BAB 4

1455 Kata
Setelah mengambil keputusan untuk tidur di penthouse Dante. Hal pertama yang dilakukan Clarissa adalah mengisi daya ponselnya. Harus memberi kabar pada manajer, asisten, dan orang tuanya. Sesil yang semula bersamanya, terpisah saat dirinya mengikuti Dante. Ia yakin kalau Sesil kembali ke kantor dengan selamat. Dante memberi kamar tamu untuknya. Clarissa membuka koper, mencari gaun tidur dan pergi mandi. Hal yang membuat terkejut adalah semua produk kebersihan yang ada di dalam kamar mandi menggunakan dirinya sebagai model. Ada wajahnya di botol sabun, pembersih wajah, dan sampo. Clarissa tanpa sadar tertawa. Ternyata Dante memperhatikannya hingga detil kecil. Apakah karena Kevin? Itu hal yang pasti. Tidak mungkin Dante memberi perhatian khusus padanya bila bukan demi anak. Selesai mandi, Clarissa memakai skincare dan menyalakan ponsel. Sesuai dugaan, ada banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Terutama dari Nulur, Arfan, dan juga Milea. Clarissa menyelesaikan proses memakai skincare sebelum menelepon balik manajernya. “Ya, Pak Arfan.” “Dari mana saja kamu, Clarissaa?” Telinga Clarissa berdenging seketika saat mendengar teriakan Arfan. Ia menepuk-nepuk lubang telinganya. “Pak, bisa dipelankan suaranya? Napa juga teriak-teriak gitu?” “Gimana aku bisa pelan ngomong sama kamu, Clarissa? Kemana kamu seharian ini? Kenapa menghilang tanpa kabar? Hapemu mati dan juga, siapa anak sama bapak yang yang jemput kamu? Satu hal yang kamu tahu, sudah membuat keributan besar. Halaman penggemarmu heboh karena menduga-duga. Laki-Iaki mana yang berhasil mengajak pergi Clarissa? Belum selesai gosipmu dengan Hamish, ditimpa gosip yang lain. Clarissaaa, kamu membuat darahku mendidih!” Clarissa membiarkan Arfan menuntaskan amarahnya, setelah itu baru memberi penjelasan perlahan. Meskipun emosi manajernya meledak-ledak tapi sejujurnya sifat Arfan sangat baik. Memang suka panik saja kalau sehari tidak ada kabar soal Clarissa. Pak, aku baik-baik saja. Anak kecil yang aku gendong itu keponakanku.” “Keponakan dari mana?” “Loh, Pak Arfan lupa aku punya kakak? Itu anak mendiang Kak Clementine!” Hening sesaat, sepertinya Arfan berusaha mencerna informasi yang baru didengarnya. “Tunggu, anak itu anaknya Clementine?” “Iya, Pak. Bener banget. Aku juga baru ketemu di bandara setelah tujuh tahun lebih nggak ketemu.” “Laki-laki yang gandeng kamu itu—” “Mantan kakak iparku.” “Ya Tuhan, kenapa kamu nggak bilang dari tadi Clarissa. Kalau gini aku tenang jadinya. Heran, hal gede kayak gini kamu sengaja diemin?” “Siapa yang diemin, aku juga baru tahu kalau hape drop.” “Ya sudah kalau gitu. Ingat lusa ada pemotretan. Jangan sampai telat!” “Iya, Pak. Tolong kasih tahu Sesil biar dia nggak bingung, Pak.” Setelah memberi penjelasan pada Arfan, Clarissa merasa sedikit Iega. Hubungan Arfan dengan mendiang Clementine cukup baik. Arfan pula yang membantu Clementine mendapatkan pekerjaan di stasiun teve, alasan utama Clarissa mau kerja sama dengannya salah satunya karena itu. Ia mengerti jadi manusia harus tahu balas budi. Pintu diketuk perlahan dari luar, Clarissa menduga itu adalah Kevin dan tebakannya benar. Keponakannya itu berteriak riuh ingin ditemani mengerjakan peer. Clarissa menurutinya, datang ke kamar Kevin. Duduk di sampingnya dan mengawasinya mengerjakan peer. Memberitahu hal yang dirasa sulit untuk dikerjakan. Setelah peer selesai, Kevin yang baru saja kembali dari bepergian bersama papanya mulai mengantuk. “Ayo, bobo. Mama temani kamu.” Berbaring di ranjang dengan tangan Kevin memeluk tubuhnya, ingatan Clarissa kembali ke tahun-tahun dulu. Saat dirinya memeluk tubuh Kevin yang masih bayi. Perasaan hangat dan penuh haru merasukinya. Ia mengusap wajah Kevin dan mendekap erat di d**a. “Kaak, anakmu sudah besar dan tampan,” bisik Clarissa di udara yang sunyi. Berusaha menekan rasa sedih yang mendadak muncul. “Kamu pasti bangga di atas sana.” Ingatan Clarissa kembali ke masa lalu, saat Clarissa baru saja melahirkan. Dengan wajah pucat dan napas tersengal tapi tersenyum penuh bahagia pada Dante. “Sayang, anak kita sehat.” Dante memeluk Clementine dengan bahagia dan bayi diserahkan ke pelukan Clarissa. Ternyata, itu adalah senyum kebahagiaan Clementine untuk yang terakhir kalinya. Karena setelahnya kesehatan Clementine memburuk. “Apakah kamu meninggalkan anak untuk Kak Dante karena takut dia sedih saat kamu tinggal, Kak?” Clarissa terlelap dalam keadaan fisik lelah dan pikiran penuh. Hatinya diliputi kegembiraan serta keharuan yang bersilangan dan bergerak tidak menentu. Clarissa bahkan tidak bergerak saat pintu membuka dan Dante masuk. Berdiri di sisi ranjang, Dante merapikan selimut yang menutupi tubuh anaknya dan Clarissa. Jarinya terhenti di bahu Clarissa yang telanjang karena tali gaun tidurnya melorot. Dante mengaitkan jari di tali itu dan menaikkanya. Sesaat terpukau melihat pemandangan yang begitu indah di hadapannya. Anaknya tertidur lelap dalam pelukan Clarissa. “Clarissa, lama nggak ketemu. Siapa sangka sekarang kamu makin cantik dan anggun. Kamu pasti senang ketemu Kevin, karena aku juga senang ketemu kamu.” Dante mengusap pipi Clarissa yang lembut. Menikmati kehalusan di bawah jari-jarinya. Sesuatu menggelitiknya, tentang perasaan aneh seiring dengan sentuhannya di kulit putih dan lembut. “Apa kamu sudah punya pacar, Clarissa?” Dante merasa bodoh karena bertanya soal itu. Menghela napas panjang, ia meninggalkan sisi ranjang dan bergegas ke arah pintu. Tidak lupa mematikan lampu sebelum menutup pintu dari luar. Suara klik pintu tertutup membuat Clarissa terjaga tiba-tiba. Matanya nyalang menatap langit-langit dengan d**a berdebar keras. Ia menekan pipi yang baru saja diusap Dante sambil bergumam bingung. “Apa itu tadi? Kak Dante usap-usap pipiku?” Clarissa merasa wajahnya memanas. Ia memang sering bermain film dengan lawan main laki-laki. Meskipun mereka tampan tapi ia bekerja sangat profesional dan tidak pernah terjebak dalam hubungan pribadi dengan lawan main. Ia mengerti batas yang tidak boleh dilanggar. Karenanya setiap sentuhan atau kecupan tidak berdampak apa pun baginya. Ternyata hal yang sama tidak berlaku bagi Dante. Rasa terbakar dirasakannya di tempat Dante menyentuhnya. Clarissa menghela napas panjang. “Ya Tuhan, apa ini?” Clarissa memiringkan tubuh, memeluk Kevin lebih erat. Ingin meredakan dadanya yang berdebar keras. Beruntung esok hari tidak ada pekerjaan, karena sekarang matanya sulit dipejamkan. Clarissa memutuskan untuk mengirim pesan pada sahabatnya sambil menunggu rasa kantuk. “Menurut lo ada nggak orang yang naksir kakak iparnya sendiri pada sentuhan pertama?” Jawaban Milea datang tak lama. “Cuma orang bodoh yang naksir kakak ipar.” “Hah, napa?” “Gila, lo! Mau selingkuhin kakak sendiri? Orang gila mana yang begitu?” Clarissa terkikik membaca jawaban sahabatnya. Ia lupa memberitahu satu hal pada Milea. “Hari ini gue ketemu sama ponakan gue.” “Apaa? Ketemu Kevin? Di mana di sekarang? Apa kabarnya?” “Kevin tumbuh sehat dan pintar. Sekarang lagi bobo dalam pelukan gue.” “Ya Tuhan, Io pasti bahagia, Clarissa.” “Emang, tujuh tahun Iebih kehilangan dan sekarang mendadak ada dalam pelukan. Besok rencananya mau aku ajak ke rumah buat ketemu papa sama mama.” “Sukurlah, gue ikut senang. Eh, tunggu. Tadi lo bilang naksir kakak ipar? Jangan-jangan lo naksir Kak Dante? Kok bisa, siih?” “Udah, ah, gue tidur!” Clarissa sengaja tidak membalas pesan dari Milea karena merasa malu. Ia berusaha meyakinkan diri kalau tidak naksir Dante. Lagi pula, mana ada naksir hanya karena satu sentuhan di pipi? Lagi pula, siap yang tahu kalau Dante ternyata sudah punya kekasih? Itu bukan hal yang mustahil bukan? Dante yang sekarang sangat matang dan rupawan. Aura orang kaya menguar dari dalam dirinya. Dalam sekali Iihat orang-orang tahu betapa tajirnya dia. Clarissa sendiri sudah mengalami, naik mobil mewah dengan sopir dan bodyguard yang mengawal dan membantunya menghalau wartawan. Kalau bukan orang kaya atau minimal berkuasa tidak ada yang bisa melakukan itu. Clarissa mengingat kenangan lama saat Clementine mengatakan kalau Dante mempunyai bisnis property dan tambang. Berarti memang dari keluarga kaya. Rasa segan menghingapinya karena selebrity identik menempel dengan orang berduit. Orang-orang akan mengatakan dirinya matrealistis. Padahal Dante yang menyentuhnya pertama kali. “Gimana kalau sentuhannya hanya dari kakak ke adik? Gimana kalau ternyata Kak Dante sudah punya calon istri atau minimal pacar?” Clarissa mengeluh dalam hati karena lupa menanyakan soal itu pada Dante. Ia yakin mantan kakak iparnya belum menikah Iagi karena kalau sudah beristri tidak mungkin membiarkan perempuan lain tinggal di sini. “Kevin, Sayang. Kenapa mama jadi mikirin papamu, ya?” Clarissa berusaha untuk kembali terlelap dengan d**a berdebar keras tidak menentu. Tertidur satu jam kemudian dan bangun dengan bingung. Kevin sudah tidak ada di sampingnya. Ia bangkit perlahan dari ranjang, bergegas ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Mengikat rambut secara asal-asalan dengan karet gelang, ia menuju ke lantai bawah dan mendapati Dante sedang menonton televisi. Clarissa hendak menyapa tapi tayangan di berita membuatnya terpaku. “Foto model terkenal yang diduga selingkuhan dari pengusaha serta anggota DPR Hamish akan menghadapi tuntutan dari sang istri, Maya. Sang istri hari melaporan dugaan perselingkuhan suaminya dengan Clarissa Sanders. Tidak diketahui keberadaan Clarissa sekarang tapi pihak media menduga kalau sang foto model sedang bersembunyi.” Dante mendadak menoleh, menatap Clarissa lekat-Iekat tanpa kata. Berdiri diam dengan tubuh gemetar, Clarissa merasa mata Dante sedang mengadilinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN