Sepanjang usia Clarissa, tidak pernah semalu ini dalam menghadapi situasi. Ia pernah nyaris terpeleset di cat walk dan bangkit lagi dengan cepat, serta bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Pernah juga salah kostum saat pergi ke sebuah pesta dan menjadi bahasan para pemerhati fashion. Yang paling parah adalah saat beragam gosip tentang dirinya muncul, dari mulai tuduhan berpacaran, foto yang diambil wartawan secara diam-diam saat wajahnya sedang break out lalu beredar luas.
Clarissa menghadapi semua kekacauan itu dengan tenang dan tanpa kesal. Namun, tidak untuk yang satu ini. Bagaimana ia bisa menghadapi d**a yang berdebar keras, jantung yang berdetak tidak menentu dan wajah yang mendadak terasa hangat. Tidak pernah ada seorang laki-laki yang secara blak-blakan mengatakan soal gigitan cinta, ciuman, serta cumbuan yang panas? Kapan ia melakukan hal itu? Tadi malam? Saat sedang
mabuk? Rasanya sulit dipercaya.
“Kamu pasti bingung dan menganggapku berbohong. Percayalah, apa yang aku katakan itu benar, Clarissa.”
Dante berkata dengan jari mengusap-usap leher Clarissa. Menikmati kehalusan dari kulit yang putih dan bersih. Ia menyukai bola mata Clarissa yang bersinar penuh tanya bercampur kengerian. Yakin kalau Clarissa saat ini sedang berusaha mengubur malu dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
“Tadi malam kamu mabuk, ingat?”
Clarissa mengangguk. “Ingat.”
“Aku menggendongmu pulang, Milea harusnya bilang soal ini sama kamu.”
Clarissa menjawab dengan tenggorokan yang terasa kering. “Iya.”
Dante tersenyum seperti serigala yang sedang menghadapi domba kecil yang ketakutan. Wajah Clarissa yang kebingungan seperti ini memang sangat menggemaskan. Kepolosan yang ditunjukkan bukan hal yang dibuat-buat.
“Sepanjang jalan kamu terus mencercau. Memaki dua sepupumu, nasibmu, utang-utang orang tua dan banyak lagi.”
Clarissa mendesah dan berniat memalingkan muka tapi Dante menhana wajahnya dengan dua tangan. Tidak mengijinkan Clarissa memandang arah lain.
“Jangan malu, yang aku katakan ini benar adanya.”
“Kak, kenapa harus bahas masalah ini sekarang?” tanya Clarissa bingung.
“Biar kamu mengerti situasinya. Ngomong-ngomong, aku akan lanjutkan ceritanya tentang bagaimana kamu menahan leherku saat aku hendak bangkit dan mengecup bibirku.”
Clarissa terbelalak mendengar perkataan Dante. “Apa? Aku mengecupmu? Itu nggak mungkin.”
“Clarissa, untuk apa aku berbohong?” ucap Dante dengan wajah dibuat sendu. Niat hati memang ingin menggoda Clarissa yang polos dan mudah percaya omongan orang Iain. Ia tidak tahu apakah Clarissa akan mempercayai ucapannya ini.
“Kamu bilang terima kasih, bukan hanya mengecupku tapi juga mengulum bibirku. Dengan terpaksa aku menghisap lehermu karena kamu sulit untuk melepaskan aku.”
Clarissa kehilangan kata mendengar cerita Dante yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Ia mengusap Ieher di mana ada tanda merah, bulu kuduknya meremang saat membayangkan sikap genitnya kala sedang mabuk. Apa yang ada dalam pikirannya, Clarissa sendiri tidak mengerti.
“Kak, aku—”
“Sst, jangan menyangkal Clarissa. Kamu nggak tahu hatiku sakit setelah apa yang terjadi tadi malam dan kamu mengingkarinya?”
“Kak, aku mabuk. Memangnya orang mabuk suruh ingat apaan?”
“Ckckck, Clarissa. Kamu menodai kepolosanku. Apa kamu tahu berapa lama aku menduda? Lebih dari tujuh tahun dan selama aku menduda, nggak pernah kenal perempuan lain apalagi sampai berdekatan. Kamu datang, mencuri ciuman dariku dan mengingkarinya. Tega kamu, Clarissa!”
Tercengang dengan pernyataan Dante yang didramatisir membuat Clarissa kehilangan kata. Dalam hal ini ia yang tidak ingat apa pun, kenapa harus mempertanggung jawabkan perbuatan yang tidak dimengertinya? Ia menatap Dante lekat-lekat dan saat melihat senyum kecil tersungging di ujung bibir, mengerti kalau sedang dikerjai. Clarissa mengulurkan tangan ke arah pinggang Dante dan mencubit keras.
“Terus aja ganggu aku, Kak. Terusin!”
“Aww, sakit Clarissa. Aduh tanganmu kenapa sakit banget?”
“Ini baru cubitan, ya. Kalau lain kali menggodaku Iagi, lihat apa yang bakalan aku Iakukan sama kamu!”
Clarissa melotot, Dante menyambar tangannya yang sedang bergerak di udara. Membuka paksa telapak tangan dan melayangkan kecupan di sana. Tubuh Clarissa seketika menegang karena perbuatan Dante. Apakah pengaruh pergaulan di luar negeri yang membuat Dante mudah untuk mengecup dan memeluk seorang perempuan? Apakah sudah biasa melayangkan kemesraan untuk perempuan yang bukan kekasih?
Mereka baru bertemu beberapa Minggu saja. Belum terlalu akrab satu sama lain setelah terpisah bertahun-tahun. Clarissa merasa Dante terlalu frontal dalam bersikap dan membuatnya sedikit bergidik. Sebagai artis dan model, Clarissa banyak melihat hubungan para pesohor kelas atas. Bukan rahasia lagi kalau mereka sering sekali bergonta-ganti pasangan bahkan hidup bersama tanpa menikah.
Kebebasan dalam pergaulan seperti itu tidak pernah membuatnya tertarik. Bukan karena dirinya sok suci tapi memang tidak ingin terperosok dalam gaya hidup yang menurutnya terlalu bebas dan kotor. Membayangkan orang tuanya yang sudah renta akan menghadapi kehidupan sosialnya yang amburadul tentu akan sangat menyakitkan. Clarissa selalu memikirkan kedua orang tuanya sebelum melakukan sesuatu hal.
Sekarang ini, Dante mengecupi telapak tangannya dan membuat Clarissa terdiam kaku. Perasaan yang aneh merambatinya karena orang yang melakukan kemesraan secara fisik pernah dikenalnya dulu. Bukan orang baru, bukan pula orang yang terlibat di industri yang sama dengannya. Namun, bisa dikatakan Dante adalah
keluarganya. Bagaimana bisa keakraban antar saudara berubah intim seperti ini?
“Kamu pasti bingung, Clarissa?”
Clarissa menghela napas panjang, berusaha menarik tangannya dari genggaman Dante tapi sulit. “Memang.”
“Merasa aneh dengan yang terjadi antara kita?”
“Ya, anggap saja begitu.”
Dante memiringkan wajah, tersenyum lebar pada mantan adik iparnya yang jelita. Wajah rupawan Clarissa bukan hanya memerah tapi binar matanya berselimut kabut kebingungan yang teramat sangat.
“Bagaimana kalau kita saling belajar satu sama lain? Apa kamu mau?”
Clarissa mengernyit. “Maksudnya gimana, Kak?”
Dante kembali mengecup telapak tangan Clarissa. Kali ini dengan Iebih lembut dan Iebih hangat dari sebelumnya. Seolah ingin membuktikan pada Clarissa kalau sebuah sentuhan bisa membuat hati dan d**a menjadi Iebih riang
dan hangat tentunya.
“Aku akui kalau masih polos soal percintaan. Terutama setelah ditinggal sama kakakmu. Tiap hari yang aku lakukan hanya bekerja dan mengasuh Kevin, sampai nyaris nggak punya waktu menjalin hubungan. Ciuman yang kita lakukan tadi malam membangkitkan sesuatu dalam diriku. Gairah, hasrat, keinginan untuk menyentuh dan disentuh seorang perempuan yang selama ini mengendap di d**a, menyeruak keluar karena kamu.”
Dante menghela napas panjang, menjeda omongannya untuk memberi kesempatan pada Clarissa mencerna. Ia tahu sudah membuat bingung dan kikuk, Iebih baik kalau dijelaskan sekarang dari pada salah paham nantinya.
“Clarissa, apa kamu mau mencoba untuk menjadi dekat denganku?”
Clarissa mengernyit bingung. “Dekat gimana? Bukannya selama ini kita udah dekat, Kak?”
“Memang, hanya sebagai saudara. Aku ingin kita Iebih dari itu. Mau nggak kamu coba untuk mejadi kekasihku, Clarissa?”
Clarissa menahan napas, ajakan menjalin hubungan dari Dante sangat mengejutkannya. Setelah pertengkaran tidak masuk akal dengan Kimmy, tanda merah di leher yang ternyata hasil gigitan Dante dan sekarang ajakan untuk berpacaran. Clarissa merasa terlalu banyak hal terjadi dalam hidupnya selama satu hari ini.
“Mungkin kamu bingung kenapa mendadak aku mengajakmu untuk menjalin hubungan. Alasan sebenarnya adalah karena kita kenal satu sama lain dan juga, Kevin sangat dekat denganmu. Perempuan yang menjadi kekasihku wajib menyayangi anakku dan kamu melakukannya dengan baik, Clarissa.”
“Kak, kamu ini aneh. Kevin itu keponakanku. Jadi wajar aja kalau aku sayang sama dia.”
“Memang, tapi kedekatan kalian itu luar biasa. Clarissa, dengan gaya hidup serta pekerjaanmu yang gemerlap tapi menyimpan kelembutan dan kasih sayang untuk anak-anak adalah hal yang luar biasa. Aku jadi ingat sama—”
“Mendiang Kak Clementine, benar nggak?”
Dante tidak menjawab karena Kevin bertanya padanya tentang lego dan kesulitan yang sedang berusaha dipecahkan. Sementara Dante menjawab pertanyaan Kevin, membuat Clarissa bisa sedikit bernapas. Ia sudah tahu apa tanggapan Dante tentang pertanyaan yang terlontar dan ternyata benar.
“Memang, Clementine punya kesabaran dalam menghadapi anak-anak. Kami dulu sering main ke panti asuhan, selain untuk menyumbang juga untuk menghibur anak-anak. Yang dilakukan Clementine saat itu persis seperti sikapmu sekarang pada Kevin.”
Clarissa tertawa Iirih. “Sudah aku duga.” Ia bangkit dari sofa menuju kamar. “Aku harus merapikan barang-barang, nggak bisa nginap malam ini. Harus pulang karena besok pagi-pagi syuting iklan.”
Dante membuntuti langkah Clarissa, merasa tidak enak hati karenajawabannya takut membuat tidak nyaman. Padahal ia sedang menceritakan masa lalu.
“Clarissa, kamu marah sama aku?”
Clarissa berhenti di tengah pintu, menatap lekat-lekat pada laki-laki yang berdiri serba salah di hadapannya. Seorang direktur perusahaan besar, laki-laki kaya raya dan juga mantan kakap iparnya bukankah manusia yang mudah merasa takut. Dante saat ini justru terlihat kuatir melihatnya.
“Untuk apa aku marah, Kak Dante sudah bercerita kebenaran tentang Kak Clementine. Aku hanya ingin tekankan satu hal, Kak. Nggak peduli mau semirip apa pun kami. Entah dari bentuk wajah maupun cara kami bersikap, aku adalah Clarissa dan bukan Clementine.”
Dante mengangguk cepat. “Memang, aku tahu kamu Clarissa dan bukan Clementine.”
“Bagus kalau Kak Dante ingat. Karena dari awal mengajak menjalin hubungan bukan perasaan yang Kakak tekankan tapi kedekatan kita. Kak Dante berpikir menjalin hubungan denganku akan sangat mudah dan nyaman karena kita dekat. Iya, Kak?”
“Memangnya apa yang salah dengan itu?”
“Nggak ada yang salah, Kak Dante sudah sangat jujur. Satu hal yang harusnya kamu tahu, Kak. Aku ingin menjalin hubungan dengan laki-laki yang secara tulus mencintaiku. Bukan karena alasan kedekatan atau anak. Kak Dante, aku Clarissa dan bukan Clementine. Sebaiknya hentikan pikiran kalau kami mirip, karena kami hanya mirip secara wajah tapi nggak serupa untuk hal lainnya.”
Dante berdiri tertegun di depan pintu yang menutup. Kehilangan kata untuk menyangkal perkataan Clarissa. Kebingungan apakah benar perasaannya pada Clarissa karena dekat atau memang suka?
Dante meneguk ludah. Untuk kali ini akan membiarkan Clarissa pergi lebih dulu sebelum dirinya yakin tentang perasaan yang sekarang sedang menggelora dalam d**a. Apakah karena masa lalu atau justru terusik masa sekarang? Dante akan mencari tahu tentang hatinya Iebih dulu agar tidak ada hati yang terluka.