Bagas mendesah lelah, entah kenapa hari ini seperti sangat panjang menurutnya. Bagas menghentikan mobilnya saat di depan pagar rumahnya, sebisa mungkin lelaki itu mengatur wajahnya agar tidak terlihat kecapekan di depan Putrinya karena ia tidak ingin membuat anak kesayangannya itu khawatir.
"Huft .. kenapa kepala aku pusing banget sih." Gumamnya mendesah lemah, menaruh kepalanya di stir kemudi untuk beberapa saat.
Tok tok tok.
Bagas menoleh, hampir menyebut saking kagetnya melihat Siska yang wajahnya di tempelkan di jendela pintu udah kayak kuntilanak.
"Gas-gas buka!" Gedor Siska malah makin menjadi.
Bagas menghela napas berat, cobaan apalagi ini Tuhan.
"Bagaaas buka pintunya!!"
Gedoran Siska malah makin menjadi membuat Bagas mau tidak mau membuka pintu mobilnya dan keluar, wajah lelaki itu terlihat sangat letih dan pucat.
"Apalagi Sis?" Tanya Bagas sudah tak ada tenaga.
Siska mengerucut kan bibirnya, "kamu kok lama banget sih bukanya?!" Amuk Siska tanpa memahami kondisi Bagas yang sudah pusing bukan kepalang itu.
"Udah ya Sis kalo gak ada yang penting mendingan kamu pergi, lagian aku udah bilang kan kalau gak mau lihat kamu lagi!" Bagas dengan sisa-sisa tenaganya berusaha masuk ke gerbang rumahnya tapi Siska langsung menghadang nya.
"Aku suka sama kamu Gas!"
"Tapi aku nggak, udah minggir." Tepis Bagas makin mumet.
Siska mendelik. Tanpa diduga dengan gilanya perempuan itu menarik kerah jas Bagas dan mencium bibirnya. Bagas melotot kaget.
Cengkraman Siska luar biasa kuat apalagi kondisi tubuh Bagas tidak prima membuat lelaki itu hampir tumbang kalau tidak ditahan.
Dara.
Deg!
Bagas entah dapat kekuatan darimana tiba-tiba bisa mendorong tubuh Siska, entah kenapa ia jadi sangat panik saat melihat gadis kecil itu sedang memergokinya berciuman. Dara juga sama tersentaknya saat matanya bertemu dengan Bagas, dengan cepat Dara menutup gerbang rumahnya dan berlari masuk rumah.
"Gas kamu gak nolak, kamu jangan munafik deh kamu sebenarnya juga suka kan sama aku?!" Lantang Siska sangat percaya diri.
Bagas mengusap bibir bekas dicium Siska dengan jijik, menatap Siska seolah sedang melihat serangga. "Sis kayaknya semakin dibiarkan kamu semakin lancang, kamu pikir kamu siapa bisa cium aku seenaknya?!" Bentak Bagas dengan suara serak menahan pusing.
Siska tertegun kaget karena baru pertama kali melihat Bagas semarah ini.
"M-maaf Gas aku—"
"PERGI! AKU SUDAH MUAK LIHAT WAJAH KAMU!"
Siska langsung berlutut, menangis sesenggukan. "A-aku cuma pengen kamu lihat aku Gas, aku suka sama kamu, maafin ... hiks aku Gas."
Bagas mendecih, dengan gontai berjalan melewati Siska tanpa iba sedikitpun. "Kali ini aku bersungguh-sungguh, jika kamu masih berani tunjukin wajah kamu dihadapan aku lagi ... maka jangan salahkan aku kalau perusahaan Ayah kamu aku buat bangkrut!" Ancam Bagas lalu berjalan masuk ke rumahnya.
Suara tangis Siska terdengar meledak tapi Bagas sudah tidak peduli, menurutnya Siska itu bukan mencintainya tapi hanya obsesi. Sangat tidak wajar mencintai tapi menghalalkan segala cara.
"Pah tadi aku dengar di luar--"
"Bantu Papah Fin." Gumam Bagas lemah sebelum tumbang jatuh ke lantai.
Fina menjerit panik, langsung berteriak memanggil satpam di rumahnya dan menyuruh membawa Papahnya ke kamar. Fina menatap wajah pucat Papah nya, dengan mata berkaca-kaca Fina menelepon dokter pribadi keluarganya.
Setelah menelepon dokter Fina lalu mendekat kearah Papah nya, dan memeluk tubuh Papah nya erat.
"Papah gak boleh sakit, Papah jangan tinggalin Fina sendirian." Lirihnya dengan air mata menetes.
***
"Kenapa Dar?" Tanya Riki karena Dara tidak kunjung naik motor.
Dara melirik ke rumah Fina tak terbaca. "Kata Fina dia hari ini gak ngampus, tapi gak ngomong alesannya. Aku khawatir." Ujar Dara pelan.
Riki jadi ikut memerhatikan kediaman Fina. "Apa mau jenguk Fina dulu?"
Dara menggigit bibirnya, di satu sisi ia ingin menjenguk Fina tapi di sisi lain ia tidak ingin bertemu dengan Bagas. Dara sangat dilema.
"Dar, kok diem?" Riki dengan lembut menarik pipi Dara membuat gadis itu mendelik.
"Jangan tarik-tarik pipi aku ih, aku lagi bingung mau jenguk Fina apa nggak."
Riki mengangguk-angguk. "Ngapain bingung, udah kita jengukin Fina dulu aja. Ayo!" Riki menaruh helm nya di jok motor dan menggandeng tangan Dara masuk ke rumah Fina.
Sepanjang jalan Dara cuma bisa diam dan menunduk.
C'mon Dar, lo udah punya pacar. Move on!
"Fin!"
Fina yang kebetulan membawa baskom ingin naik ke lantai kamar Papah nya menoleh tersentak. "Dara, Riki." Ujarnya pelan.
Dara langsung mendekat kearah Fina khawatir. "Lo sakit? Kenapa gak ngampus?"
Fina tersenyum lemah. "Gue gak sakit, gue cuma mau jagain Papah."
"Om Bagas kenapa?!"
Riki diam-diam melirik Dara saat mendengar nada paniknya.
Fina langsung menurunkan bibirnya sedih. "Papah sakit, kata dokter karena kelelahan. Jadi aku gak mungkin kuliah, aku harus jagain Papah."
"Aku boleh lihat?" Tanya Dara langsung diangguki Fina.
Tanpa menunggu Fina dan Riki ia langsung berlari naik ke lantai kamar Bagas, meninggalkan Fina dan Riki yang tercengang.
"Dara ehm ... emang anaknya baik banget." Ujar Fina karena takut Riki salah paham, lagian bisa-bisanya tuh anak sekhawatir itu sama cowok lain di depan pacarnya sendiri.
Riki cuma tersenyum tipis. "Tau kok gue, ayo kita naik." Ajak Riki sambil mengambil alih baskom air dari tangan Fina.
Fina menatap punggung Riki dalam, kenapa lelaki ini selalu melakukan hal-hal kecil yang sangat berkesan untuknya. Kalau begini gimana caranya ia bisa move on cepat.
Dara melihat Bagas yang terbaring lemah tapi masih saja bekerja lewat iPad nya. "Om Bagas sakit kok masih kerja?" Omel Dara sewod membuat Bagas hampir menjatuhkan iPad saking kaget nya.
"Saya cuma ngirim email."
"Om tuh gak mungkin bangkrut juga meskipun sehari gak kerja, sini iPad nya saya sita!" Galak Dara mengambil alih iPad dari tangan Bagas.
Bagas tertegun diam, entah kenapa bukanya marah ia justru merasa senang karena Dara ternyata masih perhatian kepadanya.
"Om kok bisa sakit?" Tanya Dara sambil mengecek dahi Bagas dengan telapak tangannya. "Astaga panas banget loh Om!" Kaget Dara merasakan panas di dahi Bagas.
Bagas tersenyum samar. "Gak papa."
Dara mendelik. "Om mungkin belum kapok kalo belum masuk rumah sakit ya!" Ceramahnya membuat Bagas malah menggeleng geli.
"Iya bener banget Dar, kayaknya Papah gak bakal kapok kalo belum ngerasain masuk RS!" Sahut Fina dari belakang.
Bagas dan Dara menoleh, melihat Fina dan Riki yang masuk bersamaan. "Ya ampun rame banget." Celetuk Bagas membuat Dara mendengus.
"Makanya Om jangan sakit-sakitan lagi, sekarang biar saya kompres!" Dara mengambil baskom dari tangan Riki dan mulai mengompres Bagas tapi Bagas langsung menahan tangannya.
"Kamu kuliah sana, Fina juga kuliah aja. Biar Bibi yang kompres saya." Tolak Bagas sambil menyebut ART nya.
"Aku gak mungkin kuliah saat kondisi Papah sakit begini!"
"Gak papa Fin, lagian panas Papah udah agak turun kok. Habis ini Papah langsung tidur deh." Ujar Bagas meyakinkan.
Fina jadi menyendu bimbang, apalagi hari ini ada kuis penting kalau ia gak masuk pasti akan rugi nilai.
Dara yang melihat wajah bimbang Fina langsung paham. "Fin mending lo ngampus aja, gue bisa jagain Om Bagas sampe lo pulang."
"Dar." Potong Riki terlihat tak setuju.
"Gak papa lah, matkul gue lagian siang kok. Kalian berdua aja sana berangkat." Ujar Dara.
"Kamu apa-apaan sih, kamu tuh harus kuliah ngapain jagain saya!"
"Iya Om iya, saya kuliah tapi nanti siang."
Bagas cuma bisa terdiam. Fina menatap Dara ragu. "Beneran Dar?"
Dara mengangguk. "Iya, Rik lo tebengin Fina ya." Pesan Dara diangguki Riki meskipun sedikit kurang setuju aslinya.
"Yaudah kalo begitu Fina pamit Pah." Fina mengecup pipi Bagas sekilas.
Riki menatap Bagas tak terbaca. "Saya pamit Om."
"Tolong jangan ngebut." Pesan Bagas yang diangguki Riki. "Om tenang aja." Lalu Riki dan Fina sudah melenggang keluar.
Dara mulai mengompres Bagas setelah kepergian teman-temannya, dengan telaten gadis itu juga membantu membenarkan selimut Bagas.
Hanya keheningan yang ada diantara keduanya, karena sejujurnya Dara masih marah akibat kelakuan Bagas kemarin malam.
"Kamu kenapa diam saja?" Tanya Bagas pelan.
Dara tersenyum paksa. "Gak papa lagi sariawan."
"Kamu marah sama saya?"
Iya!
"Nggak lah, ngapain saya marah sama Om." Dara berjalan ke nakas dan mengambilkan air dan obat. "Om minum obat habis itu tidur."
"Sebentar, saya masih ngajakin kamu ngomong. Kamu jawab jujur." Bagas menepis tangan Dara.
Dara memejamkan matanya, terlihat sangat ingin mencaci maki Bagas tapi apa hak nya? Memangnya ia siapa nya Bagas? Dara cukup tau diri.
"Om, saya sedang tidak ada mood untuk menjawab pertanyaan aneh Om. Sekarang lebih baik Om minum obat trus tidur ya."
Bagas tanpa diduga mencekal pergelangan tangan Dara, menatap iris matanya dalam. "Yang kamu lihat kemarin malam ... cuma salah paham."
Deg.
Dara menegang, merasakan saraf-saraf di tubuhnya menyengat, dengan ragu Dara menatap mata Bagas dan ternyata lelaki itu juga sedang menatap kearahnya. Ada apa ini? Kenapa Bagas tiba-tiba menjelaskan hal se-sensitif itu?
"Lalu?"
"Hm?" Bagas mengernyit.
Dara menatap Bagas datar. "Lalu apa? Kalaupun yang saya lihat kemarin cuma salah paham hubungannya sama Om apa?"
Bagas kali ini seperti di tembak telak, tak bisa berkata-kata.
Dara tersenyum miring. "Kalau Om gak tau tujuan Om ngasih tau saya lebih baik Om gak usah jelasin sekalian. Karena saya gak mau naruh harapan lagi sama Om." Lantang Dara membuat Bagas terkesiap tak percaya.
"Kamu masih suka sama saya, Dar?"
Dara tidak menjawab, memilih fokus mengompres dahi Bagas. Bagas pun juga cuma diam sambil sesekali melirik Dara.
"Bukannya kamu sudah punya pacar Dar, kamu cuma PHP-in lelaki tadi?" Cerocos Bagas entah kenapa jadi cerewet.
"Om kalau lagi sakit malah makin cerewet ya ternyata." Dengus Dara.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya Dar."
Dara menarik napas dalam, melempar kain kompres nya ke baskom secara tak santai dan menatap lurus ke mata Bagas.
"Saya masih suka sama Om, puas?!"
Bagas membulatkan kedua matanya, terlihat tak percaya, tapi saat melihat ekspresi serius Dara membuat Bagas tau kalau gadis ini tidak berbohong sama sekali.
Bagas meneguk ludah. "Kalau kamu berhubungan dengan duda seperti saya, kamu akan mendapat banyak tanggapan buruk dari masyarakat." Ujar Bagas lirih.
Dara mengerjap, tunggu! Barusan ... Om Bagas tidak langsung menolaknya, ini seperti keajaiban untuk Dara. Dara pelan-pelan menggenggam tangan Bagas.
"Om juga suka sama saya?"
Bagas merapatkan bibirnya, mereka berdua hanya saling bertatapan dalam diam. "Kamu tau Dar konsekuensi tindakan kamu ini, saya duda, apalagi berstatus Ayah Fina yang notebene nya adalah teman kamu. Kamu gak malu?"
"Saya gak perduli dengan tanggapan orang lain, karena hidup saya bukan untuk membahagiakan orang lain!" Tegas Dara dengan kerlipan jujur.
Dada Bagas sedikit menghangat, cukup lama perasaan menggelitik ini tidak ia rasakan. Dengan pelan lelaki itu menarik tubuh Dara mendekat, tapi saat semakin dekat Dara justru menahan tubuh Bagas.
Bagas tersenyum kecut mendapat penolakan gadis ini.
"Saya gak mau di ghosting sama Om-om." Ucap Dara.
Bagas terkejut. "Maksud kamu?"
"Kalau Om mau cium saya harus kasih saya status, saya gak mau habis dicium lalu dibuang!" Tegas Dara.
Bagas terkekeh tak percaya. "Really Dar?"
"Iya, sekarang Om mau kasih saya status apa nggak?" Tantang Dara dengan beraninya.
Bagas mengerjap kecil. Sedikit geli. "Kamu mau status apa?"
Dara tanpa diduga mendekatkan wajahnya sampai hidungnya dengan Bagas bersentuhan. "Istri Bagaskara Chandrawinata." Bisik Dara serius.
Bagas menegang kaku. "Kamu serius Dar?"
"Om mau berapa kali tanya hal ini ke saya?"
"Masalahnya kamu akan menjadi Ibu dari Fina, teman kamu. Kamu gak malu?"
Dara tersenyum lembut dengan wajah memerah. "Selama saya sama Om, gak ada kata malu dalam kamus saya."
Bagas terdiam beberapa saat, menatap wajah manis gadis ini yang seperti sudah siap untuk disantap. Gadis ini sangat tidak waspada sama sekali.
Bagas mengelus pipi Dara pelan. "Done." Lalu Bagas menarik tengkuk Dara dan mencium bibirnya pelan.
Tubuh Dara menegang kaku sudah seperti patung saat Bagas mulai memainkan bibirnya, darah Dara mendidih dengan jantung seperti hendak meledak.
Ini gila, respon tubuhnya sangat dahsyat.
Bahkan ciuman pertamanya dulu tidak seekstrim ini. Sekarang Dara merasa sangat hangat, tidak ada black hole sedikitpun di dadanya.
Bagas perlahan menjauhkan wajahnya. "Sekali lagi saya tanya, kamu masih mau lanjut?" Tanya Bagas entah untuk yang keberapa kalinya.
Dara menggeram kecil, karena sudah malas menjawab ia lebih memilih langsung cipokan lagi saja. Dara naik ke atas ranjang dan melingkarkan kedua lengannya ke leher Bagas, Bagas yang mendapat lampu hijau tanpa berujar apapun langsung melilitkan tangannya ke pinggang Dara dan mengulum bibir gadis itu lembut.
"Eughh .. "
Shit!
Jangan kebablasan Gas, batinnya mengingatkan karena mulai muncul gejolak hebat akibat mendengar lenguhan seksi Dara.
Tubuh panas Bagas seolah makin memanas bahkan hampir membakar tubuh Dara, dua orang itu seakan lupa sekitar.
"Haaah ... Haah ahh." Dara terengah-engah dengan bibir membengkak, menatap kearah lelaki yang sedang ditindihnya parau. "Om beneran tanggung jawab ya." Todong Dara dengan suara serak nya.
Bagas merapikan rambut Dara. "I am promise."
Dara tersenyum bahagia, berhambur memeluk tubuh kekar Bagas dan tidur di dadanya. Kedua lengan Dara memeluk erat Bagas. Dara sangat-sangat senang.
"Om peluk." Rengeknya menja.
Bagas terkekeh, entah kenapa setelah ciuman manis tadi pandangannya terhadap Dara langsung berubah drastis. Dara bukan gadis kecil lagi di matanya.
"Saya sakit, kamu gak takut ketularan?" Bisik Bagas tapi tetap memeluk tubuh ramping Dara dan membelai punggungnya.
"Udah ciuman juga baru ngomongnya sekarang."
Bagas tertawa renyah, merasa hidupnya akan kembali berwarna lagi.
"Om saya hampir lupa."
Bagas menunduk menatap Dara yang ada di pelukannya. "Kenapa, hm?"
Dara terlihat salah tingkah karena di tatap lembut oleh Bagas. Dara meneguk ludah, meringis bodoh.
"Saya lupa kalau masih punya pacar."
Bagas mendelik kaget, iya juga dirinya pun juga sama lupa nya!
***
TBC.