Kantor agency artis The Star Entertaiment geger oleh berita yang baru saja beredar. Bintang kesayangan agency, Clarissa Sanders diketahui publik sedang memeluk seorang anak Iaki-laki yang memanggil dengan sebutan nama. Tidak diketahui siapa nama anak itu termasuk laki-laki tampan yang membawa Clarissa pergi. Anya, kepala manajer di agency mengamuk pada Sesil karena dinilai lalai dalam menjaga si artis.
“Bagaimana kamu biarkan Clarissa pergi tanpa pengawalan? Memangnya kamu kenal siapa laki-laki itu?”
Sesil menggeleng lemah. “Nggak kenal, Boss.”
“Nah, udah tahu nggak kenal. Masih juga bertindak bodoh! Aku heran sama kamu, Sesil! Kapan kamu bisa kerja dengan benar, hah? Lihat sekarang apa yang terjadi. Orang-orang bergunjing karena menganggap Clarissa punya anak. Sial!”
Telepon kantor agency tidak berhenti berdering, begitu pula ponsel Arfan. Semua menanyakan kebenaran tentang berita yang beredar. Arfan sendiri tidak tahu harus bagaimana karena kehilangan jejak Clarissa. Nomor pribadi Clarissa tidak bisa dihubungi, tidak ada yang tahu kemana perginya gadis itu dan kapan akan memberi kabar. Arfan mendesah frustrasi.
“Coba kamu ulang lagi cerita dari awal. Gimana bisa kamu terpisah dengan Clarissa?”
Sesil bercerita dengan gugup soal Clarissa yang dihadang tiga perempuan, berlari melintasi lobi bandara dan bertemu anak kecil yang memanggil mama. Arfan menghentikan cerita Sesil dengan satu pertanyaan.
“Mau apa ibu-ibu menghadang langkah Clarissa?”
“Untuk melabrak karena menganggap Clarissa merebut Hamish. Mereka itu teman dari istrinya Hamish.”
“Astagaa! Sibuk sekali hidup Clarissa. Pantas saja dia kabur. Tapi harusnya ngasih kabar, dong! Aku udah minta dia lewat pintu samping padahal.”
Arfan memijat kepalanya yang sakit. Belum selesai urusan gosip Clarissa dengan Hamish, kini ditambah dengan kedatangan anak laki-laki yang memanggil mama. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi media tanpa mengerti duduk masalahnya.
“Clarissa, kamu harus cepat menelepon. Kalau nggak akan runyam masalahnya,” gumam Arfan sambil menghenyakkan diri di sofa dan mengusir Sesil keluar ruangan.
Sebagai agency yang berdiri belum sampai sepuluh tahun, tempat ini bukan hanya kantor untuk mendapatkan kontrak bagi para bintang. Melainkan juga tempat di mana para artis baru meletakkan harapan mereka untuk karir yang cemerlang di masa depan. Arfan jatuh bangun mendirikan tempat ini, selain demi uang juga untuk dirinya dan Clarissa.
Dari awal melihat gadis itu di stasiun teve sebagai pekerja lepas, ia sudah melihat potensi yang besar dari dalam diri Clarissa dan ternyata penilaiannya tidak salah. Dalam waktu tujuh tahun semenjak menjadi anak asuhnya, Clarissa menjelma menjadi bintang besar. Aktris film, meskipun aktingnya tidak bisa dikatakan sangat bagus tapi cukup mumpuni. Foto model, presenter acara, serta masih banyak lagi dan membuat agency ini menjadi semakin berkembang. Clarissa bisa dikatakan adalah modal awal dan penemuan terbaik dari Arfan.
Banyak isu, gosip dan berita tidak sedap sering menerpa Clarissa bagi Arfan tidak masalah karena tahu persis sepak terjang anak asuhnya. Namun kali ini berbeda. Ia tidak tahu identitas laki-laki yang membawa Clarissa pergi dan kemana tujuannya. Berharap kalau Clarissa tetap aman. Saat ponselnya berdering, ia mengangkat dengan enggan.
“Hallo, Nyonya.”
Suara perempuan terdengar dari seberang telepon. “Kamu sudah lakukan apa yang aku minta?”
“Sudah, Nyonya. Bukankah Nyonya lihat sendiri berita yang beredar akhir-akhir ini?”
“Memang, tapi hasilnya belum maksimal untukku. Ingat, Arfan, aku investasi banyak uang ke perusahaanmu. Jangan sampai mengecewakanku.”
“Baik, Nyonya. Saya akan ingat selalu pesan, Anda.”
Suasana hati Arfan memburuk selesai menerima panggilan. Tidak tahu keberadaan Clarissa ditambah dengan ancaman yang baru diterima, Arfan merasa hari ini sedang sial.
***
Clarissa mengamati penthouse yang baru saja dimasukinya. Terdiri atas dua Iantai, ruangan dipenuhi oleh perabot mahal dan mewah. Lampu gantung besar berada di langit-langit ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah dan dapur. Tiga pelayan berseragam menyambut mereka dan membantu membawa koper.
“Mama, ayo, duduk, Ma. Kita main, yuk, Ma.”
Clarissa tersadar dari lamunan, duduk di sofa besar dan mengusap lembut rambut keponakannya yang lebat. Bertahun-tahun tidak bertemu, bayi mungil yang selalu digendongnya dulu kini menjelma menjadi bocah lucu dan menggemaskan.
“Kevin, ini bukan mama tapi aunty.” Clarissa menunjuk dirinya sendiri. “Manggilnya aunty, ya, Sayang. Bukan mama.”
Kevin menggeleng keras. “Nggak mau. Papa bilang kalau aku akan ketemu, Mama. Sekarang kita bertemu. Mama, Kevin sangat senang.”
Entah bagaimana menjelaskan pada Kevin kalau dirinya adalah bibi dan bukan ibu. Clarissa kehabisan kata saat Dante muncul. Laki-laki itu telah melepasjasnya dan kini memakai celana panjang abu-abu serta kemeja biru yang digulung sampai siku. Pandangannya tertuju pada Kevin yang mendekap Clarissa dengan erat.
“Clarissa, kamu pasti bingung kenapa Kevin manggil kamu mama?”
Clarissa mengangguk setelah sadar dari lamunan. Kehadiran Dante membuatnya terpukau. Mantan kakak iparnya itu memang dari dulu sangat tampan, tapi sekarang makin matang dan menawan. Clarissa mengingatkan diri sendiri kalau mereka masih keluarga.
“Kamu mungkin nggak sadar tapi wajahmu sangat mirip dengan Clementine. Kevin hanya melihat Clementine melalui foto, jadi nggak heran kalau dia menganggapmu sebagai mamanya. Karena kalian memang semirip itu.”
Clarissa tersenyum, mendekat Kevin erat di d**a. Rasa rindu dan terharu ingin ditumpahkan dalam pelukan hangat. Sekarang ia mengerti kalau Kevin merindukan sosok seorang ibu.
“Aku ngerti sekarang, Kak. Keponakanku yang tampan ini, boleh memanggilku apa saja terserah dia.”
Dante menghenyakkan diri di sofa, menatap anaknya yang bergelayutan di tubuh Clarissa. Kevin seolah tidak ingin membiarkan Clarissa lepas barang sekejap. Mengusap rambut panjang Clarissa, memeluk erat, memainkanjari yang lentik, Kevin seolah merasakan kalau mamanya hidup kembali.
“Clarissa, kamu mau makan malam bersama kami?”
Pertanyaan Dante membuat Clarissa sadar. Ia mengerjap bingung. “Eh, benar, aku belum makan dari pagi. Boleh, Kak.”
“Mau dipesankan apa? Steak atau masakan lokal?”
Clarissa menggeleng. “Lusa ada pemotretan. Aku nggak boleh kelihatan gemuk, nggak boleh juga jerawatan. Aku makan sebutir apel sama telur rebus cukup.”
Dante tercengang tapi tidak berkomentar. Menatap tubuh Clarissa yang begitu langsing sampai tidak melihat ada lemak berlebih di sana. Clarissa dulunya gadis yang imut dan menggemaskan, kini menjelma menjadi perempuan anggun, cantik, dan berkelas.
“Sayang, kamu mau makan apa?” tanya Dante pada Kevin. “Mau spageti?”
“Mau, Papa!” jawab Kevin antusias.
“Sebelum makan, Kevin mandi dulu. Sana, biar bibi bantu mandiin kamu. Ganti pakaian lalu makan.”
“Kevin belum mau mandi, Papa. Aku nggak kotor.”
Clarissa tersenyum melihat keponakannya yang seolah enggan berpisah dengannya. Ia mengusap wajah Kevin dan mengecup Iembut pipinya.
“Mama tetap di sini, nggak akan kemana-mana. Kevin mandi, ganti pakaian, dan kita makan bersama.”
“Mama beneran tetap di sini?” tanya Kevin penuh harap.
“Tentu saja, Sayang. Mama nggak akan kemana-mana.”
Seorang pelayan datang untuk menbawa Kevin ke kamar mandi. Clarissa memperbaiki duduknya, mengambil sebotol air dan membukanya. Sedikit mengernyit karena sulit dibuka. Dante mengambil botol dari tangannya, membuka tutup dan menyerahkannya kembali.
“Makasih, Kak.”
Dante mengamati bagaimana Clarissa minum dari botol tapi tetap terlihat anggun. Tidak ada air keluar dari mulut. Gaya bicaranya yang lembut tapi tegas masih seperti dulu, hanya saja penampilannya yang berubah menjadi begitu glamour. Tidak ada lagi gadis lugu, menggemaskan dengan penampilan sederhana seperti yang ada dalam ingatan Dante.
“Kapan kalian kembali, Kak?”
“Sudah empat bulan ini.”
“Selama itu? Kita baru ketemu?”
Dante mengangguk, menatap Clarissa yang terkejut. “Saat aku kembali, ada banyak pekerjaan yang dilakukan. Salah satunya adalah menyekolahkan Kevin agar bahasanya semakin lancar. Di luar negeri dia diajarkan bahasa Indonesia oleh orang tuaku danjuga ada guru khusus yang aku gaji. Selain itu aku harus menyelesaikan masalah di kantor. Aku sempat pulang sebelum ini dan membawa Kevin ke rumahmu tapi ternyata sudah ditempati orang lain dan mereka tidak tahu kemana perginya kalian.”
Clarissa mendesah lalu menunduk dengan wajah muram. Mengingat rumah masa kecilnya yang kini telah menjadi milik orang lain. Pantas saja Dante kembali dan ia tidak tahu, karena memang tidak pernah ada kesempatan bertemu.
“Papa terjerat utang, rumah dijual untuk pengobatan dan aku bekerja keras untuk membayar utang. Baru dua tahun lalu utang pokok lunas dan saat aku ingin membeli rumah itu kembali, pemiliknya sekarang nggak maujual, Kak.”
“Utang pokok?”
“Iya, ada lagi utang lain sama keluarga.”
Kali ini Dante yang terkejut mendengar cerita Clarissa. Seingatnya dulu mertuanya punya bisnis yang bagus dengan pendapatan yang stabil. Bagaimana mungkin bisa terjerat utang? Ia akan mencari tahu masalah ini secara perlahan tapi tidak sekarang.
“Kamu bekerja sangat keras pastinya demi mereka?”
Clarissa mengangguk. “Sangat keras. Mengambil job apa pun, yang penting hasilnya bagus. Papa stroke jadi masih butuh banyak biaya.”
“Kamu tinggal bersama mereka?”
“Nggak, aku punya apartemen, Kak. Sengaja terpisah karena nggak mau kehidupan mereka direcoki oleh fans atau media. Papa sedang sakit, takutnya makin parah kalau tertekan. Tahu sendiri gimana gilanya fans atau media kalau mengejar gosip.”
“Memang, di bandara tadijuga sudah terlihat. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini, cukup kaget karena melihat wajahmu di mana-mana. Di billboard, televisi, bahkan internet. Kevin nggak berhenti teriak setiap kali wajahmu muncul. Dia tanya terus, kapan bisa ketemu mamanya.”
Senyum Clarissa merekah sempurna saat mendengar perkataan Dante. “Anakku memang lucu, Kak. Ya ampun, aku ingat dulu dia secuil waktu aku gendong-gendong. Sekarang sudah besar.”
Dante tergelak. “Jangan salah. Dia juga bandel, hanya saja tertutup oleh sikap imutnya.”
Kevin muncul dalam keadaan segar dan sudah berganti pakaian. Dante sebelumnya sudah memesan spageti dan salad untuk Clarissa. Barangkali gadis itu berubah pikiran ingin makan yang lain. Ternyata dugaannya salah, Clarissa tetap makan satu apel dan satu telur rebus.
“Makan begitu saja emangnya kenyang?” tanyanya.
Clarissa mengangguk. “Sudah biasa, Kak.”
“Ya ampun, aku bisa pingsan kalau cuma makan segitu.”
Clarissa tertawa lirih karena kerap mendengar hal yang sama dari orang lain. Ia menyuapi Kevin yang tidak mau menghabiskan makanan. Membujuk akan membawanya jalan-jalan tapi permintaan anak itu membuatnya terkejut.
“Mama, bobo sama aku ya malam ini.”
“Eh, tapi—”
“Mama mau 'kan?”
Clarissa mengedip bingung, mengalihkan pandangan pada Dante dengan niat ingin meminta tolong. Jawaban Dante makin membuatnya tercengang.
“Clarissa, anakmu ingin ditemani tidur. Sebagai mama yang baik, sudah lama nggak ketemu, semestinya kamu kabulkan permintaan itu bukan?”
Apa-apaan ini? Clarissa bertanya dalam hati. Merasa terjebak saat melihat ayah dan anak bersorak untuk menahannya di rumah ini. Apa yang sebenarnya terjadi?