Clarissa kembali ke apartemen tanpa makan malam bersama Dante dan Kevin. Dengan dalih banyak pekerjaan, ia meninggalkan penthouse yang Kevin merengek untuk memintanya tetap tinggal. Sebenarnya Clarissa juga senang di sana, bermain dengan keponakannya sepanjang waktu. Sayangnya debar yang dirasakannya untuk Dante membuat kikuk. Bagaimana kalau ternyata getar itu hanya sesaat?
Dante yang kesepian merindukan kasih sayang perempuan dan dirinya tepat di depan mata. Berparas mirip dengan Clementine, mencintai Kevin dan nyaman berdekatan satu sama lain. Bukankah tiga alasan itu cukup untuk membuat Dante merasa kalau cinta sebenarnya memang ada di antara mereka. Sayangnya bukan seperti itu isi hati Clarissa.
“Aku ingin cinta yang benar-benar cinta. Bukan jadi gantinya Kak Clementine atau jadi ibunya Kevin.”
Clarissa mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemennya yang tidak terlalu luas tapi nyaman. Berdiri di dapur dengan kopi panas di dalam cangkir. Berbeda dengan penthouse Dante yang megah dan mewah, apartemennya hanya tempat biasa yang penuh dengan pernak-pernik cantik. Ia menjadikan tempat ini bukan untuk ditinggali melainkan hanya untuk tidur saja.
Ada lima lemari berderet dekat dinding dalam satu ruang kosong. Saat dibuka tiga dari lima lemari itu penuh dengan pakaiannya. Belum lagi satu lemari lain untuk tempat sepatu dan lemari terakhir sebagai tempat penyimpanan tas.
“Mungkin akan lebih bagus kalau kamu punya apartemen yang lebih luas dengan walk in closet.”
Sesil mengatakan idenya suatu hari saat melihat banyak barang milik Clarissa berada di atas lantai. Pakaian baru dari brand yang belum sempat dibuka dan tergeletak begitu saja. Kadang-kadang saat sedang senggang, Clarissa iseng membuka market place. Melihat pakaian dengan model unik dan lucu lalu membelinya. Hasilnya adalah pakaian itu tidak pernah dibuka dari semenjak datang.
Membawa kopi ke sofa dan duduk di sana sambil menyilangkan kaki, Clarissa meraih ponsel. Membaca pesan dari Sesil tentang jadwal terbarunya. Selama dua hari ini ia mengurung diri di apartemen dan tidak bepergian ke manapun. Pekerjaan barunya mengharuskan dirinya terbang ke luar kota pagi buta dan sampai sekarang belum menyiapkan koper. Ia mengirim pesan pada Sesil, memintanya datang sekarang juga untuk membantu merapikan koper.
“Sekalian kamu tidur di sini, Sesil. Biar besok pagi-pagi kita nggak repot.”
Untungnya Sesil tidak membantah, mengatakan akan tiba dalam waktu dua jam. Clarissa sedang bersiap mandi saat Sesil datang.
“Di kulkas ada makanan kalau kamu lapar. Masak aja yang ingin kamu masak, kalau nggak cukup pesan saja.”
“Asyik! Aku mau makan enak.”
Ternyata kulkas Clarissa kosong, Sesil dengan kecewa mengatakan hanya ada air mineral di dalamnya. Clarissa terkekeh, memberikan uang pada Sesil untuk membeli makanan di bawah.
“Sekalian belikan aku satu ubi panggang di supermarket. Kalau nggak ada apel pun boleh.”
Sesil kembali turun, Clarissa bergegas untuk mandi. Saat telanjang dan mengguyur tubuh, ia kembali teringat perkataan Dante tentang kecupan mereka dan bergidik ngeri. Membayangkan dirinya berciuman dengan penuh nafsu bersama mantan kakak ipar adalah hal di Iuar nalar. Namun, ia berusaha mengingat kembali tentang perasaannya setiap kali bersama Dante dan menurutnya itu bukan hal mustahil.
Keluar dari kamar mandi ia dikejutkan oleh Sesil yang berlari masuk dan membanting pintu dengan napas tersengal. Ada dua kantong belanjaan di tangan yang dijatuhkan begitu saja saat masuk.
“Kamu kenapa? Kayak lihat hantu?” tanya Clarissa.
Sesil menegakkan tubuh, mengatur napas
sebelum bicara. “Gawat, Kak. Di lobi banyak wartawan.”
Clarissa mengernyit. “Banyak wartawan? Untuk apa?”
Sesil menggeleng. “Aku baru mau cari tahu. Untung aku keluar pakai hoodie jadi mereka nggak ngenalin aku. Para wartawan gosip yang sering kita lihat ngejar-ngejar kamu.”
Clarissa mendesah kesal, sudah tidak terhitung berapa kali dirinya pindah apartemen gara-gara wartawan dan fans yang membuat ruang geraknya terbatas. Entah apa yang terjadi di luar sana, sampai-sampai wartawan menyerbu tempatnya. Ia bergegsa ke kamar untuk mengeringkan rambut dan berjengit saat Sesil berlari masuk.
“Lihat, Kak. Kamu masuk berita lagi. Berantem sama Kimmy dan katanya kamu mengamuk sama Diddy!”
Clarissa tidak percaya dengan apa yang didengarnya tapi ternyata benar adanya. Kimmy menangis tersedu-sedu di hadapan wartawan, mengatakan kalau Clarissa datang dan mengamuk. Potongan video wawancara beredar di internet.
“Aku dan Diddy berusaha menasehatinya untuk nggak ganggu pernikahan orang tua kami. Ternyata Clarissa nggak mau dengar, mengamuk, memaki, dan juga berani menyakiti Diddy. Kasihan kekasihku, dia hanya ingin membela mamanya tapi harus berakhir seperti ini.”
Entah dari mana Kimmy mendapatkan rekaman CCTV yang menunjukkan Clarissa menginjak kaki Diddy. Hanya bagian itu saja yang ditunjukkan pada wartawan dan membuat Clarissa terpojok.
“Sialan!” maki Clarissa keras. “Bisa-bisanya dia memotong rekaman CCTV?”
Sesil mengambil ponselnya dari atas ranjang Clarissa. “Gimana, Kak? Pasti sulit untuk keluar dari apartemen ini besok. Para wartawan itu akan stay di |obi.”
Clarissa terdiam sesaat, memikirkan jalan keluar untuk masalahnya. “Telepon Pak Arfan, Dia harusnya ada jalan keluar.”
Arfan mengamuk tentu saja, mengomeli Clarissa panjang Iebar. Mengatakan kalau Clarissa terlalu sembrono berani berhadapan langsung dengan Kimmy. Clarissa memotong amarah Arfan yang menggebu-gebu dengan satu pertanyaan singkat.
“Gimana caranya keluar dari sini besok pagi? Banyak wartawan, akan sulit menembus kerumunan.”
Arfan terdiam sesaat lalu bertanya. “Aku bisa mengusahakan untuk mendatangkan dua bodyguard untukmu. Cukup harusnya.”
“Mana cukup, Pak.” Sesil menyela karena percakapan menggunakan pengeras suara. “Tadi saya turun ke lobi, ada puluhan wartawan. Dua bodyguard mana cukup? Bisa-bisa kami jadi peyek dikeroyok.”
“Aduh, gimana, dong? Bodyguard yang lain sedang mengawal Nikita. Kalian tahu sendiri kalau Nikita nggak mau kerja kalau nggak dikawal?”
Nikita adalah seorang penyanyi populer yang lagunya sedang meledak di pasaran. Berada di bawah agency yang sama, Nikita yang punya penggemar sangat banyak ingin tetap aman dan terlindungi. Meminta setidaknya enam bodyguard untuk menjaga. Clarissa merasa sangat jengkel tapi mau bagaimana lagi. Keadaan sedang genting sekarang. Syuting esok hari tidak dapat ditunda atau dirinya dapat pinalti.
“Clarissa, coba minta tolong mantan kakak iparmu itu.”
Perkataan Arfan membuat Clarissa bingung. “Hah, Kak Dante? Kenapa?”
“Bukannya dia pernah nolong kamu di bandara? Maksudku adalah, minta dia pinjam atau ngirim bodyguard buat kamu. Biar besok bisa keluar dari lobi dengan aman.”
“Nggak enaklah pakai ngerepotin orang. Ini urusan kerjaan bukan pribadi.”
“Aku tahu, tapi ini mendesak. Kata lainnya adalah kita kepepet. Dari pada kena masalah dengan brand? Pokoknya urusan bodyguard aku serahkan sama kamu.”
Clarissa ingin marah dan mengamuk pada Arfan tapi panggilan sudah diakhiri. Ia menghela napas panjang, memberi tanda pada Sesil untuk keluar dari kamar. Menimbang-nimbang sesaat dan melakukan panggilan pada Dante. Sebenarnya ia enggan melakukan ini, baru keluar dari penthouse beberapa hari dan kini harus telepon meminta bantuan. Padahal semestinya menjadi tanggung jawab agency-nya.
“Ah, Arfan sialan! Nggak mau tanggung jawab!” maki Clarissa kesal.
Setelah menyingkirkan rasa malu, ia mulai menelepon Dante dan diangkat dalam dering kelima.
“Ya Clarissa.”
Suara berat laki-laki itu menandanya sedang istirahat.
“Kak, maaf ganggu. Pasti lagi tidur, ya?”
“Baru mau terpejam. Ada apa?”
“Kak, mau minta bantuan.”
“Ya, bantuan apa”
“Itu, boleh nggak minjam bodyguard?”
“Bodyguard? Buat apa?”
Clarissa menceritakan secara detil tentang apa yang terjadi di padanya mengenai Kimmy dan kerumunan wartawan. Termasuk kesulitan yang akan menimpanya kalau sampai tidak datang ke acara syuting besok pagi.
“Jam berapa kamu ke bandara?” tanya Dante setelah Clarissa selesai bercerita.
“Jam tiga, Kak. Pesawat jam tujuh pagi.”
“Oke, aku akan mengirim orang ke apartemenmu. Berikan saja alamatnya. Saranku kamu sekalian packing pakaian yang lebih banyak. Untuk berjaga-jaga kalau nggak bisa pulang ke apartemen selama ada wartawan.”
“Iya, Kak. Makasih.”
“Untuk apa terima kasih, sudah semestinya aku membantumu.”
Clarissa tidur dengan gelisah malam itu, menunggu datangnya esok pagi dengan hati berdebar tidak nyaman. Sebelumnya ia menelepon sang mama untuk memastikan kalau mereka aman. Itulah gunanya hidup terpisah dari orang tuanya. Saat dirinya terkena masalah orang tuanya tidak ikut terseret.
Keesokan paginya saat Clarissa dan Sesil baru saja selesai bersiap, pintu apartemen diketuk. Ada sekitar delapan bodyguard berseragam hitam yang siap mengawalnya.
“Mari, Nona. Ikuti kami.”
Clarissa mengangguk. “Terima kasih.”
Seorang laki-laki bertubuh gempal yang merupakan pimpinan mereka memberi perintah pada anak buahnya.
“Perhatian! Utamakan keselamatan kedua nona ini. Jangan sampai ada kekerasan atau membuat para wartawan terluka. Kalau keadaan di luar kendali, kalian bebas untuk bertindak asalkan jangan ada korban jiwa.”
“Siaap!”
Clarissa menghela napas panjang, melangkah di tengah para bodyguard dengan Sesil tercengang di sampingnya.
“Ya ampun, Kak. Aku merasa sangat keren kayak miss universe karena dikawal banyak orang.”
Clarissa tersenyum pada asistennya. “Jangan sampai kamu terjatuh.”
“Iya, Kak. Aku bisa jaga diri.”
Sesil menyeret dua koper di tangan sementara Clarissa memegang tas bahu dan memakai kacamata hitam. Keluar dari lift keadaan sangat kacau saat para wartawan menyerbu.
“Minggir! Jangan menghalangi jalan!” bentak pimpinan bodyguard.
“Clarissa, benar terlibat pertengkaran dengan Kimmy?”
“Clarissa, apa benar kamu berselingkuh dengan Hamish?”
“Clarissa, tolong berikan kata-katanya!”
Para wartawan merengsek maju, Clarissa tetap membisu hingga tiba di teras dan dirinya diarahkan para bodyguard untuk masuk ke mobil mewah warna putih. Saat duduk di jok belakang, ada Dante yang tersenyum padanya.
“Selamat pagi, Clarissa.”