paraah!” bentak perempuan dengan setelan hitam. “Memang parah dia. Merasa masih muda dan merasa cantik kali? Padahal, mah, kita semua tahu kalau dia cantik karena oplas!” Perkataan perempuan dengan setelan cokelat membuat harga diri Clarissa tersentil. Tersinggung karena dikatakan operasi plastik. Ia mengangkat dagu, menatap ketiga perempuan bergantian lalu mencubit-cubit pipinya. “Sorry, nih, maaf-maaf aja tapi kulitku asli. Sama sekali nggak pernah operasi plastik. Asli loh kulit akuu!” Bagi Clarissa tidak masalah dirinya dihina seperti apa pun, tapi tidak dengan kulit dan wajah. Bagaimana bisa wajah secantik dan semulus dirinya dikatakan hasil operasi plastik? Hanya orang-orang yang iri saja yang mengatakan hal itu. Tiga perempuan di depannya melotot sambil berkacak pinggang dan Clarissa yang terlanjur marah tidak berniat mundur. Ketiganya harus tahu kalau dirinya bukan perempuan yang mudah diintimidasi. “Tolong bilang sama teman kalian, Jeng Maya kalau aku nggak berminat sama suaminya. Pak Hamish aku memang kenal baik karena beberapa kali beliau jadi sponsor acaraku. Tapi, hanya sebatas kerja profesional. Mendadak ada gosip aku dengan Pak Hamish? Yang benar aja?” Clarissa tidak tahan untuk tidak memutar bola mata, Menumpahkan kekesalan pada tiga perempuan yang suka sekali ikut campur urusan orang lain. Saat dirinya berpikir untuk terbebas dari tiga perempuan ini, Sesil si asisten muncul. Membawa satu koper besar dan terbelalak melihat Clarissa dikerubuti tiga orang. “Kak, ada apa?” tanya Sesil. Clarissa menghela napas panjang lalu memberi aba-aba pada Sesil. “Larii!” Clarissa meraih Iengan Sesil dan mengajaknya lari menyusuri lorong. Tiga perempuan itu berusaha mengejar mereka. Tiba di ujung lorong, Clarissa melihat dua petugas kebersihan sedang mengepel. Ia melewati ember berisi air dan sengaja menyenggolnya hingga tumpah. Langkah tiga perempuan tertahan tapi makian mereka masih terdengar. “Kak, kamu bikin masalah apa Iagi? Kenapa ada ibu-ibu ngejar kamu?” tanya Sesil sambil terengah. “Itu semua karena kamu. Kenapa lama baru muncul dan bikin aku terkena masalah.” “Ada masalah dengan koper, entah siapa yang ngebuka makanya tadi aku rapiin dulu barang di dalam yang jatuh. Pak Arfan nyuruh kita lewat samping, Kak!” Keduanya berjalan cepat melewati lantai mengkilat dengan banyak orang berlalu lalang. Setelah pengecekan paspor oleh petugas imigrasi, Sesil mengatakan harus mengambil barang di bagasi. Clarissa yang panik hanya mengangguk dan menunggu hingga Sesil mendapatkan koper-kopernya. Setelah itu keduanya melintasi lobi bandara yang luas dan ramai menuju pintu samping. “Semoga tiga perempuan tadi nggak ngejar kita. Apes amat ketemu sama ibu-ibu dari entah berantah dan mendadak memakiku.” “Salahmu apa, Kak?” tanya Sesil heran. “Nggak tahu. Kayaknya mereka baca gosip dan jadi, aduuh, sial!” Clarissa menjeritkan makian saat di ujung pintu melihat segerombolan wartawan menunggu. Saat melihat kemunculan Clarissa, para wartawan menunjuk dengan heboh. “Itu Clarissaaa!” “Clarissa sudah datang!” Clarissa membalikkan tubuh dengan gugup. Saat ini sedang tidak ingin diwawancarai oleh media massa mana pun. Ia melangkah dengan panik ke arah pintu lain. Dalam kebingungan terpisah oleh Sesil. Clarissa yang melangkah sembarangan tanpa sadar menabrak seorang anak. “Ups, maafkan aku nggak sengaja, Sayang.” Bocah laki-laki berumur tujuh tahun mendongak dengan kedua lengan memeluk paha Clarissa. Mata bocah itu bercahaya dengan binar bahagia. Clarissa terdiam karena shock hingga tidak menyadari teriakan bocah yang sedang memeluknya. “Mamaa! Akhirnya aku bisa lihat Mama. Kenapa Mama nggak datang-datang? Kenapa Mama perginya lama dan nggak pulang? Papa lagi nunggu Mama!” Clarissa terperangah bingung. “Nak, kamu siapa?” “Aku Kevin, Mama. Masa Mama lupa?” Otak Clarissa mencerna perlahan nama Kevin yang sepertinya pernah didengarnya di suatu tempat. Ingatannya belum pulih kala mendengar teguran dari suara yang dalam dan maskulin. “Kevin, jangan membuat Mama bingung, Sayang. Sini, sama papa dulu.” Clarissa mengangkat wajah ke arah datangnya suara. Laki-laki tinggi, berkulit putih dengan mata tajam dan memakai jas hitam berdiri tidak jauh darinya. Mata laki-laki itu tidak sepenuhnya hitam melainkan kecoklatan dengan dagu terbelah. Tersenyum lebar pada Clarissa yang terdiam. “Clarissa, apa kabarmu?” Lampu blitz menerangi Clarissa yang sedang dipeluk anak laki-laki, berdiri bingung menatap orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Tidak ada kata yang keluar selain satu nama yang berembus lirih dari bibirnya. “Kak Dante.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
127.8K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
14.9K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
179.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
229.5K
bc

Ibu Susu Anak Dosen Duda

read
4.2K
bc

Diam-diam Suami Temanku Menyimpan Rasa

read
1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook