14. Kesakitan

1407 Kata
“Ara, aku bisa jelasin semuanya ke kamu,” ucap Farel mencoba menarik tangan Ara. Namun Ara segera menghindar.  “Kak, aku kecewa sama kakak,” ucap Alka setelah tersadar dari apa yang dia lihat.  “Alka, Ane, kakak mohon kalian pulang saja, ya,” ucap Ara mendorong tubuh Alka agar berbalik arah.  “Enggak, Kak. Aku mau di sini,” jawab Alka dengan keukeuh.  “Alka, pulang!” tegas Ara mendorong Alka dan Ane.  “Kak, kakak nyembunyiin hal besar ini dari kami. Kakak  gak bisa nyelesaiin ini sendiri,” kata Alka menahan tubuhnya.  “Kenapa gak bisa? Selain kakak kamu, ternyata kamu juga nganggap kakak lemah,” ujar Ara menatap intens adik iparnya.  “Kak, bukan maksud Alka kayak gitu. Kak-”  “Alka, Ane, pulang!” tegas Ara lagi. Brama yang baru datang melihat situasi yang menegangkan pun segera menarik Alka dan Ane untuk keluar. Alka memberontak, cowok itu ingin tetap berada di sana membela kakak iparnya.  “Mas, Brama … aku mau minta penjelasan pada Kak Farel,” teriak Alka memberontak. Alka kecewa dengan kakaknya. Selama ini dia selalu melihat kakaknya adalah pria yang baik, kakaknya selalu mampu membuat senang dirinya dan Ane. Lalu yang dia lihat hari ini, kakaknya sudah berkhianat di rumahnya sendiri yang ditempati bersama sang istri.  “Mas Brama, Mas Brama sudah tau ini dari lama?” tanya Alka saat Brama menghempaskan tubuhnya di luar. Brama tidak menanggapi.  “Mas, Mas Brama kenapa gak bilang sama kami kalau kak Farel selingkuh? Kasihan Kak Ara kalau kayak gini,” seru Ane menendang kaki Brama. Brama menatap Ane tajam, bagaimana dia bisa suka dengan gadis yang suka main pukul itu meski gadis itu selalu mengejarnya. Yang Ada Brama mikir ratusan kali.  “Kalian pulang saja!” ucap Brama.  “Kasih kabar kalau ada apa-apa,” kata Alka yang pada akhirnya pasrah, Alka menyeret Ane untuk ikut pulang. Meski mereka sangat berat meninggalkan Ara.  Di sisi lain, Ara tengah menatap nanar ke arah Farel, “Gak aku sangka, Rel. Langkah kamu begitu cepat. Baru kemarin kamu bertemu dokter Aleta, lalu kalian dekat, pacaran, dan sekarang berani berbuat zina di rumah sendiri yang bahkan istrimu ada satu atab bersamamu,” ucap Ara yang mati-matian menahan air matanya.  “Kamu menyuruh aku mandiri, menyuruh aku belajar mobil, bersosialisasi dengan orang lain, ternyata ini alasan kamu? Agar saat kamu meninggalkanku, aku bisa sendiri. Baik, kalau itu maumu, aku akan belajar lebih keras lagi untuk mandiri, sampai hari itu tiba, kamu benar-benar menceraikan aku,” ucap Ara lagi.  “Ara, aku tidak akan menceraikanmu!” Bentak Farel dengan spontan.  “Kenapa? Kamu mau kami berdua menjadi istri kamu? Mungkin sebagian perempuan bisa dan rela dimadu, tapi aku bukan salah satunya. Kamu saja memperlakukan satu istri belum baik, lalu masih mau nambah istri? Aneh kamu,” oceh Ara yang memilih pergi. Belum sempat Ara menjauh, Farel segera menahan pergelangan  tangannya.  “Lepasin!” desis Ara yang mulai berani.  “Aleta, pulanglah!” titah Farel pada Aleta.  “Em, cari aku kalau urusan kamu sudah selesai,” jawab Aleta. Di mana-mana, yang namanya perusak hubungan orang pasti tidak mempunyai urat malu. Seorang wanita yang tega menyakiti wanita lain, tidak lebih baik dari iblis. Karena napsu dunia, tega melepas martabatnya sebagai seorang perempuan yang hausnya mempunyai rasa malu. Setelah Aleta benar-benar pergi, Farel menarik paksa tangan istrinya menuju ke kamar. Ara memberontak, perempuan itu tidak mau ikut Farel. Namun Farel sama sekali tidak mendengarkan teriakannya, bahkan tangannya sangat sakit saat Farel menariknya dengan kencang.  “Farel, aku tidak mau sama kamu!” pekik Ara mencoba menarik tangannya kembali. Farel tidak peduli, Farel memasukkan Ara ke kamar dan mengunci pintunya. Tidak lupa Farel memasukkan kuncinya ke saku celanannya.  Ara ingin menghindar tapi Farel mendorong tubuhnya dan mengukungnya di tembok. Farel manatap manik mata sang istri, tapi buru-buru Ara segera memalingkan wajahnya.  “Ara, dengerin aku!” titah Farel.  “Mendengarkan kebohongan kamu, maksudnya?” tanya Ara.  “Ara, aku sayang sama kamu. Aku harap kamu ngerti. Aku juga gak mau kehilangan kamu, Ra. Kamu istriku, kamu pemenangnya di hatiku.”  “Istri ini hanya status, Farel. Nyatanya kamu gak pernah memperlakukan aku sebagai istri, hanya aku yang memperlakukan kamu sebagai suami. Aku pemenang di status ini, tapi tidak di hatimu karena hatimu sudah milik orang lain. Farel, jujur hatiku sangat kecewa sama kamu. Kamu yang selalu aku percayai, tempatku bergantung, tempatku berlindung, tapi kamu sudah menghianatiku, Rel. Kamu mau senang-senang? mau cari yang lain, silahkan, aku tidak akan mencegahmu,” ucap Ara dengan terisak-isak.  “Ara, yang kamu lakukan hanya membuat hatimu sakit. Kamu berkata begini seolah kamu rela melihatku dengan perempuan lain,” uja Farel. “Hatiku sudah sakit saat tau penghianatanmu, Rel. Saat ini ditambah kamu berzina dengan perempuan lain. kalau kamu mau menyakiti hatiku, kenapa gak sekalian lakukan dengan totalitas? Kamu tenang saja, Rel. Seribu kebaikanmu tidak akan aku lupakan karena penghianatanmu. Rasa sayang di hatimu bisa hadir karena kita terbiasa bersama-sama, tapi rasa cinta itu, aku tidak akan memaksanya. Aku akan bertahan di sini, karena aku belum yakin bisa hidup tanpa kamu,” jelas Ara yang air mata sudah bercucuran kemana-mana.  “Ara, aku tidak akan melepaskan kamu. Kamu istriku, aku tidak akan meninggalkanmu atau menyuruhmu pergi, Ara,” ucap Farel memeluk tubuh Ara. Ara melepas paksa pelukan suaminya, Ara tidak sudi dipeluk suaminya yang baru memeluk perempuan lain.  “Bersenang-senanglah, Farel. Dulu kamu pernah tanya sama aku, apa yang membuatku bahagia, saat itu aku menjawab kalau bahagia ku melihat kamu bahagia. Jadi, aku sudah memenuhi janjiku, aku akan bahagia melihat kamu bahagia. Mungkin sakit hati ini hanya di awal, dan lama-lama aku akan terbiasa,” ucap Ara yang menuju kamar mandi dan membanting pintunya dengan kencang.  Dadaa Ara terasa sesak, menghimpit kencang membuatnya tidak bisa bernapas. Ara meraup udara dalam-dalam, gadis itu memukul-mukul dadaanya yang terasa sesak. Ara tidak ingin bertahan, Ara ingin pergi, menjauh dan hilang ditelan bumi. Namun, Ara tidak bisa melakukannya. Mama Ria sudah sangat mempercayai Farel, Mama Ria yang mendidik Farel sejak Farel kecil. Mama Ria yang sangat baik, Ara tidak ingin membuat  Ria kecewa saat tau anaknya melakukan penghianatan. Ara tidak mau mengecewakan keluarganya karena mereka sudah sangat percaya dengan Farel.  Ara masih memukul-mukul dadaanya yang terasa sangat sesak, Ara ingin menjadi wanita kuat. Ara tidak ingin cengeng seperti ini, tapi Ara tidak kuasa menahan segala kepedihan hidupnya.  Ara selalu merasa menjadi orang yang tidak beruntung seperti kebanyakan gadis seusianya yang banyak teman, pergi nongkrong sana-sini, melakukan pekerjaan yang menyenangkan. Sedangkan dia, hanya bisa bergantung pada Farel. Orang yang paling dekat denganmu adalah orang yang berpotensi menghianatimu. Ara tidak ingin fakta ini, Ara ingin buta, tuli bahkan bisu atau mati sekalipun. Semesta tidak pernah berpihak padanya. Selalu saja kepedihan yang menyayat hatinya.  “Ara,” panggil Farel mengetuk pintu kamar mandi Ara. Farel gelisah saat mendengar suara isak tangis sang istri dari dalam.  “Ara, maaf,” bisik Farel menempelkan telinganya ke pintu. “Aku yang minta maaf, Rel. Kamu tidak puas sama aku sampai kamu mencari kepuasan yang lain,” ucap Ara yang akhirnya bersuara. Suara serak Ara membuat jantung Farel seakan mau rontok. Sejak dulu yang Farel takuti adalah kesedihan istrinya, dan hari ini istrinya sedih karena dirinya “Tidak, Ara. Aku puas sama kamu, hanya saja aku-” “Tolong jangan kasih alasan apapun, Rel. Aku tidak mau mendengar. Kata orang, ketika suami selingkuh, istri lah yang harus intropeksi diri. Aku juga gak tau kenapa wanita di luaran sana selalu menyudutkan perempuan yang salah hingga menyebabkan suami selingkuh. Dari kecil aku tidak pernah beruntung, semua yang aku inginkan selalu tidak bisa aku raih. Aku pikir kamu tidak seperti mamaku, Rel. Aku pikir kamu tidak akan bohong seperti papaku yang selalu menjanjikan pulang, tapi sampai aku dewasa aku hanya bertemu papa hitungan jari.” “Ara, cukup. Keluar, Ara!”  ucap Farel yang air matanya ikut tumpah ruah bersama hatinya yang ikut terluka mendengar suara sang istri. “Aku sanggup, Farel. Aku sanggup untuk menerima lagi ketidak beruntunganku di masa depan. Semesta tidak berpihak padaku, sampai nanti aku mati, kalau boleh memilih, aku ebih baik segera dikubur dalam tanah daripada merasakan kesakitan yang selalu diberikan orang-orang terdekatku.” “Ara, tolong jangan katakan itu, Ara,” bisik Farel dengan pilu. Farel memukul-mukul pintu kamar mandi untuk menyalurkan kesakitan hatinya. Farel sadar dia sudah salah, dia selingkuh dengan terang-terangan di rumahnya. Meski hatinya ikut sakit sudah melukai sang istri, tapi di sudut hati Farel, dia tidak menyesal melakukan itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN