Lama mencari kotak makannya, Farel sama sekali tidak menemukan apa-apa. Perasaan kemarin dia membuang tempat makannya bersama dengan makanan yang tumpah seharusnya di bak sampah juga ada. Namun dia tidak menemukan apa-apa. Farel melepas sarung tangan dan maskernya dan membuangnya di bak sampah, dia tidak menemukan apa-apa hingga membuatnya kesal setengah mati. Ini memang salahnya, tapi kenapa keberuntungan juga tidak berpihak kepadanya. Kalau seperti ini, bagaimana caranya dia memberi alasan pada Ara? Ara sudah menyindirnya soal tempat makan tadi pagi. Kalau ketinggalan tidak apa-apa asal tidak dia buang. Nyatanya Farel sudah membuangnya. Tempat makan itu sudah lebih dari sepuluh tahun usianya tapi tetap disimpan oleh istrinya, dan kini dirinya malah membuangnya begitu saja.
Farel berjalan memasuki kawasan rumah sakit, di sepanjang perjalanan tidak ada lagi bentuk sapaan dari dokter-dokter yang lain. Bahkan Dokter Nisa yang berpapasan dengannya pun sama sekali tidak menyapa. Hari ini terlihat beda dari hari-hari biasanya. Seolah para dokter lain membisu.
Farel berjalan dengan canggung, baru kali ini dia diperlakukan seperti ini. Bukannya menuju ke ruangannya, Farel malah menuju ke ruangan Aleta yang sangat dia spesialkan mendapatkan ruangan pribadi. Aleta tengah sibuk dengan beberapa kertas yang ada di meja.
“Rel, bagaimana? Sudah menemukan tempat makannya?” tanya Aleta yang beranjak berdiri saat menyadari Farel masuk. Aleta menghampiri Farel dan menarik pria itu untuk duduk di sofa panjang. Farel menggeleng lesu.
“Terus bagaimana?” tanya Aleta.
“Entahlah. Aku pusing mikirin alasan buat Ara. Aku tidak ingin Ara sedih,” jawab Farel merebahkan kepalanya di paha Aleta. Aleta mengusap kepala Farel dengan lembut.
“Kamu harus tegas, Rel. Bilang saja kalau kamu buang,” ucap Aleta.
“Nanti dia akan sedih,” jawab Farel lesu.
“Katanya kamu gak cinta sama dia. kalau kamu gak cinta, kenapa kamu masih bersikap lembut sama dia?”
“Dia sahabatku, Aleta. Sejak dulu aku selalu memperlakukannya dengan lembut,” jawab Farel.
“Tapi soal perasaan, kamu harus tegas. Kalau kamu tidak mencintainya, dengan bersikap lembut seperti ini malah membuat Ara lebih berharap sama kamu. Karena sikap lembutmu, Ara semakin sakit di kemudian hari,” jelas Aleta.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Aleta?”
“Kamu jujur dengan istri kamu, kamu pacaran sama aku,” tegas Aleta. Farel tercenung,
“Hubungan kita belum sejauh pacaran, Aleta,” ucap Farel.
“Lalu yang semalam, apa? Kamu ngajakin aku telponan semalaman suntuk. Kalau kamu hanya kasih harapan palsu, mending kamu jangan dekat-dekat dengan aku,” tegas Ara mendorong kepala Farel. Farel pun langsung duduk, pria itu menahan bahu Aleta.
“Aleta, baik, kalau kamu mau status kita jadi pacar, aku ijabanin,” ucap Farel dengan serius. Aleta menatap Farel tidak percaya, mereka baru dekat lagi setelah lama berpisah dari bangku kuliah. Dan kini Farel sudah meresmikan hubungan mereka secepat ini.
“Farel, apa kamu benar serius?” tanya Aleta.
“Dua rius malah,” jawab Farel.
“Lalu bagaimana dengan istri kamu?” tanya Aleta.
“Aku akan mengaturnya,” jawab Farel yang kembali merebahkan kepalanya di paha Aleta.
“Aleta, minta tolong pijat kepalaku, dong. Pusing banget,” ucap Farel. Aleta pun langsung menurut, perempuan itu memijat kepala Farel dengan pelan. Di pikiran Farel tengah terjadi perang besar. Farel tidak ingin menghianati Ara, tapi napsunya terus mendesaknya kalau dia harus pacaran dengan Aleta karena dia tidak mencintai Ara. Juga, otaknya terus memikirkan alasan pada istrinya soal di mana tempat makan berbentuk bulat itu. Itu hadiah darinya yang masih dipakai Ara saat ini, Farel tidak ingin membuat istrinya kembali menampilkan raut sedihnya.
Di sisi lain, Ara tengah berbelanja banyak dengan kedua adik iparnya. Adik iparnya sungguh membuat Ara kuwalahan, Ane memaksa Ara untuk berjalan memutari mall yang sangat besar untuk membeli banyak camilan, kebutuhan pokok dan bermacam-macam sepatu. Ara masih takut bila bertemu atau tidak sengaja berpapasan dengan beberapa orang. Namun dengan kesabarannya, Alka dan Ane terus mengatakan semua akan baik-baik saja. Brama turut ikut mengekori ketiga orang itu.
“Kak, namanya manusia itu butuh sosialisasi. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,” ucap Ane memberi pengertian. Ara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kita punya banyak teman, saat kita minta bantuan, pasti ada yang mau menolong. Kakak cantik, baik, siapa yang tidak suka berteman dengan kakak? Pasti banyak yang mau.” Alka ikut mengoceh menyemangati kakak iparnya.
“Sejak kapan aku cantik? Aku tidak cantik, aku juga tidak mempunyai kelebihan apa-apa,” ucap Ara seraya terkekeh.
“Siapa bilang, Kak? Kakak pintar masak, kakak merasa gak cantik? Kalau kakak gak cantik, terus Ane apa, dong?” tanya Alka.
“Heh, gue cantik,” ketus Ane.
“Iya, tapi lo cantiknya gak ada seujung kuku dari Kak Ara,” cibir Alka.
“Sudah-sudah, gak perlu bertengkar. Ayo belanja lagi!” ajak Ara melerai kedua adiknya.
Menurut Ara, dia memang tidak cantik. Kalau dia cantik, kenapa Farel masih tidak tertarik dengannya? Kalau dia mempunyai kelebihan, sudah pasti suaminya tidak akan bosan dengannya. Nyatanya Farel bosan dengannya. Farel tetap tidak mencintainya.
Meski lama bersama ternyata tidak menjamin seseorang akan jatuh cinta dengan mudah. Ara sudah bersama Farel sejak TK, tapi hanya dia yang mencintai Farel, tidak dengan Farel yang mencintainya. Setelah lelah berbelanja, mereka segera menuju ke kasir.
“Kak, habiskan semua uang kak Farel, ya,” ucap Ane. Ara hanya tersenyum. Saat di kasir, Ara memberikan kartunya yang berwarna biru pada kasir. Dasarnya Alkana dan Alkane yang sangat menyebalkan, mereka tidak mau membayar belanjaan mereka sendiri. Jadilah Ara harus menguras uangnya untuk membayar serta belanjaan mereka.
“Kak, kita pulang nanti sore aja. Kita nongkrong di cafe sana. Ada room vvip buat karaoke,” ucap Ane.
“Terus ini belanjaannya bagaimana?” tanya Ara melihat belanjaan yang sangat banyak.
“Biar aku sama Mas Brama yang bawa ke mobil dulu. Kalian ke cafe nanti kita susul,” ucap Alka. Setelah semuanya ditotal dan dimasukkan ke kantung plastik, Ane dan Ara segera menuju ke cafe. Ara menurut saja dengan adik iparnya. Ternyata bertemu banyak orang lain tidak seburuk yang Ara pikirkan. Walau kadang dia sedikit deg-deg-an saat berpapasan dengan orang lain, tapi ada Alka dan Ane yang menjaganya.
Ane memesan banyak makanan di ruang vvip. Tidak berapa lama, Brama dan Alka pun menghampiri mereka. Suara musik yang disetel keras pun memenuhi ruangan luas itu. Ane memberikan mikrofon pada Ara.
“Kak Ara, barangkali mau nyanyi,” ucap Ane. Ara menggelengkan kepalanya.
“Kenapa, Kak? Kata Kak Farel, dulu saat SMA, Kak Ara jago nyanyi. Kak Ara selalu menjadi perwakilan kelas buat lomba nyanyi, sayangnya Kak Ara kalau nyanyi maunya di belakang panggung karena gak mau jadi pusat perhatian.” oceh Ane. Ara tertawa kecil mengingat momen saat ia dulu SMA. Memang dia sering bernyanyi, tapi dia selalu berada di belakang panggung, itu pun selalu ada Farel yang menemaninya.
“Ayo, Kak. Nyanyi!” titah Ane lagi. Ara pun menerima mikrofonnya.
Perempuan itu tiba-tiba beranjak berdiri untuk mengganti musiknya. Lagu berjudul, menepi menjadi pilihan Ara. Ara kembali duduk, bedanya sekarang dia memilih duduk di pojokan.
Kau yang pernah singgah disini ...
Dan cerita yang dulu kau ingatkan kembali ….
Tak mampu aku tuk mengenang lagi ….
Biarlah kenangan kita pupus di hati ….
Ara mulai menyanyikan lagu yang saat ini menjadi trend anak-anak muda. Ara tampak menghayati setiap lirik yang dia nyanyikan. Ane dan Alka yang semula riuh kini pun menjadi terdiam. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan Ara. Apalagi semakin lama, Ara bernyanyi semakin terdengar menyayat hati. Apalagi lirik yang dinyanyikan Ara sangat terdengar menusuk ulu hati.
Alka mengarahkan kamera hpnya ke arah Ara. Pria itu merekam kakak iparnya yang suaranya sangat bagus. Ara punya bakat, tapi perempuan itu selalu insecure dengan dirinya sendiri.
Pukul empat sore, Ara, Alka dan Ane diantar pulang oleh Brama. Ternyata di luar dugaan Ara, mobil Farel sudah terparkir di rumah mereka. Padahal biasanya Farel akan pulang pukul lima sore. Buru-buru Ara turun dari mobilnya dan membantu mengeluarkan belanjaan mereka.
“Kak, aku tidur di sini boleh kan?” tanya Alka.
“Iya boleh. Ayo cepat masuk, gih. Aku harus masak karena Farel sudah pulang,” ucap Ara yang terburu-buru. Sembari membawa barang belanjaannya, Ara memasuki rumahnya yang tidak dikunci.
“Farel,” panggil Ara menuju ruang tamu. Namun, apa yang dia lihat membuatnya dengan spontan menjatuhkan barang belanjaannya. Jantung Ara bagai berhenti berdetak saat melihat suaminya tengah memangku Aleta di pangkuannya seraya b******u mesra. Tidak beda jauh dengan Ara, Alka dan Ane pun demikian. Mereka tercengang, apa yang mereka lihat sangat mengejutkan. Farel buru-buru mendorong tubuh Aleta. Pria itu membenahi kemejanya dan mendekati istrinya. Tanpa tahu malu, Farel menyodorkan tangan kanannya mengisyaratkan sang istri agar mencium punggung tangannya.
“Ara, kamu habis belanja sama Alka dan Ane?” tanya Farel yang sangat canggung saat Ara tidak menyambut uluran tangannya. Ara mengangguk tipis.
“Banyak banget belanjaannya. Uang yang aku kasih bisa langsung habis kalau belanjannya segini,” ucap Farel terkekeh. Ara segera mengambil dompet dari tasnya, perempuan itu mengambil kartu berwarna hitam dan menyerahkannya pada Farel.
“Ini pegang saja, Rel. Itu kartu yang kamu kasih. Tadi aku belanja pakai uang tabunganku sendiri dari waktu aku single. Kalau uang dari kamu, sengaja aku irit, karena aku ingin menyiapkan uang itu untuk biaya persalinan kelak kalau aku hamil. Tapi kayaknya itu tidak aku butuhkan lagi, jadi aku kembalikan.” ucap Ara panjang lebar yang membuat Farel tercekat. Tangan Farel ingin meraih Ara, tapi Ara menghindar.
*
*
*
Maaf ya updatenya telat, tadi susah sinyalnya. Terimakasih sudah membaca