BAB 6

1627 Kata
Apakah Clarissa tidak merasa malu sudah mengaku-ngaku sebagai istri Dante. Tentu saja sangat malu, tapi tidak ada jalan lain untuk keluar dari situasi ini. Orang-orang yang mengepung rumahnya terlalu sangar dan nekat. Menggertak mereka dengan pentungan saja tidak cukup karena semua tahu dirinya tidak bisa bela diri. Ia berpura-pura tidak melihat tatapan heran dari Dante. Matanya tertuju pada dua perempuan yang kini terdiam karena kaget. Ia yakin kali ini bisa memukul mundur mereka tanpa banyak kata. “Cuih! Mana mungkin lo jadi istri laki-laki ini?” teriak perempuan berambut pirang. “Kenapa nggak mungkin? Model terkenal kayak gue, biasa kenal orang kaya. Emangnya kalian, cuma bisa nongkrong di ruko dan nakut-nakutin orang?” sahut Clarissa sengit. “Terserah kami, dong. Namanya juga orang kaya. Kami mau ongkang-ongkang kaki atau foya-foya, nggak ada urusannya sama lo!” Si perempuan berambut pendek menyela cepat. “Kalau memang lo udah nikah ama cowok kaya ini, harusnya lo Iunasi utang tanpa banyak cincong. Kecuali, lo cuma ngaku-ngaku. Hahaha!” Tawa mereka kembali menggelegar. Tanpa sadar Clarissa mencengkeram Iengan Dante dengan erat. Ia ingin mereka semua pergi, tapi mengusir tidak akan mudah. Dante menurunkan Kevin dan berbisik. “Sayang, kamu tunggu di pintu. Berdiri di sana tunggu papa dan mama selesai ngurus preman ini.” Kevin mengangguk. “Iya, Papa.” Setelah anaknya beranjak, Dante meraih jari yang mencengkeram Iengannya dan menepuk perlahan. “Clarissa, santai kenapa. Ada suamimu yang akan urus semuanya.” Clarissa tercengang, dua perempuan yang sedang tertawa seketika terdiam. Mereka melotot bersamaan pada Dante yang kini berdiri menjulang dengan wajah tanpa senyum. Penampilannya yang rapi, elegan, dan tampan membuat dua perempuan di depannya terpana. Terlebih mata Dante yang menyorot tajam tapi penuh ketenangan. Seakan memberi perintah pada orang-orang untuk terdiam bahkan tanpa kata-kata keluar dari mulutnya. “Aku nggak tahu kalian siapa tapi kalau berani macam-macam sama istriku, jangan harap bisa lolos dari hukum. Kalian pikir aku akan diam saja saat kalian menginjak-injak harga diri istriku?” Perempuan berambut pirang memiringkan kepala, menatap Dante lekat-lekat lalu berteriak. “Tunggu! Aku kenal kamu. Bukannya kamu suaminya mendiang Clementine? Iyaa, aku ingat. Kamu, Dante! Ya Tuhan, makin tampan kamu!” Perempuan itu berusaha meraih lengan Dante tapi dihempaskan dengan cepat. Seolah tidak mengerti penolakan kasar itu, ia tertawa keras. “Kamu lupa sama aku? Ini aku Rani! Aku sepupu Clementine!” Perkataan perempuan itu membuat Dante terheran, terlebih saat Rani meraih bahu saudaranya. “Ini adikku, Rina. Jangan bilang kamu lupa sama kami!” Rani dan Rina tertawa terbahak-bahak dengan wajah semringah. Dante mengalihkan padangan pada Clarissa yang mengangkat bahu. Dante berusaha menggali ingatannya tentang Rani dan Rina, samar-samar akhirnya teringat sesuatu dan kembali menatap Clarissa. “Mereka adalah—” “Anak Om Johan. Adik dari Papa,” jawab Clarissa. “Hah, kenapa jadi gini?” “Panjang ceritanya tapi yang pasti, mereka merebut perusahaan Papa. Membuat Papa berutang pada bank dan rentenir. Nggak hanya itu, menjual saham dan membuat kami jatuh miskin.” Cerita Clarissa sulit dipercaya kalau tidak lihat kenyataannya. Seingat Dante, Rani dan Rina memang tidak pernah bersikap baik dan akrab dengan Clarissa serta Clementine. Sebagai sesama sepupu mereka berempat bertentangan satu sama lain. Selalu bersaing dalam segala hal tapi tidak pernah menyangka akan separah ini. Clarissa membawa pukulan untuk melawan dua sepupunya. Kalau bukan karena masalah besar, tidak akan seperti sekarang. “Bohong! Jangan percaya omongan penyihir itu, Dante! Kalian nggak ketemu sekian lama pastinya banyak hal yang kamu nggak tahu. Clarissa itu pembohong! Om Jonas yang salah dalam investasi. Papa kami menyelamatkan, membantu banyak uang, termasuk mencarikan pinjaman. Ternyata mereka nggak mau bayar setelah berutang!” Rani menyangkal perkataan Clarissa dengan berapi-api. Rambut pirangnya terlihat bercahaya, kontras dengan kulit sawo matang dengan pandangan bengis pada Clarissa. “Pokoknya, jangan sekali-kali kamu percaya perkataan Clarissa!” Rina mengangguk cepat, menimpali teriakan saudaranya. “Rani benar, Dante. Eh, bukan harusnya kami manggil kamu, Kak Dante yang tampan.” Rina mengedipkan sebelah mata pada Dante dengan tatapan genit. “Lama nggak ketemu, gimana kalau kamu ikut kami. Kita bisa ngobrol-ngobrol sambil makan. Ngapain di rumah bobrok ini? Lagi pula, Clementine udah nggak ada. Nggak perlu juga kamu baik sama mereka.” “Benar itu, ikut kami saja. Dijamin akan kami temani sampai puas!” Clarissa menatap jijik pada dua sepupunya yang bicara dengan tidak tahu malu. Bisa-bisanya mereka merayu Dante seperti itu, seolah tidak menganggap keberadaannya. Baru kali ini ia melihat Rani dan Rina bersikap genit pada laki-laki. Apa yang ada dalam pikiran mereka sebenarnya? Apakah mereka mengira kalau Dante seperti laki-laki kebanyakan yang akan silau dengan rayuan? Clarissa tercengang saat mendengarjawaban Dante. “Oke, boleh juga. Aku akan ikuti saran kalian, mengobrol-ngobrol dengan akrab. Kalian punya kartu nama?” Rani dan Rina berlomba membuka dompet untuk mengulurkan kartu nama pada Dante. “Ini punyaku, ada apa-apa hubungi aku saja,” ucap Rani dengan semangat. “Jangan salah, aku lebih pintar negosiasi. Ke aku aja kalau mau ngobrol lebih intim,” sela Rina. Dante mengambil kedua kartu, menunjuk pada para preman yang berdiri di belakang Rani dan Rina. “Sebaiknya kalian pergi sekarang dan bawa mereka bersamaan. Urusan Clarissa biar aku bereskan dulu, bagaimana pun dia adik iparku. Kalian tunggu saja teleponku, oke.” Rani dan Rina bertukar pandang lalu mengangguk bersamaan. Wajah mereka berubah menjadi cerah saat mendengar perkataan Dante. Siapa yang tidak senang mendengar janji dari seorang laki-laki tampan. Rani menyikut Rina hingga mundur Ialu berpamitan. “Ya, aku pulang dulu, daah, Dante!” Rina meringis kesakitan, membalas dengan mencubit pinggang Rani. “Daah, Dante. Telepon aku saja,jangan Rani yang agak gila ini.” “Lo yang gila! Sembarangan aja ngatain orang.” “Eh, bebek pirang. Mana ada laki-laki yang suka sama perempuan dekil tapi rambutnya pirang?” “Lo yang dekil. Berotot tapi nggak punya otak!” Melihat keduanya saling memaki, Dante buru-buru meraih lengan Clarissa dan anaknya. Bergegas melewati pintu dan menutup. Suara perdebatan masih terdengar saat mereka berdiri di ruang tamu yang kecil. Dante menghadap Clarissa, tidak tahan untuk tidak menyentuh kulit halus dan mengkilat karena keringat. Dante mengusap lembut pipi Clarissa. “Kalau bisa menghindar, lebih baik jangan terlibat provokasi. Kamu bukan lawan mereka, Clarissa.” Clarissa menghela napas panjang. “Iya, Kak. Aku tahu bukan lawan mereka.” “Aku perlu dengar cerita lengkapnya nanti.” “Dante? Ini kamu, Nak?” Dante menoleh, menatap perempuan yang terperangah ke arahnya. Sedikit tidak percaya saat melihat Lidya menua dengan begitu cepat. Seingatnya dulu Lidya perempuan setengah baya yang cantik dan bugar. Tubuh segar itu seolah layu dimakan waktu dan usia, menjadi renta dan kurus. Dante menyimpan rasa bersalah karena bertahun-tahun tidak pernah pulang untuk menengok mantan mertuanya. “Mama, apa kabar? Ini Dante, Ma.” Lidya menubruk Dante dan memeluk dengan erat. Tangisan kerinduan disertai rasa haru pecah. Clarissa terdiam melihat mamanya menangis tersedu di d**a Dante. Ia membiarkan keduanya melepas rindu, tersenyum pada Kevin yang menggenggam jarinya. “Kenapa lama sekali baru pulang, Dante.” “Maafin, Dante, Ma. Aku nggak tahu kalau Mama udah pindah rumah. Aku pernah nyari kalian di rumah lama tapi nggak ketemu.” “Iyaa, rumah sudah kami jual.” Dante melepaskan pelukan Lidya, merasa senang bercampur sedih bisa memeluk mantan mertuanya. Ia menunjuk Kevin yang berdiri sambil menggenggam jari Clarissa. “Ma, itu cucumu, Kevin.” Lidya menghapus air mata, menatap Kevin dan mengulurkan tanga n. “Sayangku, cucu nenek yang tampan. Sini peluk, nenek.” Kevin ragu-ragu, Clarissa mendorong perlahan. “Maju, Sayang. Peluk dan cium Nenek.” Tangisan Lidya kembali meledak saat cucunya masuk dalam pelukan. Mendekap dan mengecup rambut serta pipi Kevin, perasaan haru menguasainya. Saat Jonas muncul dengan perawat mendorong kursi rodanya, suasana haru bercampur sedih tidak tertahankan. Dante mencium tangan Jonas, menyatakan penyesalan dan meminta maaf karena terlambat datang. Rumah kecil itu dipenuhi oleh tangisan kebahagiaan. Clarissa mengamati kedua orang tuanya yang bergantian memeluk Dante dan Kevin. Sama seperti dirinya, mereka pun didera rasa rindu yang membucah di d**a. Dalam hati Clarissa menyebut nama kakaknya, membayangkan seandainya Clementine ada di sini pasti akan sangat bahagia. Kedua orang tua mereka memeluk Kevin yang tumbuh menjadi anak sehat dan tampan. Setelah reuni penuh tangis selesai, mereka duduk di ruang tengah dengan sofa tua. Clarissa berinisitif memotong buah dan menghidangkan ke atas meja. Saat ia duduk, secara otomatis Kevin akan mendekat dan duduk di atas pangkuannya. Clarissa membelai lembut rambut Kevin saat mendengarkan pembicaraan orang tuanya dan Dante. Sang papa bicara dengan terbata-bata, sang mama tertawa gembira. Hal yang sudah lama sekali tidak dilihatnya, pancaran kebahagiaan dari wajah mereka. Dante sendiri mendengarkan setiap kata yang keluar dari Jonas dan Lidya dengan penuh perhatian. Sama seperti dulu, hubungan antara menantu dan mertua tidak pernahnberubah. “Mama, nanti pulang sama kami lagi 'kan?” Pertanyaan Kevin pada Clarissa menyela percakapan orang-orang. Clarissa tersenyum, mengusap pipi bocah yang menatapnya penuh harap. “Hari ini nggak bisa, Sayang. Besok mama ada kerjaan.” Kevin menggeleng dan menunjuk pada sang papa. “Mama kalau kerja bisa minta antar Papa.” Clarissa belum menjawab, Dante menyambar cepat. “Ide bagus, Clarissa. Kalau kamu menginap di rumah kami, besok pagi jam berapapun aku bisa mengantarmu.” Clarissa mengulum senyum, menggelitik pinggang keponakannya. “Minggu depan mama punya waktu libur dua hari. Nanti mama nginap Iagi di rumah Kevin. Gimana, Sayang?” “Tapi, semua teman-teman aku papa dan mama mereka tinggal bersama. Kenapa Mama nggak mau tinggal bersama Papa?” “Itu karena—” Clarissa mendesah, kehabisan kata untuk menjawab. Ia melemparkan tatapan sebal pada Dante yang asyik mengobrol dengan sang papa. Menahan dengkusan karena Dante membuatnya terjebak dalam situasi sulit. “Kak, mantan kakak ipar boleh dinikahi loh.” Si perawat mendadak muncul dan berbisik padanya. Membuat Clarissa kehilangan kata-kata. Siapa yang ingin menikahi mantan kakak ipar sendiri? Clarissa bahkan tidak pernah terpikir ke arah sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN