Pertemuan yang tidak disangka Clarissa dan Dante berakhir dengan sejumlah gosip yang muncul di media, belum lagi ditambah dengan gosip sebelumnya tentang Hamish. Nyaris setiap jam muncul wajah Clarissa di tayangan infotaiment, internet dan media sosial membahas tentang skandalnya. Banyak sekali hujatan yang dilayangkan pada Clarissa karena dianggap sebagai selebriti bermasalah dengan image buruk sebagai perebut suami orang.
Beragam cacian, hinaan dan tuduhan keji dilontarkan orang-orang di akun media soasial milik Clarissa. Merasa tidak bersalah, Clarissa hanya membaca sekilas komentar-komentar jahat itu dan tidak ingin membalasnya.
“Dasar jalang! Bisa-bisanya merebut suami orang!”
“Clarissa, si pelakor reseh. Kalau lo bukan model, kagak bakalan perempuan kayak lo dilirik sama Pak Hamish!”
“Gila, ya. Perempuan kayak gini bisa jadi simpanan anggota DPR yang kaya raya. Secara pendidikan kalah sama Bu Maya. Pasti ngincar uang si Clarissa ini!”
Sesil datang, merebut ipad dari tangan Clarissa dan mematikannya. “Kak, bisa nggak kerja yang fokus. Ngapain sih baca komentar? Bikin sakit hati aja.”
Clarissa yang baru selesai dirias, sedang duduk di kursi santai dan menunggu set pemotretan selesai. Ia tidak tahan untuk mengecek komentar orang-orang tentangnya. Meskipun sangat menyakitkan untuk dibaca, tetap saja dirinya penasaran.
“Nggak mau tutup kolom komentar?” usul Sesil.
“Ngapain ditutup? Aku nggak salah, kok. Aku nggak akan biarkan mereka merasa senang dan menang karena melihatku terintimidasi!”
“Bikin stress, Kak.”
“Memang, resiko pekerjaan Sesil. Kamu lupa apa yang dikatakan Pak Arfan? Berkecimpung di dunia entertaiment, aneh kalau nggak merasa stress. Udah, kamu tenang aja nggak usah pusing!”
Clarissa bangkit dari kursi malah saat fotografer memintanya mendekat. Ia membuka jubah dan memberikannya pada Sesil. Melangkah gemulai dalam balutan gaun mini hitam, sepatu high heels lancip 12 sentimeter, serta tas kulit mereka terkenal, ia mulai berpose. Membiarkan lampu menyorot wajah, tubuh, serta tas yang dipegangnya. Sesekali ada kipas yang diarahkan kepadanya untuk membuat rambutnya berkibar.
Sudah lebih dari empat tahun Clarissa menjalani profesi ini. Memang tidak bisa dibilang sebagai foto model kawakan, tapi ia blsa berdiri sejajar dengan foto model lainnya di kota ini. Mereka yang jauh lebih terkenal dan berkecimpung di dunia ini lebih dulu, banyak yang bersedia menjadi temannya. Itu tidak lepas dari citra baik yang selama ini tertanam dalam imagenya.
Clarissa yang cantik, anggun, serta santun menjadi dambaan banyak orang. Dirinya bahkan menduduki puncak polling yang diadakan sebuah majalah terkenal sebagai perempuan paling diidamkan. Sayangnya citra baik itu luntur gara-gara skandal Hamish.
Berpose dengan beragam gaya hingga beberapa jam lamanya, pikiran Clarissa dipenuhi banyak hal. Tentang Hamish dan istrinya yang membuat hidupnya menjadi sulit. Padahal ia tidak pernah kenal akrab dengan mereka. Belum lagi Kevin yang merengek ingin tinggal bersamanya. Dijeda istirahat, Clarissa terbayang sosok Dante. Mantan kakak ipar memang bisa dinikahi, tanpa perlu diberitahu pun Clarissa mengerti soal itu. Masalahnya adalah belum tentu Dante punya pikiran romantis tentang, mengingat hubungan mereka dulu adalah kakak dan adik yang harmonis.
“Lo jadi datang ke rumah?”
Pertanyaan dari sahabatnya membuyarkan lamunan Clarissa. Ia membalas pesan Milea dengan senyum terkulum.
“Jadilah, habis pemotretan gue ke rumah lo. Mau dibawain apaan?”
“Bir dingin!”
“Nggak mau. Gue lagi nggak boleh minum alkohol. Ntar muka gue bengkak, lagi banyak pemotretan.”
“Lah, yang minum gue bukan lo.”
“Ntar gue bawain minuman gingseng aja.”
“Emangnya gue udah jompo?”
Clarissa tergelak membawa pesan-pesan dari Milea. Di antara semua orang yang mengaku paling akrab dan paling dekat dengannya, nyatanya hanya satu orang yang benar-benar ada di sampingnya dan itu adalah Milea. Tempatnya berbagi resah dan harapan. Milea akan mendengarkan semua curahan hatinya tanpa penghakiman.
Awalnya Clarissa memang tidak ingin membawa alkohol saat datang ke rumah Milae, ternyata Iain di hati Iain pula di pikiran. Satu krat bir dingin ditenteng oleh sopirnya dan dibawa ke depan pintu rumah Milea. Saat melihatnya, gadis berkacamata itu memekik.
“Asyik, kita mabuk sampai pagi!”
Clarissa memberi perintah pada sopir untuk kembali ke kantor. Membiarkan Milea bersusah payah memindahkan bir dari depan pintu ke atas meja. Ia membuka outer panjang hitam dan menyampirkannya ke sofa. Tersisa gaun hitam tipis dengan tali kecil di pundak.
“Gue beli keripik singkong yang enak dan renyah. Cocok buat minum bir dan dengerin lo cerita. Ayo, coba bilang gimana penampilan Kak Dante sekarang?”
Clarissa ingin menolak tawaran keripik dari Milea tapi saat mencium aroma yang menggoda, tidak tahan untuk tidak mengambil dua keping dan mulai menguyahnya.
“Kalau berat badan gue naik, lo tanggung jawab,” gumamnya.
Milea terburu-buru menutup plastik keripik di atas meja. “Kalau gitu jangan makan. Gue nggak mau tanggung jawab!”
Clarissa tergelak, menyentil dahi sahabatnya. “Untung lo pakai kacamata jadi bisa ngelabuhi orang-orang. Sekilas kayak cewek polos, padahal yang tahu lo kayak gimana hanya gue!”
Milea menyingkirkan jari Clarissa dari kepalanya dan mencebik. “Terserah lo mau bilang apa. Sekarang bisa, dong cerita tentang Kak Dante dan keponakan lo yang tampan itu.”
Senyum Clarissa merekah saat nama Kevin disebut. Ia mengambil satu kaleng bir dan meminta Milea membukanya lalu mulai bercerita tentang betapa menggemaskannya Kevin. Clarissa memuji keponakanya dengan penuh kebanggaan yang menggebu-gebu.
“Bapaknya gimana? Kak Dante?” pancing Milea.
Clarissa meminum kaleng ketiga kala dari bibirnya meluncur cerita soal Dante. “Bayangin aja jadi gue. Tujuh tahun nggak ketemu lalu kakak ipar lo berubahjadi laki-laki tampan dan sexy.”
Milea menaikkan sebelah alis. “Sexy?”
“Yaa, sangat sexy. d**a bidang, kaki panjang, mata tajam dan lo tahu Kak Dante punya dagu terbelah 'kan? Sepertinya semua kesempurnaan dari manusia ada padanya. Sudahlah kaya raya, tampan, dan menawan pula. s**t!” Clarissa memaki saat tubuhnya oleng dan tidak bisa duduk tegap.
“Minum berapa kaleng gue tadi? Napa oleng gini?”
“Tiga!” jawab Milea.
“Nggak mungkin, pasti lebih banyak dari itu.”
“Emang tiga kok. Lo aja kagak ngitung. Bilang aja lo oleng karena naksir Kak Dante.”
“Iih, nggaklah.”
“Iih, iyalah, ngaku lo!”
Keduanya saling pandang dan entah apa yang lucu mulai tertawa bersamaan. Clarissa dengan gembira bercerita perihal Dante lalu memaki-maki Rani dan Rina. Milea bercerita tentang orang tuanya yang berencana menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disukainya hanya demi janji masa lalu.
“Gue lagi berusaha cari kerja lagi biar nggak bergantung sama keluarga. Bosan gue disuruh kawin melulu. Udah kayak sapi yang mau diternak aja. Segala macam mau dijodohin.”
Clarissa menggoyangkan jari di depan wajah, pandangannya mengabur karena alkohol. “Lo udah punya penghasilan dari hobi dan kalau bisa jangan ditinggalin. Lumayan hasilnya 'kan?”
Milea mengangguk, membuka satu kaleng lagi dan meneguknya. “Memang, gue berencana pindah rumah kalau dapat kerja biar nggak diganggu keluarga lagi.”
Mereka minum bir, makan keripik, dan Clarissa yang tidak kuat minum alkohol terlalu banyak, terbaring di atas sofa. Kepalanya berputar cegukan tidak berhenti dan mengerang karena mabuk.
Milea membiarkan sahabatnya tidur, minum alkohol adalah kesempatan Clarissa untuk istirahat dengan damai setelah rutinitas panjang dan melelahkan. Ia meneguk kaleng kelima dan menyipitkan mata ke arah ponsel Clarissa di atas meja yang kini berdering. Milea membaca nama yang tertera dan mengangkat tanpa banyak pertimbangan.
“Halo, Clarissa? Kamu di mana?”
Milea menepuk d**a saat mendengar suara bariton Dante. Sungguh maskulin dan seperti kata Clarissa, suara Dante memang sexy.
“Kak Dante, Clarissa sedang mabuk di rumahku.”
Hening sesaat sampai akhirnya Dante menyahut. “Ini siapa?”
“Milea, Kak. Mungkin Kak Dante lupa.”
“Milea sahabat Clarissa? Tolong berikan di mana alamatmu. Biar aku jemput Clarissa.”
“Oke, Kak. Aku kirim alamatku sekarang.”
Milea yang daya tahan terhadap alkohol lebih tinggi dari Clarissa memberikan alamatnya pada Dante. Ia menunggu dengan penuh harap kedatangan laki-laki yang pernah dikenalnya itu. Clarissa yang tertidur di atas sofa sesekali mengigau. Milea mendekati sahabatnya dan berbisik lembut.
“Clarissa, jangan nakal, ya. Kak Dante mau jemput kamu.”
Clarissa menggeleng cepat. “Nggak mau pulang.”
“Harus pulang.”
“Nggak mauuu!”
Suara mobil berhenti di halaman membuat Milea bangkit. Ia bergegas membuat pintu dan terperangah menatap sosok di hadapannya. Ternyata yang diceritakan Clarissa adalah benar adanya tanpa dilebih-lebihkan. Dante yang tampan dengan dagu terbelah seolah jelmaan dari model yang keluar dari majalah dengan halaman mengkilat. Milea tidak pernah melihat laki-laki setinggi dan segagah Dante.
“Selamat malam Milea. Apa kabar?” sapa Dante dengan senyum tersungging dan tangan terulur.
“Kak Dante?” seru Milea menerima uluran tangan Dante dan menjabatnya. “Kabar baik. Itu, Clarissa sedang tidur.”
Dante menatap Clarissa yang terbaring di atas ranjang dan tertegun melihatnya. Bagaimana tidak, Clarissa berbaring telungkup dengan rok yang tertarik hingga ke pertengahan paha. Menggunakan tangan sebagai bantal dan membuat gaunnya yang bertali kecil menunjukkan punggung, bahu, serta lengan yang mulus dan putih. Satu hal yang membuat Dante terpaku adalah kulit di bawah lengan. Tanpa penutup dan menunjukkan sebagian d**a yang membusung. Hasrat liar mendadak muncul dari dalam diri Dante melihat sosok mantan adik iparnya yang Iuar biasa menggoda.