BAB 9

1768 Kata
Tertidur dengan gelisah di antara mimpi-mimpi yang datang silih berganti, Clarissa terbangun dengan kepala berdentum menyakitkan. Memijat kepala yang nyeri, ia membuka mata dan mendapati dirinya berbaring di ranjang besar dengan kamar luas yang remang-remang karena cahaya matahari menyelusup masuk lewat celah gorden. Ia menghela napas, mengenali di mana tempatnya berada. Kamar yang disiapkan Dante untuknya. Rupanya tadi malam mantan kakak iparnya itu yang menjemput di rumah Milea. Clarissa menggeliat serta menyibak selimut, bangkit dari atas ranjang dan mengayunkan kaki untuk duduk. Dalam keremangan pandangannya tertuju pada foto yang terbingkai di atas meja riang. Ia melagkah perlahan menuju jendela, mengambil remote yang terpasang di dinding untuk membuka gorden, Mengerjap saat sinar matahari menyorot masuk ke dalam ruangan yang seketika menjadi terang benderang. Mendekati meja rias, jemarinya meraih bingkai foto dan tertegun melihat orang-orang yang terabadikan di foto. Ia mengingat momen ini, saat Clementine baru saja melahirkan dan diambil foto di rumah sakit. Waktu itu kedua orang tuanya masih bugar, ada pula dirinya yang masih muda dan menggendong bayi di lengan. Mereka berfoto di dekat ranjang dengan Clementine setengah berbaring disanggap oleh Dante. Di dalam foto nampak pula orang tua Dante yang diingatnya sebagai pasangan suami istri yang baik dan ramah. Clarissa mendesah, mengusap permukaan foto dengan kesedihan tiba-tiba menyeruak memenuhi d**a. Saat momen ini terjadi, ia masih muda dan sedang menikmati kesenangan layaknya anak muda pada umumnya. Wajah-wajah bahagia terekam kamera, Clementine yang tersenyum dengan Dante menatap berseri-seri. Begitu pula orang tua mereka yang terlihat bahagia karena Kevin adalah cucu pertama dari dua keluarga. Waktu berlalu dengan cepat dan keadaan berubah drastis setelah Clementine meninggal. “Kak, seandainya kamu masih hidup tentu keadaan kita nggak akan sesuram sekarang,” gumam Clarissa sambil membelai foto Clementine. Sekarang Clarissa tahu kenapa Kevin mengira dirinya adalah mama anak itu karena wajahnya yang sekarang sangat mirip dengan Clementine yang ada di foto. Bagai pinang dibelah dua padahal bukan kembar. “Nggak ada gunanya menyesali apa yang terjadi, ya, Kak. Hidup terus berjalan dan semestinya untuk tetap menatap masa depan demi Kevin dan orang tua kita.” Tidak ingin terjebak dalam kesedihan berlarut-larut, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Melepas gaun, menyalakan pancuran dan membasuh tubuh dengan air hangat. Selesai semua ia menuju wastafel untuk menggosok gigi dan tertegun saat melihat bayangannya di cermin. “Hah, kenapa ada merah-merah di sini? Digigit nyamuk 'kah?” Clarissa mendekatkan leher ke cermin dan menggeleng bingung. Tidak terasa gatal tapi tanda merah di leher cukup menganggu. Mengusap-usap leher dengan wajah menyiratkan kebingungan yang sangat. Berusaha mengingat kapan dan di mana ada nyamuk menggigitnya. Bisa jadi saat di rumah Milea karena tidak mungkin di penthouse ada nyamuk berkeliaran. Selesai mandi, Clarissa berniat memakai kembali gaunnya tapi tertegun saat melihat tumpukan gaun baru di atas nakas. Ia tidak melihat saat masuk ke kamar mandi dan baru sekarang menyadarinya. “Apa gaun ini untukku?” gumam Clarissa. Mengambil salah satu mini dress merah danmemakainya, ternyata pas di tubuhnya. “Kak Dante baik amat. Sampai repot-repot beli baju buat aku.” Clarissa menggeledah tas dan menemukan perlatan make-up. Merias wajah sekedarnya dan hampir selesai saat terdengar ketukan keras. “Mamaa! Apa Mama udah bangun?” “Iya, Sayang. Bukan pintunya!” Kevin menerjang masuk saat pintu membuka, menubruk Clarissa dan melayangkan kecupan bertubi-tubi di pipi. “Mama, kata Papa hari ini aku bisa main seharian sama Mama.” Clarissa mengusap lembut wajah keponakannya. Kevin sangat tampan dan menggemaskan memakai setelan gaya warna biru dengan bagian atas kaos berkerah. “Memangnya kamu nggak sekolah?” Kevin menggeleng. “Hari ini libur, Mama tapi Papa ada kerjaan. Mama, jangan pergi, ya. Temani Kevin main.” Clarissa berusaha mengingat jadwal kerjanya, jangan sampai menyanggupi Kevin tapi ternyata dirinya sibuk. “Tolong ambilkan hape mama, Sayang.” Kevin turun dari pangkuan, mengambil ponsel di atas ranjang dan memberikan pada Clarissa. “Mama cek dulu ada jadwal kerja nggak. Kalau nggak ada, kita bisa main seharian.” “Iya, Mama.” Kevin kembali duduk di pangkuan Clarissa. Menunggu dengan sabar sampai jadwal selesai diperiksa. Clarissa menelepon Sesil untuk memastikan jadwal hari ini dan ternyata ada satu pekerjaan kecil yang harus dilakukan. “Kak, fitting terakhir untuk acara fashion show bulan depan. Ada tiga gaun yang akan kamu pakai.” Clarissa mendesah. “Baiklah, berikan alamatnya dan jam berapa aku harus ke sana. Kita Iangsung ketemu di sana saja, kamu nggak usah jemput aku.” Selesai menelepon asistennya, Clarissa mengusap-usap pipi Kevin. “Kamu udah sarapan, Sayang?” Kevin menganganguk. “Sudah, Mama.” “Oke, kita duduk di ruang tengah dan mama bacakan kamu buku cerita. Selesai makan siang temani mama kerja.” “Horee! Aku mau Mama!” Teriakan kebahagiaan dari bocah laki-laki yang kini melompat-lompat di atas ranjang membuat Clarissa tertawa. Kebahagiaan Kevin menular dalam dirinya karena akan membawa bocah itu bekerja. Ini pertama kalinya ia melakukan pekerjaan tidak hanya ditemani Sesil. Clarissa mengajak Kevin ke ruang tengah dan membacakan buku cerita, selesai itu bermain lego bersama dengan duduk bersimpuh di atas karpet tebal. Terlalu fokus dalam merangkai lego sampai Clarissa tidak menyadari ponselnya berdering. “Mama, itu Papa telepon,” ucap Kevin menunjuk pada ponsel yang bergetar. “Oh, ya, mama nggak dengar.” Clarissa menjepit ponsel di bahu dan meneruskan pekerjaan merakit lego. “Halo, Kak. Ada apa?” “Kamu udah bangun dari tadi?” Suara Dante terdengar cukup lirih di antara keriuhan yang samar-samar mencapai telinga Clarissa. “Aku bangun sejam lalu, lagi main sama Kevin. Kenapa, Kak?” “Nggak apa-apa, cuma mau bilang kalau aku ada pertemuan kemungkinan sampai malam. Aku nitip Kevin sama kamu.” “Santai aja, Kak. Aku nggak ada kerjaan penting kok hari ini. Sore mau bawa Kevin ke studio perancang.” “Nggak masalah, Kevin pasti senang ditemani mamanya. Ngomong-ngomong Clarissa, kamu ingat tadi malam?” Clarissa menyahut cepat. “Tadi malam aku mabuk parah, Kak. Maaf loh udah ngerepotin kamu dan terima kasih juga udah dijemput.” “Hanya itu? Kamu nggak ingat yang lain?” “Emangnya yang lain ada apa, Kak?” “Nggak apa-apa, ya udah kalau gitu.” Saat panggilan terputus, Clarissa lagi-lagi dibuat kebingungan. Memangnya apa yang terjadi tadi malam sampai-sampai Dante bertanya. Apakah ia melakukan sesuatu yang membuat malu saat mabuk? Seharusnya tidak, karena kalau itu terjadi Milea sudah pasti memberitahunya. Clarissa menyingkirkan kebingungan dan melanjutkan merakit lego. Duduk berdua di ruangan luas, beralas karpet tebal dengan tumpukan mainan di hadapan bukan hanya menjadi impiannya sejak dulu tapi juga keinginan orang tuanya. Clarissa tahu kalau papa dan mamanya menyimpan banyak mainan anak laki-laki yang dibeli khusus untuk Kevin dan sampai sekarang masih ada di lemari. Jonas mungkin stroke, tapi mengerti kalau cucunya kembali. Meski sedikit kesulitan tapi memeluk Kevin dengan erat dan air mata bercucuran. Begitu pula Lidya yang menggumam ingin hidup lebih lama demi menemani cucunya bermain. “Sayang, kamu harus sehat dan pintar. Bukan hanya demi mama dan papa tapi juga demi nenek dan kakek,” ucap Clarissa sambil membelai rambut Kevin. “Iya, Mama.” “Kalau gitu kita makan siang dulu. Selesai makan kamu ganti pakaian dan ikut mama pergi.” Rasanya benar-benar seperti punya anak, saat Clarissa menemani Kevin makan dan membujuknya agar menghabiskan sayuran. Membantu membasuh wajah dan berganti pakaian. Ingatan tentang dirinya mengasuh Kevin saat masih bayi kembali terbayang dan kini, rasa senang itu kembali datang menyergap. “Tampannya anak mama. Siap pergi sekarang?” “Horee!” Clarissa menggandeng Kevin menuju parkiran. Dante menyediakan mobil berikut sopir untuk mengantarnya. Clarissa merasa lega, dengan Kevin di sampingnya merasa tidak nyaman kalau naik taxi. Kevin sangat gembira, tidak berhenti berceloteh sepanjang jalan menuju studio. Clarissa berusaha sebaik mungkin untuk menjawab beragam pertanyaan yang keluar dari bibir bocah itu. Saat tiba di studio, Sesil sudah ada di sana. Terbelalak saat melihat Clarissa menggandeng Kevin. “Eh, jagoan kecil yang tampan ini siapa?” “Anakku. Tolong jagain saat aku sibuk, ya.” “Iya, Kak. Dengan senang hati,” ucap Sesil antusias. Mengulurkan tangan pada Kevin. “Ayo, Sayang. Ikut kakak sini biar Mama kerja sebentar.” Kevin menurut, meraih tangan Sesil dan bergandengan mengikuti Clarissa. Sesil tahu kalau Kevin ini adalah anak yang pernah diceritakan oleh Arfan. Keponakan Clarissa yang memang bisa dibilang anak. Clarissa mencoba dua gaun dan membiarkan sang perancang mengotak-atik gaun agar sesuai dengan tubuhnya. Ia sedang bersiap memakai gaun ketiga saat dari pintu muncul seorang perempuan yang melangkah gemulai ke arahnya. Ia mengenali perempuan berambut pendek itu. Berkulit sawo matang dengan wajah tirus, kecantikannya seolah bersinar saat memasuki ruangan. Clarissa mendesah, menyesal tidak buru-buru pergi. “Clarissa Sanders, nggak nyangka kita ketemu di sini. Ternyata kamu ikut peragaan bulan depan. Ckckck, nggak nyangka kalau model banyak skandal masih dipakai.” “Kimmy, apa kabarmu?” sapa Clarissa acuh tak acuh. “Bukan hak kamu untuk tanya apa kabarku,” dengkus Kimmy dengan judes. Clarissa mengangkat bahu. “Terserah.” Tidak memedulikan Kimmy, ia bergegas ke ruang ganti. Sialnya langkahnya diikuti Kimmy dan membuat kesal bukan kepalang. “Heran, jadi orang kagak ada malu kamu, ya. Udah tahu banyak skandal, bikin pamor peragaan tercoreng gara-gara kamu. Masih aja berani nunjukin muka di sini? Tebal muka, ye!” Clarissa memutar tubuh, menatap Kimmy sambil tersenyum kecil yang tidak mencapai matanya. Ia tidak pernah suka dengan Kimmy karena selalu ingin bersaing dan menjatuhkannya. Tidak ada yang menyangka akan bertemu di sini. Clarissa menggumam kesal pada diri sendiri karena tidak memeriksa daftar model yang terlibat peragaan ini. “Terserah apa katamu, kalau nggak mau sepanggung denganku bilang saja sama perancang. Jangan pakai alasan aku punya skandal tapi bilang kalau kamu takut kalah sama aku.” “Apaa? Hei! Berhenti!” Clarissa menutup pintu kamar ganti, memakai mini dressnya lagi. Untung saja gaun ketiga belum selesai sepenuhnya, ia tidak perlu berlama-lama di sini. Clarissa berharap Kimmy sedang sibuk saat dirinya selesai berganti menuju ke ruang tunggu. Ia melangkah tergesa dan nyaris menabrak seorang laki-laki di dekat pintu “Ups, sorry,” ucapnya cepat. Laki-laki berumur tiga puluhan itu memakai kacamata hitam dengan tubuh tinggi gempal memakai jas abu-abu yang tidak dikancing. Kulitnya tidak seputih Dante tapi juga bukan hitam. Laki-laki itu tidak beranjak dari tempatnya berdiri, tidak menyingkir untuk memberi Clarissa jalan tapi juga tidak merespon perminataan maaf. “Tolong minggir!” pinta Clarissa. Dari belakang terdengar lengkingan suara Kimmy yang membuat Clarissa mendesah. “Sayaang, kamu di sini?” Kimmy meraih lengan laki-laki berjas abu-abu. “Kenapa diam di sini? Kamu kaget bertemu Clarissa? Perempuan yang sudah menghancurkan pernikahan mamamu dan Pak Hamish?” Clarissa mengangkat wajah saat laki-laki itu membuka kacamata dan bicara dengan suara serak. “Halo, Clarissa. Gimana kabarmua? Senang sudah menghancurkan pernikahan mamaku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN