“Clarissa, kenapa diam di sana? Sini duduk?” Clarissa mengerjap, berusaha mengendalikan rasa gemetar. “Kak, aku mau pulang.”
Dante mematikan teve lalu bangkit untuk menghampiri Clarissa. Tersenyum kecil dengan mata berbibar ramah.
“Bukannya kamu mau ajak aku dan Kevin ke rumah papa dan mama.”
Clarissa mengangguk. “Iya, sih, tapi—”
“Tapi kenapa? Kamu takut aku bertanya-tanya soal masalah pribadimu?”
Clarissa menggeleng cepat. “Nggak, Kak. Bukan begitu maksudku.”
Dante menghela napas panjang, jarinya terulur ke bahu Clarissa. Menarik tali yang turun ke lengan dan menaikkannya. Entah kenapa jarinya gatal ingin menyentuh Clarissa, padahal sudah mengingatkan diri sendiri untuk tidak melakukan hal bodoh yang akan menakuti mantan adik iparnya.
“Maksudmu apa, Clarissa? Coba kamu jelaskan kenapa mendadak ingin pulang?”
Clarissa menggigit bibir, merasa kulitnya meremang oleh sentuhan Dante di bahunya. Ia menatap laki-Iaki itu yang kini bergerak mendekat, memerangkapnya di antara tubuh yang kokoh dan wangi dengan meja panjang. Belum sempat punggungnya menabrak pinggiran meja Dante meraih pinggannya dan menahan dari benturan. Clarissa menahan napas menatap Dante lekat-Iekat. Tubuh mereka saling menempel dan sesuatu yang aneh menggeliat dari dalam dirinya.
“Kak, aku—”
“Kamu punya pacar, Clarissa?” Pertanyaan Dante sungguh di luar dugaan.
“Nggak ada, Kak.”
“Pernah pacaran lalu putus?”
Kali ini Clarissa mengangguk. “Pernah sekali.”
“Dengan anak konglomerat itu?”
Clarissa terperangah. “Ba—gaimana Kak Dante tahu?”
Dante mengusap lembut pinggang Clarissa, menahan tubuhnya untuk tidak menghimpit Iebih dekat. Dalam hati mengumpat karena isi pikirannya yang nakal dan hasrat panas yang mengalir dari sentuhan. Ia tidak ingin membuat Clarissa Iari ketakutan tapi sayangnya, tidak berhenti ingin menyentuh dan menghidu aroma wangi Iembut dari tubuh Clarissa.
“Tadi malam aku mencari tahu tentangmu. Semua informasi yang aku lewatkan selama beberapa tahun ini. Tentang bagaimana caramu memulai karir, hubungan asmaramu dan banyaknya skandal dalam hidupmu.”
Udara terasa panas menyelimuti mereka saat Dante mengusap sisi leher Clarissa yang telanjang.
“Aku tahu kalau skandalmu dengan pengusaha sekaligus anggota DPR itu palsu bukan?”
Clarissa mengangguk cepat. “Iya, Kak. Itu palsu karena aku baru beberapa kali saja bertemu Hamish itu. Dalam acara sosial dan Hamish menjadi sponsor acaraku. Tapi nggak ada pembicaraan khusus apa pun. Entah bagaimana muncul foto saat kami mengobrol berdua dilanjutkan dengan gosip dan meluas sampai ke istrinya.”
Dante tersenyum kecil, memiringkan kepala untuk mengagumi wajah cantik Clarissa. “Tenang saja, aku akan membantumu mengatasi Hamish dan istrinya.”
“Bagaimana caranya?”
“Aku punya cara, Clarissa. Kamu percaya saja padaku.”
Terdiam sesaat, Clarissa memilih untuk mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sedari dulu Dante memang baik, hangat, dan penyayang. Ia yakin kalau Dante akan banyak membantunya mengatasi masalah yang sulit dipecahkan contohnya dengan Hamish ini. Yang membuatnya tidak menyangka adalah Dante menawarkan bantuan secepat ini bahkan tanpa banyak bertanya-tanya. Apakah hal baik ini benar terjadi dalam hidupnya?
“Kalau kamu mau pulang sekarang, nggak apa-apa. Tinggalkan alamat papa dan mama, kita bertemu nanti di sana setelah aku jemput Kevin.”
“Iya, Kak. Aku pulang duluan saja, harus membeli sesuatu untuk Papa dan Mama.”
“Biar sopirku yang antar.”
“Nggak usah, aku naik taxi aja.”
“Jangan, bahaya kalau sampai ada fansmu lihat. Ganti pakaianmu, kalau mau sarapan, ya sarapan dulu biar aku siapkan sopir.” Clarissa tidak membantah, membiarkan Dante mengurusnya. Ia mengganti pakaian, memakai make-up tipis sebelum keluar dari kamar. Dante meminta nomor ponselnya dan Clarissa menyebutkan angka-angka.
“Sampai ketemu nanti di rumah, Clarissa.”
“Daah, Kak!”
Clarissa meninggalkan penthouse melalui lift khusus bersama seorang sopir. Turun langsung ke ruang bawah tanah di mana mobil sudah menunggu. Ia tidak habis pikir berapa banyak kekayaan Dante karena kemewahan yang dirasakannya sungguh luar biasa. Penthouse super besar dengan dua lantai dan terletak di tengah kota sudah pasti bukan tempat tinggal yang murah. Belum lagi mobil yang sekarang mengantarnya. Clarissa tidak ingin banyak berpikir tentang harta orang Iain.
Sopir mengantarnya sampai pagar, setelah mengucapkan terima kasih Clarissa mengetuk pintu rumah berpagar hitam sebahu. Meskipun terletak di dalam komplek tapi bukan perumahan mewah. Bagi Clarissa yang terpenting papa dan mamanya bisa hidup nyaman dan damai di lingkungan ini.
“Clarissa, kamu datang Iagi. Emangnya nggak sibuk?”
Seorang perempuan berumur enam puluhan membuka pintu. Perempuan itu berambut putih dengan kulit keriput. Terlihat Iebih tua dari umurnya. Lidya yang hidupnya akhir-akhir ini terjerat banyak masalah, menua dengan Iebih cepat tanpa disadarinya. Meski begitu garis-garis kecantikan dalam dirinya masih terlihat meski samar.
“Nggak, Ma. Besok aku baru kerja. Mau ngasih uang buat Mama belanja.”
Lidya menerima uang dari anaknya dengan tangan gemetar. Ingin menolak tapi dirinya membutuhkan uang ini. Ia mengerti kalau anaknya bekerja sangat keras untuk membiayai hidupnya dan sudah semestinya sebagai orang tua sadar diri untuk tidak merepotkan. Sayangnya ia dalam posisi memang harus selalu merepotkan anaknya.
“Masuklah, papamu sedang nonton teve.”
Clarissa menatap sang mama dengan kuatir. “Mama tahu bukan masalah pekerjaanku. Jangan sampai Papa nonton infotaimen, Ma.”
Lidya menepuk-nepuk telapak tangan anaknya. “Jangan kuatir. Papamu hanya nonton bola dan film-film saja.”
“Syukurlah kalau gitu. Mama udah siapin manisan belum? Kak Dante nanti siang akan datang bersama Kevin.”
Wajah tua Lidya menjadi cerah seketika. “Aduh, mama senang mau ketemu cucu. Manisan udah mama buat, nanti Kevin datang bisa langsung makan.”
Melewati ruang tamu yang sempit, Clarissa melangkah ke ruang tengah dan menjumpai papanya sedang duduk di kursi roda. Ia menggaji perawat yang bergantian menjaga sang papa dan sepertinya saat ini perawat itu tidak kelihatan.
“Suster kemana, Ma?”
“Lagi ke minimarket, beli popok papamu.”
“Oh, iya.” Clarissa mendekati sang papa, menunduk untuk bicara dengan lembut. “Papa, aku pulang.”
Jonas Sanders dulunya laki-Iaki kuat dan gagah. Dihantam banyak masalah membuatnya menjadi Iemah dan akhirnya menyerah pada penyakitnya. Mengangkat wajah tersenyum pada anak bungsungnya.
“Su—dah ma—kan?” tanya terbata. Bibirnya mencong sebelah dengan ucapan yang tidak jelas keluar dari mulutnya.
“Belum makan, Pa. Ini mau bikin sarapan.”
Sebenarnya Clarissa belum sarapan apa pun dan perutnya lapar. Di rumah Dante ia tidak sarapan karena belum waktunya untuk makan. Ia berniat ke dapur untuk merebus telur atau mencari buah di dalam kulkas. Duduk di samping sang papa sambil makan adalah hal menyenangkan. Clarissa menemukan satu butir pir, mengupas perlahan dan mengirisnya. Perawat datang dengan bungkusan di tangan, menyapa semringah padanya.
“Kak Clarissa udah datang rupanya.”
“Iya, Sus.”
Perawat itu terlihat ingin basa basi tapi Clarissa sedang enggan bercakap-cakap. Ia membawa piring kecil berisi potongan buah pir ke ruang tengah dan duduk di samping sang papa. Terdengar percakapan keras disertai tawa dari arah dapur. Perawat sedang sibuk bercakap dengan sang mama. Clarissa merasa senang dengan adanya perawat yang pandai mengobrol membuat mamanya tidak kesepian. Buah di atas piring baru saja tandas saat terdengar suara teriakan.
“LIDYA, JONAS, KELUAR KALIAN BERDUA! GUE MAU NGOMONG!”
Clarissa meletakkan piring kosong dengan terburu-buru ke atas meja dan bangkit dari sofa. Melihat mamanya muncul bersama perawat dari dapur, ia memberi tanda.
“Jangan keluar, Ma. Tetap di sini.”
“Clarissa, gimana kalau mereka nyerang kamu nanti.”
“Nggak akan. Pokoknya Mama tetap di sini.”
Clarissa mengambil tongkat kasti yang diletakan di bawah meja. Ia selalu meletakkan tongkat di situ dan melarang siapa pun memindahkannya. Dengan tongkat di tangan ia bergegas keluar untuk menghadapi orang yang berteriak.
“Dari dulu Io nggak berubah. Masih kasar dan kurang ajar!” teriak Clarissa.
Di halaman berdiri tiga laki-laki dan dua perempuan muda. Clarissa menatap tajam pada mereka. Pandanganya tertuju langsung pada dua perempuan yang melotot marah padanya.
“Eh, Jalang kurang ajar! Bayar utang lo!”
Perempuan berambut pirang dengan tubuh kurus mengeluarkan makian. “Udah bertahun-tahun utang kagak bayar. Ditagih ngeles melulu lo!”
Clarissa mendengkus keras. “Kayaknya kuping lo yang budeg atau otak lo yang mampet. Udah gue bilang berkali-kali kalau yang utang bukan keluarga gue tapi orang tua lo!”
“Nyolot amat lo. Kagak takut sama kita? Bawa-bawa pentungan segala. Ngerasa hebat lo?”
Kali ini yang berkata adalah perempuan muda dengan tubuh kekar, rambut pendek dan memakai tank top yang menunjukkan lengan berotot. Clarissa tertawa garing, merasa perkataan mereka sangat lucu.
“Aneh banget gue yang harus bayar padahal orang tua kalian yang utang. Pabrik, ruko, sama semua asetnya itu milik orang tua gue. Kalian aja yang ngerebut!”
“Halah, banyak bacot lo! Bayar utang atau gue suruh orang-orang ini buat hancurin rumah lo!” ancam si rambut pirang.
Dengan tangan gemetar campuran rasa marah dan takut, Clarissa merentangkan lengan. Pemukul terasa berat dalam genggaman meski begitu ia bertekad tidak akan takut demi keluarganya.
“Berani kalian maju, gue pukul kepala kalian tanpa ampun!” teriaknya.
Ancamannya dibalas dengan tawa menggelegar oleh para Iaki-laki preman. Beragam kata-kata kotor dan m***m keluar dari mulut mereka untuk Clarissa. Menolak untuk gentar meski harus berdarah-darah, Clarissa bertekad untuk mengusir orang-orang ini.
Suara mobil berhenti di depan gerbang mengalihkan perhatian mereka termasuk Clarissa. Dari dalam mobil muncul Dante yang menggandeng Kevin. Saat melihat situasi yang dirasa janggal, Dante menghampiri Clarissa dengan satu pertanyaan terlontar.
“Ada apa ini, Clarissa?”
“Mamaa! Kevin kangen Mama!”
Clarissa melemparkan pemukul ke tanah dan berjongkok untuk menggendong Kevin. Menepuk-nepuk lengan Dante, ia berujar keras.
“Kalian pikir bisa ngalahin gue sendiri? Mungkin, iya kalau cuma gue. Nih, hadepin calon suami gue kalau kalian berani!”
Semua orang tercengang mendengar perkataan Clarissa, bukan hanya dua gadis dan para preman bahkan Dante pun kebingungan. Clarissa tidak peduli lagi dengan rasa malu, yang penting bisa selamat dari situasi ini. Ia merapat ke arah Dante dan masuk dalam pelukan bersama Kevin.