Pagi ini ada yang berbeda dari pagi sebelumnya. Farel bangun tidak ada yang membangunkan, pria itu mengusap sisi ranjang yang biasa digunakan istrinya. Entah kenapa dia merasa di sana sangat dingin. Farel menatap sekelilingnya, tidak ada istrinya di sana. Namun setelan kerja sudah rapi di atas sofa. Melihat ke arah jam dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh siang. Biasanya Ara akan membangunkannya pukul enam pagi. Namun sampai dia kesiangan Ara tak kunjung membangunkannya.
Farel bangkit dari ranjang, pria itu segera ke kamar mandi. Di sana handuk bersih juga sudah tertata rapi, bau wangi khas istrinya masih tertinggal di sana. Secepat mungkin Farel segera mandi kilat. Pagi dingin tanpa menatap wajah istrinya saat bangun tidur saja sudah membuat Farel kelimpungan, lalu bagaimana Farel akan sanggup saat ditinggalkan istrinya.
“Perempuan bodohh itu bicara melantur,” umpat Farel membayangkan ucapan istrinya tadi malam.
Farel membelitkan handuknya di pinggangnya. Ucapannya semalam memang sangat keterlaluan hingga membuat Ara merasa sedih. Farel pikir Aleta akan diam saat dia menceritakan sesuatu tentang Ara, tapi ternyata Ara langsung tau tidak butuh waktu dua puluh empat jam.
“Tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan Ara kecuali aku.” Kalimat menyakitkan itu terus terngiang di telinga Farel. Kalimat jahat itu membuat Farel merasa bersalah pada istrinya.
Farel keluar dari kamar mandi, tanpa berpakaian terlebih dahulu pria itu segera menuju dapur. Karena dia tahu betul kalau istrinya akan di sana. Langkah kaki Farel sedikit ragu tatkala memasuki pintu dapur, dia takut melihat istrinya. Saat sudah sampai di dapur, mata Farel tertuju pada segelas kopi yang sudah siap di sana. Juga Ara tengah menata sarapan dengan rapi di atas meja makan. Ara mendongak, matanya bersitubruk dengan mata Farel.
“Kenapa tidak berpakaian telebih dahulu?” tanya Ara yang melihat Farel hanya mengenakan handuk. Farel tidak menjawab, pria itu mendekati sang istri dan memeluk tubuh istrinya dari belakang.
“Kenapa tidak bangunin aku?” tanya Farel meletakkan kepalanya di ceruk leher Ara. Ara diam, ia membiarkan suaminya memeluk tubuhnya meski dia harus merasakan baju belakangnya basah karena Farel belum mengeringkan tubuhnya dengan sempurna.
“Kamu jadi sarapan di sini?” tanya Ara yang mengalihkan pembicaraan.
“Hem … Aku makan di sini, bawain aku bekal juga untuk makan siang,” jawab Farel mencomot satu tempe goreng yang ada di atas meja.
“Di mana kotak makan kemarin, Rel?” tanya Ara. Farel tercekat, pikiran Farel berputar keras hingga sampai pada ingatan dia yang membuang kotak makan itu.
“Kotak makan itu berarti buat aku, Rel. Kotak makan itu hadiah yang kamu berikan saat kita masih SD dulu. Meski modelnya sudah kuno dan warnanya sudah jelek, tapi itu berarti buat aku. Menandakan persahabatan kita,” kata Ara. Farel ingat. dulu saat mereka kelas lima SD, Farel memberikan hadiah kotak makan untuk Ara.
Flasback On.
Farel melihat tempat makan Ara yang berbentuk panda. Tempat makan itu sangat lucu. apalagi warnanya pink. Tapi tempat makan itu membuat Ara kesusahan mengambil makanannya karena bentuknya yang berliku-liku.
“Ara, tempat makan kamu nyusahin banget. Buang aja kotak makan jelekk itu,” ucap Farel mendorong kotak makan Ara yang isinya sudah habis. Sejak kelas satu SD mereka duduk sebangku berdua, tidak terpisahkan.
“Mamaku belinya ini, Rel. Jadi aku pakai saja,” jawab Ara yang mengambil kembali tempat makannya.
“Aku punya hadiah untuk kamu,” ucap Farel dengan mengusung senyum. Farel sudah lama mengamati cara makan Ara yang kesusahan, cowok itu pun membelikan satu hadiah yang tidak akan menyusahkan Ara. Farel membuka tasnya, mengambil suatu barang berbentuk bulat.
“Tara … hadiah khusus untuk perempuan yang aku sayangi, Ara,” ucap Farel dengan antusias. Ara segera merebut tempat makan itu dan memeluknya erat.
“Asikk … ini barang ke tiga puluh empat yang kamu kasih ke aku. Aku akan jadiin ini tempat makan favoritku, meski nanti rusak tetap akan aku simpan,” ucap Ara dengan antusias.
“Tempat makan itu boleh rusak, tapi persahabatan kita yang tidak boleh rusak,” ujar Farel mengajak Ara tos ala mereka. Tos telapak tangan, dilanjut menoel hidung satu sama lain.
Flasback Off.
Farel tersenyum kecil mengingat moment itu. Ara selalu menyimpan apapun benda pemberiannya. Baik itu bernilai murah atau mahal. Bunga matahari yang Farel berikan saat mereka TK, bahkan masih Ara simpan meski sekarang sudah kering dan membusuk, hanya tersisa sedikit debu yang Ara simpan di wadah khusus.
“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucap Farel melepas pelukannya kepada sang istri. Farel segera menuju kamarnya dan mengambil handphone yang tergeletak di atas nakas. Farel mencoba menghubungi staf keamanannya. Farel harap-harap cemas, pria itu tidak sabar menanti panggilan tersambung. Saat panggilan tersambung, Farel pun segera menyerocos tanpa henti.
“Pak tolong jangan ijinkan staf kebersihan mengambil sampah di ruangan saya hari ini!” ucap Farel dengan tegas.
“Pak staf kebersihan sudah membersihkannya tadi pukul enam. Ini semua sampah di ruangan dokter sudah ada di bak sampah belakang bagian selatan, nanti truk sampahnya akan datang,” jawab Staf Farel di seberang sana.
“Tahan trucknya sampai nanti saya datang ke sana,” ucap Farel mematikan sambungan telfonnya dengan sepihak. Farel mengusap wajahnya yang gusar. Ini kesalahannya, istrinya menyimpan apapun yang dia berikan, sedangkan dirinya, jangankan menyimpan pemberian Ara, tempat makan saja hampir dia buang.
Farel segera berpakaian dengan cepat. Pria itu sengaja tidak merapikan kemejanya dan segera menuju ke dapur. Ara sudah menyiapkan makanan di piringnya, Ara sendiri tumben sekali sudah makan tanpa menunggunya. Saat derap langkah Farel terdengar, Ara sama sekali tidak mendongak, perempuan itu tetap fokus pada makanannya.
“Farel, di mana kotak makannya?” tanya Ara lagi.
“Nanti pakai kotak makan yang lain dulu, Ara. Kotak makan ku ketinggalan di ruangan,” jawab Farel beralibi.
“Baiklah. Asal tidak kamu buang,” ucap Ara. Farel tercekat, pria itu menyambar kopinya yang sudah lumayan dingin dan meneguknya dengan cepat.
Tidak ada teguran dari Ara. Biasanya perempuan itu akan marah saat suaminya meminum kopi sebelum suaminya sarapan. Ada yang salah, Farel tidak tahan dengan segala keacuhan Ara.
“Ara, kenapa kamu mengacuhkan aku?” tanya Farel dengan pelan.
“Kapan aku mengacuhkan kamu, Rel? Aku masih melayani kamu. Menyiapkan baju kamu, sarapan dan kopi. Kalau aku acuh, aku tidak memperdulikan kamu lagi,” jelas Ara.
“Tapi kamu beda, Ra,” keukeuh Farel.
“Farel, saat kamu menyakiti hati seseorang, keadaan hati orang itu tidak bisa sama seperti semula. Sampai di sini aku harap kamu akan paham, Rel. Aku tidak mengacuhkan kamu, aku tetap menunaikan kewajibanku sebagai istri kamu,” jawab Ara lagi.
“Tapi kamu gak bisa gitu, Ara. Kamu harus memperhatikan aku dengan detail,” seru Farel tidak terima.
"Kalau kamu ingin aku memperhatikan kamu dengan detail, harusnya kamu tidak perlu mencari perhatian perempuan lain," jawab Ara dengan tenang.
Brakkkk!
Ara tersentak saat Farel menggebrak meja dengan kencang, "Aku gak mencari perhatian perempuan lain, Ara. Aku gak selingkuh dengan Aleta!" teriak Farel. Ara menangis, air mata jatuh membasahi pipinya dengan deras. Sejak sore kemarin Farel terus-terusan melukainya.
"Aku tidak menuduh kamu selingkuh, Rel. Tapi kamu semarah ini, ini menandakan kamu benar-benar selingkuh," ucap Ara dengan terisak. Farel tergagap, dia tersadar dengan apa yang dia ucapkan.
*
*
*
Haii ada yang nungguin Ara update?
Kalian sudah baca cerita Gas Terus, Jangan Putus! Atau belum?
Yang belum baca, yuk baca juga cerita tersebut dan jangan lupa untuk komen ya. Satu komen sangat berarti karena untuk menentukan lomba peringkat FTW.
Terimakasih semuanya.