BAB 10

1501 Kata
Clarissa tidak percaya dengan harinya yang berjalan buruk. Di antara semua kebetulan yang terjadi di dunia, tidak menyangka akan bertemu dengan Kimmy yang secara kebetulan adalah pacar dari anak Maya. Ia tidak pernah mengenal Maya secara akrab, hanya tahu kalau dirinya sedang dituntut oleh perempuan itu karena dianggap berselingkuh dengan Hamish. Sampai sekarang tuntutan itu tidak sampai ke tangannya karena memang minim bukti. Apakah semua isu gosip itu mempengaruhi anak Maya dan membuat laki-laki berjas abu-abu ini membencinya? Clarissa tidak mengerti. Pandangannya tertuju pada Kimmy yang menyeringai dengan lengan bergayut mesra pada kekasihnya. Sebenarnya Clarissa tidak pernah peduli dengan Kimmy, meskipun dianggap saingan sekalipun. Lagi pula hubungan keduanya tidak pernah baik dari awal debut. Kimmy yang merupakan nepo baby alias anak dari seorang bintang film terkenal, jelas punya banyak keistimewaan darinya. Kenapa dirinya dianggap saingan dan dicemburui, sampai sekarang Clarissa tidak mengerti. Clarissa menggeleng, pandangannya tertuju pada Kimmy alih-alih pada laki-laki yang menghalangi jalannya. “Kimmy, bisa bawa pacarmu minggir? Menghalangi jalan soalnya.” Kimmy terkikik tanpa tahu apa yang lucu. “Kalau aku nggak mau, emangnya kamu bisa apa? Diddy hanya ingin kenalan sama perempuan yang sudah membuat mamanya menangis. Kenapa? Jangan bilang kamu takut sama kami. Kalau takut berarti benar kamu pelakorjahanam!” Clarissa mengepalkan tangan, ingin mengayunkannya untuk menutup mulut Kimmy tapi sadar ada banyak orang di sini. Ia terkenal tenang dalam menghadapi masalah, Kimmy sedang memprovokasinya dan tidak semestinya terpancing. “Terserah apa katamu, Kimmy. Aku harus pergi sekarang.” Clarissa menyamping tapi Diddy bergerak menutup jalan. Ia kembali ke tempat semula dan laki-laki itu mengikuti langkahnya. Membuat Clarissa kehilangan kesabaran. Mengibaskan rambut ke belakang, Clarissa melotot pada Diddy. “Denger, ya. Kita berdua nggak kenal satu sama lain. Sebaiknya jangan bersinggungan di tempat umum karena aku nggak mau bikin keributan.” Diddy mendengkus keras, menatap Clarissa dari atas ke bawah dengan tatapan kurang ajar. Matanya yang hitam pekat menyorot tajam sedangkan bibirnya melengkung membentuk seringai penuh hinaan. Diddy seakan sedang menilai Clarissa dengan terang-terangan. “Aku banyak dengar cerita dari Kimmy soal kamu. Awalnya aku pikir kalau Kimmy melebih-lebihkannya tapi ternyata benar. Kamu memang perempuan nggak tahu sopan santun. Harusnya sekarang kamu bersujud dan meminta maaf padaku karena sudah membuat keluargaku hancur. Mamaku menangis karena papa tiriku berselingkuh dan sebagai selingkuhan harusnya kamu bersikap tahu malu dan tahu diri!” “Bravoo! Kamu mengatakannya dengan baik, Sayang. Perempuan ini memang nggak tahu malu!” Kimmy berteriak sambil bercepuk tangan, seolah Diddy baru saja melakukan hal yang membanggakan. Clarissa tersadar kalau tidak akan mudah lepas dari pasangan kekasih di depannya, mulai memutar otak untuk mencari jalan keluar. Ia tidak ingin terlibat pertengkaran dan pertikaian yang mengundang masalah. Wartawan selalu muncul di tempat para selebrity berkumpul dan Clarissa yakin kalau di sini pun akan sama kondisinya. Sebelum masalah membesar, ia harus pergi dari sini. “Jangan harap kamu bisa pergi sebelum meminta maaf. Nggak akan semudah itu!” gumam Diddy memberi ancaman. Clarissa menghela napas panjang. “Oke, aku nggak akan kabur tapi aku akan melakukan ini. Hah!” “Aduuh!” Diddy berteriak saat Clarissa menginjak kakinya. “Sial!” “Sayang, kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit? Sayang, aduh jangan nangis. Clarissa sialaan!” Setelah menginjak kaki Diddy dan mendorong tubuh Kimmy, Clarissa bergegas ke ruang tunggu anak. Menatap panik pada Kevin yang sedang bermain dengan Sesil dan memanggil keduanya. “Sayang, kita pulang sekarang! Sesil, kamu lewat depan. Aku sama Kevin lewat samping!” “Kenapa, Kak?” tanya Sesil bingung. Clarissa merangkulnya. “Ada Kimmy yang sedang kejar aku. Tolong bantu aku, Sesil.” Sesil terbeliak lalu mengangguk. “Nggak usah kuatir. Serahkan padaku, Kak!” “Makasih, loh!” Clarissa menggandeng Kevin dan mengajaknya berlari menyusuri lobi dengan lantai mengkilat. Terdengar teriakan Kimmy di ujung lorong dan dihadang oleh Sesil. “Kak Kimmy, awas resletingmu turun!” “Minggir lo gadis miskin!” teriak Kimmy. “Gue mau ngomong sama Clarissa!” “Kak Kimmy, ada banyak wartawan masa pakai rok resletingnya turun?” Kimmy menggeram kesal saat melihat Clarissa keluar dari pintu dan menghilang bersama bocah laki-laki dalam genggaman. Ia mengalihkan pandangan pada Sesil yang sengaja menghalangi dan menuding keras. “k*****t! Kamu bisa lolos kali ini,jangan harap lain kali bisa terjadi hal yang sama!” Sesil menghela napas lega saat Kimmy membalikkan tubuh dan menghampiri laki-laki berjas abu-abu yang menunduk untuk memeriksa sepatu. Sesil tahu dari dulu hubungan serta persaingan antara Clarissa dan Kimmy selalu sengit, tidak tahu apa yang terjadi hari ini. Ia bersyukur Clarissa menghilang dengan Kevin sebelum terlibat pertengkaran lebih sengit. Tiba di penthouse setelah terbebas dari kejaran Kimmy, Clarissa ingin membantu Kevin mandi tapi ditolak. Keponakannya mengatakan kalau dirinya bisa mandi sendiri. Clarissa memujinya habis- habisan. Kepalanya yang berdenyut nyeri saat bangun tidur kini kembali terasa. Bisa jadi karena dalam kondisi marah dan dirinya belum makan seharian. Ia duduk di ruang tengah setelah berganti pakaian, memotong satu buah apel dan memakannya sambil melamun. Ia memikirkan kebencian Kimmy, ditambah perselisihan dengan Diddy. Clarissa merasa hari-harinya akan lebih sulit. “Mama, aku udah mandi.” Kevin mendekat, Clarissa mengecupi wajahnya. “Anak mama tampan. Mau main lagi?” “Iya, Mama.” Nyatanya Clarissa yang kelelahan tidak dapat menahan kantuk. Ia tertidur di sofa dengan Kevin menggelar Iego di atas karpet. Ruangan yang sunyi dengan pendingin udara membuatnya terlelap dan jatuh dalam tidur yang dalam. Tidak bereaksi saat pintu membuka dan Dante muncul. “Papa pulaang!” Kevin bangkit menyongsong kedatangan sang papa. “Anak papa bersikap baik hari ini?” tanya Dante sambil memeluk anaknya. “Nggak nakal main sama Mama?” Kevin menggeleng.”Nggak nakal, Papa. Mama hari ini berantem sama orang.” Dante terkejut menatap anaknya. “Benarkah? Sama siapa?” “Seorang tante, Papa. Nggak tahu siapa. Lihat, Mama kecapean lari jadi bobo.” Kevin kembali ke tempatnya duduk, Dante melonggarkan dasi dan memberikan tas serta jas pada pelayan. Ia menghampiri sofa di mana Clarissa terlelap. Wajah yang cantik tertidur damai dengan dengkuran halus keluar dari bibirnya. Siapa perempuan yang ribut dengan Clarissa? Ada masalah apa sampai dua perempuan berkelahi? Sama seperti malam sebelumnya, Dante tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah Clarissa. Ia membelai Iembut pipi, dahi, lalu ke leher yang memerah. Tersenyum karena mengingat kalau tanda merah itu ia yang membuat. Saat sedang merapikan anak-anak rambut, Clarissa mendadak membuka mata. “Kak, udah pulang?” Dante tersenyum. “Tidurmu nyenyak.” Clarissa mendesah, duduk sambil meregangkan tubuh. Tangannya terentang ke depan dan menguap. “Lumayan, Kak. Kayaknya ada setengah jam aku ketiduran.” “Kamu belum makan malam?” “Udah, tadi makan apel.” “Hanya apel? Mana kenyang?” Clarissa yang terbiasa mendengar pertanyaan senada hanya tersenyum. Sebagai model profesional ia dituntut untuk punya tubuh ramping. Makanan yang masuk ke perut harus dihitung kalorinya dengan tepat. Tidak boleh terlihat gemuk apalagi sampai naik berat badan menjelang peragaan busana. “Cukup, kalau lapar aku bisa makan apel satu lagi. Kak Dante bisa makan ditemani Kevin. Hari ini dia temani aku kerja dan nggak sempat makan cemilan karena buru-buru pu|ang.” Dante menyandarkan kepala di sofa dan kaki berselonjor, melirik Clarissa yang menawan dalam balutan baju rumah yang dibelikannya. Aura seorang model memang Iain, meskipun baju berpotongan sederhana terlihat mewah dan menarik kalau Clarissa yang memakai. “Kevin bilang kalian berantem? Dengan siapa?” Clarissa tercengang lalu tertawa. “Bukan kami yang berantem, Iebih tepatnya aku yang ribut dengan sesama model. Biasa, persaingan dalam kerja, Kak.” “Oh, nggak ada yang serius sampai membahayakan nyawa?” “Nggak, Kak. Aman kalau sama aku.” Clarissa menyeringai lalu menunduk saat Dante menatapnya. Ia teringat akan pesan yang dikirim Milea untuknya. Pujian pada Dante yang menggendongnya dengan tegap dan kuat. Pujian Milea meletup-letup dimulai dari lengan yang kokoh, bahu Iebar, serta tenaga yang kuat. Semua pujian itu terpatri dalam benak dan membuatnya malu. Dante memang tampan dan perhatian, tapi tindakannya yang rela menggendong pulang adalah hal yang patut diapresiasi. Clarissa merasa harus mengucapkan terima kasih dengan benar. “Kak, makasih udah jemput aku tadi malam. Kalau kamu nggak jemput, bisa-bisa aku tidur di rumah Milea.” “Kamu gampang mabuk tapi tetap minum alkohol?” “Ya, namanya juga iseng, Kak. Kamu nggak tahu kalau dekat sam Milea, ada aja ide buat foya-foya. Kami memang seaneh itu.” Dante tidak menjawab perkataan Clarissa. Jarinya terulur ke arah Ieher jenjang yang tidak tertutupi kain. Baju Clarissa mempunyai garis Ieher rendah yang membuat area Ieher dan d**a bagian depan tidak tertutupi. “Merah sekali ternyata,” ucap Dante sambil mengusap-usap Ieher Clarissa. Tidak peduli melihat Clarissa berjengit kaget. “Oh, ya, ini kayaknya bekas gigitan nyamuk, Kak,” sela Clarissa cepat. Sentuhan jari Dante di lehernya membuat d**a berdebar. Dante menggeleng. “Bukan, merah ini bukan karena gigitan nyamuk tapi karena aku.” “Karena Kak Dante? Maksudnya?” Dante mendekat dan berbisik lembut di telinga Clarissa. “Kamu lupa tadi malam kita berciuman dengan panas. Aku menghisap lehermu dan bisa dikatakan merah itu karena gigitan cinta. Clarissa, kamu sangat luar biasa saat sedang merayuku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN