Ara meringkuk seorang diri di ranjang besar miliknya, cewek itu berulang kali menatap jam yang menggantung di dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun malam ini dirinya sama sekali tidak bisa tidur, biasanya jam segini Farel sudah memeluknya sembari mendengkur halus di lekukan lehernya. Dengkuran halus Farel bagai irama tidur yang sangat menenangkan untuk Ara. Kali ini Farel tidak merebahkan tubuhnya di samping sang istri, cowok itu sibuk dengan hp di tangannya sembari duduk di sofa tak jauh dari ranjang.
Ara belum makan, rasanya perutnya sangat keroncongan. Sedangkan Farel tidak mau dia masakkan, jadilah dia memilih tidak makan sekalian dari pada dia masak dan makan sendiri. Terdengar tawa nyaring dari Farel, Ara meliriknya, terlihat kalau cowok itu tengah melakukan panggilan video. Telinga Farel juga tersumpal headset. Ara menguatkan hatinya yang terasa sangat sesak. Rasanya terhimpit sesuatu yang bisa membuat hatinya sakit. Ara meremas selimutnya dengan erat.
“Hahaha … kamu lucu kalau memakai daster begitu,” ucap Farel yang terdengar di telinga Ara. Ara menerka-nerka, apakah Dokter Aleta yang sedang bertatap muka via virtual dengan suaminya.
“Baiklah, tadi kamu belum sempat masak. Besok kamu harus bawain sarapan buat aku.” ucap Farel.
Air mata tidak bisa Ara bendung lagi. Selama ini Farel lah yang selalu dia percaya, dan apa balasan atas kepercayaan yang sudah dia berikan? Farel berkhianat, Farel mulai mendekati perempuan lain selain dirinya.
Isak tangis kecil terus keluar dari bibir Ara. Ara tidak mau menerima kenyataan, Ara ingin membutakan diri dengan fakta ini. Ara ingin dia buta, tuli dan bisu, agar semua yang dilakukan suaminya tidak dia ketahui dan hatinya tidak merasakan sakit yang lebih dalam. Di dunia ini yang paling Ara takutkan adalah ditinggalkan Farel. Farel lah tempatnya bergantung, berlindung dan selalu ia percaya akan selalu ada. Namun Farelnya sudah berubah, Farel mendekati perempuan lain yang tampak lebih akrab dari dirinya.
“Ara, kenapa kamu menangis?” tanya Farel melepas headsetnya saat mendengar suara isak tangis istrinya. Farel sama sekali tidak peka kalau ucapannya dengan Aleta menyinggung hati kecil istrinya. Wanita mana yang tidak sakit hati saat suaminya bercengkrama dengan perempuan lain nan tampak akrab?
Ara segera menghapus air matanya, perempuan itu memejamkan matanya dan mencoba tidur. Farel mendekati sang istri, pria itu ikut merebahkan dirinya di samping Ara. Tangan Farel melingkar erat di perut Ara.
“Kenapa?” tanya Farel dengan suara seraknya.
“Kamu kenapa tidak tidur? Sibuk sama Dokter Aleta ya?” tanya Ara.
“Iya, Aleta bilang besok mau membuatkan aku sarapan.”
“Jadi kamu tidak makan sarapan yang aku masak besok? Kalau kamu sudah ada yang buatin sarapan, besok aku gak masak. Aku mau beli bubur ayam di depan,” oceh Ara.
“Hem … Besok kamu belajar naik mobil sama Mas Brama, ya. Jadi kalau aku tinggal sewaktu-waktu, kamu bisa keluar sendirian. Tapi ingat, harus pulang tepat waktu.” ucap Farel mencium pipi Ara. Ara membalikkan tubuhnya, perempuan itu menatap dalam manik mata suaminya.
Tangan Ara dengan pelan mengelus pipi suaminya, isak tangis keluar lagi dari bibir Ara. Perempuan itu tidak bisa membendung rasa sedihnya tatkala mengingat terus bahwa Farel dekat dengan Aleta.
“Kamu kenapa sih nangis terus? Masih kesel sama aku soal tadi sore?” tanya Farel. Ara menggelengkan kepalanya. Gadis itu makin membelai pipi Farel yang membuat perasaan Farel tidak enak.
“Aku sedih, Rel,” jawab Ara.
“Sedih kenapa?” tanya Farel makin mengeratkan pelukannya pada Ara.
“Aku sedih saat tidak bisa mengelus pipi kamu lagi, Rel. Pipi kamu sangat halus, dari kecil menjadi canduku, aku tidak bisa kalau sehari tidak bisa membelai pipimu,” ucap Ara.
“Kamu akan terus membelai pipiku Ara. Sampai kita nanti menua sama-sama,” ucap Farel membawa tangan Ara untuk mengusap lebih intens pipinya.
“Aku tidak yakin bisa menua bersama kamu, Rel,” jawab Ara menghela napas.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Farel. Ara menggelengkan kepalanya ringan.
“Andai suatu saat aku tidak lagi bisa membelai pipimu, tidak bisa menyiapkan sarapan untuk kamu, tidak bisa mengambilkan handuk kamu saat kamu mandi, atau tidak bisa lagi menemanimu tidur, apakah kamu akan merindukan aku, Rel?” tanya Ara. Farel tercekat, membayangkan Ara pergi membuat dadaanya sesak. Hal yang paling ditakuti Farel adalah kehilangan Ara. Farel sudah terlanjur sayang dengan Ara, sejak mereka TK sampai mereka dewasa, mereka selalu sama-sama menjalin hubungan persahabatan dan kini mereka adalah suami istri.
“Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Ara. Kamu tidak boleh pergi. Aku tidak suka kamu ngomong kayak gitu.” oceh Farel yang pelipisnya sudah dipenuhi oleh keringat dingin yang bercucuran.
“Aku tidak ingin ngomong kayak gitu, Rel. Tapi aku merasa aku tidak akan bisa bertahan lama hidup di sisimu.”
“Ara, jangan katakan itu. Kalau pun kamu mati, aku akan ikut mati bersamamu. Bahkan aku ingin bila ajal menjemput kita, aku ingin mati terlebih dahulu agar aku tidak merasakan kehilanganmu,” ucap Farel mencengkram pinggang Ara. Ara meringis sedikit karena merasakan sakit.
“Lalu saat kamu mati, kamu membiarkan aku sendirian merasa sedih karena kehilangan kamu?” tanya Ara tersenyum.
“Aku tidak ingin merasakan kehilangan kamu, Ara,” ujar Farel memeluk semakin erat istrinya. Farel tidak suka ucapan istrinya yang sangat melantur.
“Maaf, tidak usah bahas ini lagi. Besok kamu sarapan saja dengan Aleta sesuai keinginan kamu, ya. Aku besok juga akan belajar mobil sama Mas Brama.”
Farel mengendurkan pelukannya, perasaan Farel sudah sedikit lega saat Ara tidak lagi membahas hal ngawur. Namun mendengar ucapan Ara yang mengijinkan sarapan dengan Aleta, entah kenapa membuat Farel tidak suka.
“Aku besok sarapan di sini saja. Kamu belajar mobil sama Mas Brama hati-hati,” ucap Farel.
“Hem.”
“Aku juga ingin kamu mandiri, Ara. Kamu harus bersosialisasi, membangun circle pertemanan, belajar hal-hal baru, belajar melakukan sesuatu yang belum kamu bisa,” kata Farel.
“Kamu benar-benar ingin membiarkan aku mandiri?” tanya Ara.
“Iya. Biar kamu bisa apa-apa sendiri tanpa meminta bantuan aku.”
“Kamu bilang, kamu sangat suka aku bergantung sama kamu,” ucap Ara.
“Tapi ini aku lakukan agar kamu bisa, Ara.”
“Semakin kamu menyuruh wanitamu mandiri, semakin kamu membiarkan dia berlatih hidup tanpa kamu.” kata Ara yang membuat Farel kembali menegang.
“Ara, apa maksudnya lagi?”
“Kamu bilang biar aku bisa apa-apa sendiri, itu artinya aku bisa hidup juga tanpa kamu, Rel. Kenapa aku berpikir kalau kita akan pisah?”
“Jangan katakan itu, Ara!” bentak Farel dengan kesal.
“Sekalipun aku tidak pernah berpikir untuk pisah Ara. meski aku tidak mencintaimu, meski aku menikahimu hanya untuk melindungimu, aku tetap tidak akan melepasmu!” seru Farel dengan menggebu. Ara mengerjapkan matanya, akhirnya kalimat itu keluar dari bibir suaminya. kalimat tidak mencintai membuat Ara merasakan sakit hati lagi. Benar dugaannya, tidak ada cinta di hati Farel. Cintanya hanya sepihak, bertahan pada cinta satu sisi hanya akan membuka lebar sebuah luka.
Tersadar dengan apa yang dia ucapkan, Farel menatap nanar sang istri. Farel menarik tangan Ara, pria itu takut kalau Ara akan marah.
“Bukan maksud tidak mencintai-”
“Tidak perlu bersalah, Rel. Tidak apa-apa kamu tidak mencintaiku, aku sudah bersyukur kamu menikahiku. Tidurlah, besok akan ada hari yang lebih baik,” ucap Ara tersenyum.
“Ara, kamu harus mendengar penjelasanku, Ara. Kamu jangan marah, bukan itu maksudku. Aku menc-”
“Jangan berbohong Farel. Aku terima kamu tidak mencintaiku. Aku bahkan sangat terima. Sekarang kamu tidur, jangan sampai besok kamu ngantuk dan tidak bisa memeriksa hewan-hewan lagi,” kata Ara membelai rambut suaminya dengan lembut.
Melihat senyum istrinya, melihat kelembutan istrinya dan merasakan belaian tangan istrinya membuat Farel menitihkan air matanya. Ara tampak kuat di depannya, tapi Farel yakin kalau tengah terjadi hujan lebat di hati Ara. Mata Ara tidak bisa berbohong, mata istrinya menyimpan banyak luka.
“Aku janji akan berusaha mencintaimu, Ara,” ucap Farel.
“Jangan berjanji, biarkan sewajarnya saja, Farel. Jangan mencintai orang terlalu dalam, karena saat dikecewakan, rasa sakitnya tidak bisa ditahan. Biarkan aku yang sakit sendiri, kamu jangan,” oceh Ara.
“Aku tau aku tipe gadis yang manja, tidak bisa apa-apa, kamu menawarkan diri untuk menikahiku karena kasihan. Dan tanpa kamu yang menikahiku, tidak ada laki-laki yang mau menikahiku. Untuk itu aku sangat terimakasih,” ucap Ara. Ara kembali membalikkan dirinya dan memunggungi suaminya. Ara mencengkram erat selimutnya untuk menahan rasa sakit hatinya. Ara menggigit bibir bawahnya dengan kuat menahan isak tangisnya.
Hatinya terasa remuk, sakit dan hancur saat tadi jam tujuh malam Mas Brama mengirimnya rekaman suara Farel dan Aleta. kepercayaan yang dia bangun runtuh sudah karena Farel mengatakan keburukannya pada perempuan lain. Ara tidak ingin percaya, tapi itu faktanya.
Farel menegang, kalimat yang Ara ucapkan adalah kalimatnya yang tadi dia ucapkan bersama Aleta. Kini Farel mendengar jelas isak tangis istrinya yang terdengar pilu. Rasa bersalah menggerogoti Farel. Kalimat yang dia ucapkan sampai di telinga istrinya dan berhasil membuat istrinya terluka. Farel pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyakiti Ara, tapi kenyataannya dia pun melakukannya.
“Maaf,” bisik Farel. Hanya kata maaf yang bisa Farel ucapkan, meski kata maaf itu tidak bisa menyembuhkan rasa sakit hati istrinya.
Ara terus terisak, ia tidak tau kesalahan apa yang dimilikinya kepada Farel hingga Farel yang selalu dia percaya berani membuka aibnya di depan wanita lain. Dia memang manja, tidak bisa apa-apa, tapi kalimat Farel begitu teramat menyakitkan. Hanya tangis yang bisa keluar dari bibir Ara, Ara berharap esok akan ada hari yang bahagia. Entah itu kenyataan atau malah menjadi hari terburuk dalam hidupnya.