“Bim, masih ingat temanku Hilda? Dia kemarin pamer cincin, katanya seminggu yang lalu dilamar pacarnya. Lengkap juga dia beritahu berapa karat mata berliannya, terus tempat belinya di mana. Maksudku gini lho, kalau memang kita tidak bisa tunangan sekarang, kamu cukup kasih uang ke aku buat beli cincin. Aku anggap itu seperti hadiah-hadiah biasa, mengingat kamu statusnya masih menikah.” Saya menghela napas berat mendengar kata-kata Alin. Bukan karena keinginan membeli cincin yang saya permasalahkan, tapi tentang sindirannya di dalam permintaan itu. Saya akui memang salah. Sebelum menuruti permintaan oma, saya sudah bicara ke Alin perihal keseriusan saya. Ingin melamar dan menikahinya. Tapi, nyatanya semua tidak sesuai rencana. Menjalani dua hubungan di satu waktu awalnya mudah buat saya.