“Kak Dante mau aku bantu buat ngangkat Clarissa ke mobil?”
Pertanyaan Milea membuyarkan lamunan Dante dari hasratnya yang tergugah karena adik iparnya. Ia tersenyum kecil, mendekati sofa dan menarik turun gaun Clarissa. Ia bisa memperkirakan berat tubuh Clarissa tidak lebih dari lima puluh kilo, bisa jadi kurang dari itu. Sarapan hanya telur rebus dan apel, menolak beragam gorengan dan makanan berat lainnya, Clarissa yang luar biasa langsing bukankah beban yang berat untuknya. Masalahnya adalah kulit putih dengan d**a yang membusung cukup membuat konsentrasinya terganggu.
Dante tidak pernah melihat ada orang mabuk secantik ini. Tidak tahan untuk mengusap pipi dengan punggung jari dan menyingkirkan anak-anak rambut dari dahi Clarissa. Ia mengulurkan lengan ke bawah leher Clarissa dan lengan lain di bawah lutut, dalam satu kali angkat Clarissa berada dalam gendongannya.
“Aku bisa sendiri, Milea. Bisakah kamu bantu membawakan barang-barang Clarissa?”
Milea menggangguk cepat. “Iya, Kak.”
Detik itu juga jantung Milea berdetak sangat kencang saat melihat lengan kekar Dante yang terarah ke tubuh Clarissa. Seolah tidak ada beban laksana seorang kesatria yang sedang menggendong putri. Milea membereskan
barang-barang Clarissa dan menyusul Dante. Benaknya berputar tentang laki-laki yang sangat perkasa dengan langkah cepat di depannya. Bagaimana bisa ada orang seperti ini di hadapannya dan seolah muncul dari cerita.
Di bawah bayang-bayang temaram malam, Dante terlihat sangat tampan. Seperti prajurit yang baru saja mengalahkan monster untuk menyelamatkan tuan puteri. Semestinya pemandangan seperti ini dilihat Clarissa, dengan begitu sahabatnya tahu betapa kerennya si mantan kakak ipar. Ia sendiri dengan senang hati mengakui akan naksir Dante kalau berada di posisi Clarissa. Asalkan Dante belum punya pasangan, semestinya jatuh cinta bukan hal yang terlarang.
Kekaguman Milea bertambah saat melihat mobil abu-abu mewah yang terparkir di halamannya. Ia berdecak tanpa sadar, tidak menyangka akan melihat mobil mewah dan mahal secara langsung. Yakin kalau pun bekerja seumur hidup tidak akan pernah terbeli mobil semewah ini. Mengkilat, kokoh, dengan design sederhana tapi berkelas. Milae bisa menduga kalau harga mobil bisa puluhan miliar. Membayangkan banyaknya uang saja sudah cukup membuatnya bingung.
Dante mendudukan Clarissa di jok depan, menutup pintu dan mengambil barang-barang dari tangan Milea.
“Terima kasih, Milea. Ingatkan aku untuk mentraktirmu makan kalau ada kesempatan.”
Wajah Milea berbinar mendengar perkataan Dante. “Janji, ya, Kak. Nanti aku tagih terus biar nggak lupa.”
Dante terkekeh gembira. “Tentu saja, kamu bilang saja sama Clarissa kapan mau makan bersama.”
“Siap, Kak. Dengan senang hati aku terima undangan makannya.”
Selesai berbasa-basi dengan Milae, Dante meletakkan barang-barang Clarissa dijok belakang. Menyalakan mesin lalu membantu Clarissa mengaitkan sabuk pengaman. Parfum yang menguar lembut dari tubuh Clarissa membuatnya tanpa sadar mendesah. Aroma feminim yang membuatnya tergugah. Ia meninggalkan rumah Milea dengan d**a berdebar tidak nyaman.
Clarissa tidur dengan kepala terkulai di kursi. Cantik, sexy, dan anggun bahkan saat sedang mabuk. Ia tidak tahu kalau toleransi alkohol Clarissa sangat rendah. Milea mengatakan Clarissa tidak minum lebih dari empat kaleng dan sudah tidak sadarkan diri seperti sekarang.
Dante mengalihkan pandangan ke depan, melewati jalanan yang mulai sepi. Ia baru saja menelepon pelayan untuk berjaga di pintu saat dirinya pulang, termasuk meminta sopir menunggu di area parkiran. Tidak mungkin membawa barang-barang sambil menggendong Clarissa.
“Aaah, pusing.”
Clarissa bergerak dalam tidurnya. Dante mengulurkan tangan untuk mengusap keningnya.
“Clarissa, mau muntah?”
“Nggak mau muntah. Mau makan, nggak aah, mau tidur!”
Clarissa mengigau, Dante membiarkan saja yang terpenting tidak ada masalah. “Kalau mau muntah bilang, ya.”
“Iih, nggak mau muntah. Aku mau marah!”
Clarissa mendadak duduk tegak, menatap Dante sambil mengacungkan jari tengah membuat tanda
tidak sopan. “Aku kesaal sekali sama mereka.”
Dante menoleh, mengurai tanda dijari Clarissa dan menurunkannya. “Kesal sama siapa?”
“Siapa lagi? Sama Om Johan tentu saja. Bisa-bisanya dia nipu Papa padahal kakak kandung loh. Aku juga marah sama tua bangka itu. Siapa namanya?” Clarissa kembali merebahkan diri di kursi, berpikir keras di sela otaknya yang berkabut karena alkohol. “Tua bangka sialan!”
“Tua bangka siapa, Clarissa?”
Clarissa terdiam, menunduk dengan jari saling meremas di atas pangkuan. Tak lama, terisak-isak dan membuat Dante kebingungan.
“Clarissa, kenapa kamu nangis?”
“Hik, aku sedih, Kaak. Sediih sekali.”
Rengekan Clarissa membuat Dante makin heran. “Barusan bilang kesal sekarang bilang sedih. Kenapa kamu ini?”
Clarissa menangkup wajah dengan kedua tangan lalu mendesah. Pandangannya kabur karena air mata. Tidak peduli pada Dante yang kebingungan, ia mulai mencercau.
“Si tua bangka sialan, Hamish itu. Bisa-bisanya dia mengira aku menyukainya? Aku jatuh cinta dan mengejar-ngejarnya? Semua orang mencaciku di kolom komentar. Aku sedih, aku marah, huaaa!”
Kali ini Clarissa benar-benar menangis, memgambil berlembar-lembar tisu untuk menghapus air mata dan juga ingus. Selama Clarissa menangis, Dante hanya mengusap-usap rambutnya tanpa kata. Ia tahu Clarissa sedang
banyak tekanan dan menangis memang diperlukan untuk melonggarkan d**a yang sesak. Siapa pun akan kesal dan marah bila berada dalam posisi Clarissa. Terkena skandal gosip tanpa tahu dari mana asalnya dengan laki-laki yang sudah menikah dan tidak pernah dikenal dengan akrab.
“Clarissa, jangan nangis lagi. Bukannya aku udah bilang akan membantumu menghalau masalah? Skandal itu akan aku cari tahu dan tuntaskan. Bersabarlah, Clarissa.”
Clarissa tidak mendengar perkataan Dante. Selesai menangis kembali cegukan lalu tertidur. Tidak sadarkan diri hingga Dante memasuki area parkir. Seorang laki-laki yang merupakan sopirnya menunggu di pintu masuk. Setelah mematikan mesin, Dante memutari bagian depan mobil untuk membantu Clarissa turun.
“Ayo, aku gendong.”
Clarissa mendorong d**a Dante. “Nggak, ah. Bisa jalan!”
Dante membiarkan Clarissa berjalan sempoyongan keluar dari mobil, membuka lengan untuk berjaga-jaga kalau jatuh. Saat Clarissa hampir saja menubruk tiang, kesabarannya habis.
“Sini, gendong aja!”
Tidak peduli pada protes, Dante mengangkat tubuh Clarissa dan membawanya ke dalam lift.
“Ih, turunin aku, Kak.”
“Diam! Nanti jatuh.”
“Barangku, itu tasku mana tasku.”
“Sama sopir. Diam Clarissa!”
Bentakan Dante membuat Clarissa terdiam. Meletakkan kepala di lekukan bahu Dante, Clarissa menggumakan kekesalan, protes, bercampur kemarahan dengan nada rendah. Dante membiarkannya, bersikap seolah tidak mendengar hingga tiba di depan penthouse. Seorang pelayan perempuan sudah bersiap menyambut kedatangan mereka dengan membuka pintu.
“Di mana anakku?”
“Sudah tidur, Tuan.”
“Kamar tamu sudah siap?”
“Sudah.”
“Tinggalkan kami!”
Perintah Dante dipatuhi si pelayan yang bergegas pergi setelah membantu membuka pintu kamar tamu. Dante merebahkan Clarissa di atas ranjang, ingin bangkit tapi tertahan karena Clarissa merangkul lehernya.
“Clarissa, kenapa kamu?” tanyanya bingung.
Clarissa mendesah, tersenyum kecil dan tanpa disangka mengangkat kepala lalu mengecup bibir Dante.
“Terima kasih, Kak. Sudah jemput aku.”
Bahu Dante kaku karena kecupan yang tiba-tiba tanpa disangka. Ia tidak bisa menegakkan tubuh karena Clarissa masih merangkul lehernya dengan erat.
“Clarissa, lepaskan tanganmu sekarang,” perintahnya sekali lagi. Namun, bukan menuruti perkataannya Clarissa malah terkikik dan mengecup bibirnya sekali lagi. “Jangan sampai kamu menyesali ini nanti.”
Dante kehilangan sisa-sisa kendalinya, seperti remuknya ombak yang akhirnya pasrah menghantam karang. Ia menunduk, dan dalam sekejap, menyegel bibir Clarissa dalam kecupan yang tak sabar—sebuah perampasan yang nyaris menyakitkan, namun dipenuhi bara yang lama dipendam. Bibir itu—merah bagai kelopak mawar setelah hujan, basah dan ranum seperti buah terlarang—dihisapnya dalam napas terputus yang mendesak.
Aroma alkohol yang menggantung dari napas Clarissa terasa seperti bisikan malam yang mabuk oleh bulan. Erangan lirih meluncur dari tenggorokannya, serupa dawai yang dipetik paksa oleh jari-jari kerinduan. Ia membalas ciuman Dante, bukan sebagai korban, tapi sebagai nyala api yang telah menunggu percikannya sendiri.
Dante, seakan tersihir oleh kelembutan dan kemarahan sekaligus, merangkak ke atas ranjang—gerakannya seperti binatang malam yang tak lagi dapat disangkal nalurinya. Ia memosisikan diri di atas Clarissa, menyelubunginya dalam bayang dan hasrat, lalu melanjutkan cumbuan mereka—panas, dalam, dan penuh pengakuan yang tak diucapkan oleh kata, hanya oleh kulit dan napas, oleh desah dan desir.
“Ah, Kak!”
Erangan Clarissa pecah seperti kelopak bunga yang mendesah pada pagi pertama musim semi—lembut, samar, namun menggetarkan. Dante tak bisa memastikan apakah suara itu lahir dari kesadaran atau dari alam bawah sadar yang telah lama mendamba disentuh. Tapi saat ini, logika dan batas hanyalah bayang-bayang yang mengabur. Yang ada hanya detak, desah, dan desir antara dua tubuh yang saling menghimpit, mencari pelampiasan dalam pelukan ranjang yang hangat.
Tubuh Clarissa—begitu lembut, begitu lentur—adalah surga dalam wujud manusia. Setiap lekuknya mengundang, setiap tarikan napasnya seolah menyihir Dante agar tenggelam lebih dalam, lebih dalam lagi, ke dalam pusaran yang ia ciptakan sendiri. Jemari Dante menyusuri kulit Clarissa seperti seorang pemuja yang membelai kitab sucinya. Ia tak sekadar menyentuh; ia menyembah.
Bibir mereka kembali berpaut, namun kali ini penuh kelaparan yang dibalut kelembutan. Bibir Dante menghisap, melumat, dan menyusuri batas antara kendali dan kebebasan. Lidahnya menjelajah, menari dalam kehangatan mulut Clarissa yang terbuka menyambutnya—seperti samudra yang menunggu badai, seperti langit yang membuka diri untuk petir.
Mereka bukan hanya dua tubuh yang bersentuhan. Mereka adalah dua nyala api yang akhirnya saling membakar.
“Kamu yang memulai Clarissa, kamu juga yang harus mengakhiri,” ucap Dante dengan napas tersengal.
Dante perlahan meninggalkan bibir Clarissa, seolah tak rela berpisah dari manis yang menggoda itu, namun dorongan untuk menjelajah membawa bibirnya menurun—mencari lahan baru yang sama menggairahkan. Ia mengecup leher Clarissa, sebuah jalan setapak yang memandu langsung ke altar godaan. Kulitnya basah oleh keringat, namun justru di sanalah letak pesonanya—halus, licin, hangat seperti satin yang terpanggang mentari.
Setiap inci leher dan bahu Clarissa adalah lukisan hidup yang ditorehkan oleh gairah. Dan Dante, dengan napas bergetar dan hati yang nyaris meledak, mengecapnya dengan rasa lapar seorang pria yang tersesat terlalu lama di padang gersang. Keharumannya bukan sekadar wangi tubuh; itu adalah aroma candu—perpaduan parfum, panas, dan sesuatu yang lebih primal—sesuatu yang membuatnya mabuk dalam euforia yang tak bisa dijelaskan.
Ia menciumi kulit di bawah telinga Clarissa, menghirup dalam-dalam, lalu tanpa sadar menghisapnya. Sekilas, seperti ingin menandainya, menjadikannya milik. Suara lembut yang keluar dari tenggorokan Clarissa—desahan setengah tertahan, setengah menyerah—menyambar udara seperti sihir, menggema di telinga Dante, dan membuatnya makin kehilangan arah.
“Sial! Aku jadi b*******h!”
Sayangnya cumbuan harus berakhir karena Clarissa merintih haus. Dante bergegas bangkit dari tubuh Clarissa untuk menuang air dari teko di atas nakas.
“Minumlah.”
Clarissa mengambil gelas berisi air, meneguk hingga tandas lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang. Menarik selimut hingga menutupi tubuh dan terlelap. Dante menatap tidak percaya, baru semenit yang lalu b******u dengan panas dan Clarissa tertidur begitu saja. Ia mengusap wajah Clarissa dengan lembut, menunduk untuk mengecup pipinya.
“Selamat tidur, mimpi yang indah.”